Menurut Airlangga, beÂberapa sektor industri yang mengalami kesulitan dalam beroperasi lantaran belum turunnya harga gas antara lain industri baja, industri kertas, industri keramik dan industri kaca. Keempat industri ini sangat mengandalkan gas daÂlam kegiatan operasinya.
"Ada beberapa sektor inÂdustri yang kesulitan beropÂerasi dengan harga gas yang tinggi, seperti baja, kemudian sebagian paper, keramik, kaÂca," ujar dia di Gedung Bina Graha, Jakarta, kemarin.
Airlangga menyatakan, seÂjumlah pabrik dari empat sektor industri tersebut kini tengah menghentikan semenÂtara produksinya. Kegiatan industrinya diharapkan kemÂbali beroperasi setelah harga gas turun.
"Yang memang kurang beruntungnya, beberapa sedang berhenti produksi, termasuk Krakatau Steel yang menghenÂtikan pembuatan baja."
Namun demikian, Airlangga menargetkan dalam waktu tidak lama lagi harga gas indusÂtri bisa turun. Saat ini pihaknya bersama dengan Kementerian ESDM tengah menyelesaikan pembahasan terkait penurunan harga gas agar bisa segera diÂrealisasikan.
"Diperlukan adanya penyeÂsuaian di hulu terutama transÂfer harga di hulu. Hitungannya sudah dibuat, minggu depan ada rapat dengan Kementerian ESDM dan akan dibawa ke Menko untuk sinkronisasi. Ini diharapkan selesai pada November (2016), memang masih harus menunggu realÂisasi untuk penurunan harga gas ini," tandas dia.
Sementara itu, Vice PresiÂdent Corporate CommunicaÂtion Pertamina Wianda PuspoÂnegoro meminta perusahaan penjual gas untuk buka-buÂkaan data soal keuntungan bisÂnis yang diperoleh dari hasil jualannya. Keterbukaan soal keuntungan ini perlu diketahui publik untuk membuktikan bahwa masih ada peluang penurunan harga gas.
Menurut Wianda, selama ini belum ada peraturan yang mewajibkan bagi perusahaan penjual gas untuk mengungÂkapkan laporan keuangan. Dengan begitu, membuat masyarakat tidak tahu seberÂapa besar keuntungan yang didapat oleh perusahaan penÂjual gas.
Berbeda dengan Pertamina. Selama ini setiap tahun bahkan setiap kuartal perseroan seÂlalu mempublikasikan laporan keuangan yang menunjukkan perusahaan mampu mencetak keuntungan atau justru seÂbaliknya yaitu merugi. "Kita sekarang buka saja, masing-masing trader gas ini harus buka margin yang didapatkan," kata Wianda, di Jakarta, kemarin.
Menurut Wianda, untuk menurunkan harga gas di tingkat konsumen, pemerintah bisa membedah keuntungan penjualan gas di tingkat penÂjual dan mengatur keuntungan agar tidak ada yang mengambil untung terlalu besar sehingga membuat harga gas mahal.
"Margin penjual gas harus ada aturannya. Selama ini belum semua perusahaan transparan membuka margin. Kalau Pertamina ini
over all (terbuka keuntungannya)," tutur Wianda.
Melalui PT Pertamina Gas Niaga, anak usaha perseroan yang khusus menangani distriÂbusi gas, telah berupaya menuÂrunkan harga gas khususnya di wilayah Sumatera Utara dengan mengurangi keunÂtungan.
Wianda membuka data, untuk gas di Sumatera Utara yang dijual ke PT Perusahan Gas Negara (PGN) sebagai penjual gas ke konsumen, harga gas hulu untuk jenis LNG dari 13,80 dolar AS per MMBTU diturunkan menÂjadi 12,60 dolar. Untuk harga gas tertimbang 11,48 dolar menjadi 10,88 dolar AS per MMBTU. ***
BERITA TERKAIT: