Budi Karya Disuruh Para Pelaut Lanjutkan Azas Cabotage

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Kamis, 04 Agustus 2016, 21:03 WIB
Budi Karya Disuruh Para Pelaut Lanjutkan Azas Cabotage
Budi Karya Sumadi dan Ignasius Jonan/Net
rmol news logo Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) mengharapkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi tetap melanjutkan penerapan azas cabotage secara konsisten. Bahkan perlu semakin digalakkan dengan pengawalan yang ketat,  mendukung program tol laut yang ditetapkan Presiden Joko Widodo.

"Asas cabotage yang diterapkan selama sepuluh tahun terakhir berhasil meningkatkan jumlah armada kapal nasional sampai 120%. Ini jelas membuka peluang bagi pelaut bekerja di kapal,” kata Penasehat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) KPI, Hanafi Rustandi di Jakarta, Kamis (4/8).

Hanafi menambahkan penerapan azas cabotage dilakukan berdasarkan Inpres 5/2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional yang  diperkuat UU 17/2008 tentang Pelayaran. Pada 2015 jumlah kapal niaga berbendera Indonesia baru 6.041 unit, tapi pada 2015 menjadi 13.326 unit atau naik 120 persen.

Meningkatnya jumlah armada kapal nasional ini, lanjut Hanafi, karena meningkatnya investasi di usaha pelayaran, baik pengusaha nasional dengan membangun kapal di dalam negeri atau membeli dari luar negeri, maupun pihak asing yang mengalihkan kapalnya menggunakan bendera Indonesia.

Hanafi menjelaskan, azas cabotase memberi hak kepada perusahaan pelayaran Indonesia  beroperasi secara eksklusif di perairan Indonesia . Seluruh kapal yang berlayar harus berbendera Merah Putih.

Namun, ia menilai penerapan azas cabotage masih banyak terjadi pelanggaran, khususnya terkait upah pelaut masih rendah karena sampai saat ini belum ada standar nasional.

"Pemerintah harus segera menetapkan standar upah pelaut secara nasional,” tegasnya.

Selain itu, KPI menilai selama ini pemerintah hanya terfokus keuntungan investasi dan pengembangan armada pelayaran, tanpa menyentuh sedikitpun menyangkut pemberdayaan SDM pelaksananya.  

Untuk itu, KPI mendesak pemerintah  meratifikasi MLC (Maritime Labour Convention) yang  diberlakukan di seluruh dunia sejak Agustus 2014 oleh International Labour Organization (ILO).

MLC memberikan payung hukum yang jelas bagi perlindungan dan kesejahteraan pelaut sebagai soko guru utama  roda transportasi di sektor maritim. Lambannya pemerintah meratifikasi MLC  bukan hanya berakibat kurangnya perlindungan maupun minimnya standar kesejahteraan bagi pelaut, tapi berakibat banyak kapal Indonesia terkena sanksi  PSC (Port State Control) di luar negeri.

Hanafi memberikan contoh ditahannya dua kapal milik perusahaan pelayaran Indonesia di luar negeri saat ini. Yaitu  MV. Kayu Ramin (bendera Panama) di pelabuhan Dubai dan MV. Kayu Putih (bendera Indonesia) di pelabuhan Qinhuangdao, Cina. Kedua kapal tersebut meskipun berbeda bendera, tapi sama-sama milik pengusaha Indonesia.

"Kedua kapal tersebut ditahan karena PSC menemukan berbagai pelanggaran. Antara lain gaji pelaut tidak dibayar, persediaan makanan & air minum terbatas, akomodasi & perlengkapan dapur tidak memenuhi standar kesehatan dan lain-lain,” pungkasnya. [sam]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA