Jika tidak mawas bisa memunculkan praktik transfer pricing mengingat pemain seluler di Indonesia didominasi pemain asing.
Transfer pricing adalah bentuk praktik pengalihan biaya dari sebuah nilai barang atau jasa antara beberapa perusahaan dalam satu nama besar sehingga menggeser laba yang harusnya masuk kas dalam negeri ke perusahaan induk asing.
"Dengan struktur kepemilikan operator yang dimiliki asing, rawan terjadi praktik
transfer pricing atau pergeseran laba ke luar negeri dan Indonesia tidak menikmati keuntungan," terang Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo dalam sebuah diskusi, kemarin.
Menurutnya, kebijakan yang dibuat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) membuat ada pemain yang diuntungkan dan dirugikan jika dijalankan.
"Pertama, itu biaya interkoneksi
kan simetris artinya harga satu. Jelas Harga Pokok Produksi (HPP) operator itu beda, bagi yang HPP rendah tentu dapat marjin, nah yang HPP tinggi siapa yang nanggung sunk cost? Kan harusnya dari biaya interkoneksi," ulasnya.
Kedua, jika revisi kedua PP yang merupakan turunan dari UU telekomunikasi itu dijalankan, bica memicu praktik monetisasi frekuensi di
secondary market.
"Nah, ini kalau dilihat yang untung banyak sebagian operator, tetapi paling rugi operator yang sudah banyak bangun dan negara karena potensi pajak hilang," imbuhnya.
Ia mengingatkan, jika pun nanti terjadi profit yang bertambah dari penerapan
network sharing tidak selalu meningkatkan penerimaan negara lewat pajak. Sebagian besar keuntungan tersebut nantinya justru bakal mengalir ke kantong perusahaan induk mereka di luar Indonesia, sehingga kontradiktif terhadap upaya tax amnesty.
Dalam pencatatan keuangan di Indonesia, papar dia, salah satunya yang banyak diakali adalah Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
"Laba bisa di-create mau untung atau rugi. Rugi bisa terjadi karena rugi fiskal akibat selisih kurs, biaya bunga, dan lainnya. Bahkan ada yang canggih seperti memasukkan item yang bisa menekan keuntungan atau menggeser keuntungan, padahal secara akademis bisa dilihat itu substance to perform atau tidak. Kalau kita menganut pajak dikenakan atas omzetnya, itu gampang ngawasin-nya. Tapi, karena kita basisnya profit, profit bisa di-create dan tampaknya merugi. Ini harus cermat melihatnya," urainya.
Merujuk pada laporan keuangan 2015, lanjutnya, hanya Telkomsel yang membayar pajak PPh badan. Sedangkan, XL Axiata dan Indosat Ooredoo tidak dikenakan PPh badan karena perusahaan merugi.
"Rugi fiskal karena selisih kurs, ada biaya bunga, itu yang mengherankan sebenarnya. Industri telekomunikasi sampai merugi," sesalnya
.[wid]
BERITA TERKAIT: