Begitu dikatakan ‎‎Profesor Juajir Sumardi dalam keterangan resminya, Selasa (1/12).
‎Guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin itu meminta agar RUU Migas dibangun berdasarkan amanah konstitusi, dalam hal ini sesuai Pasal 33 ayat 2 dan 3.
"Esensinya, monopoli negara terhadap kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai negara,†sambung Juajir.
‎Menurut dia, ‎karena bersifat non executable, yakni badan hukum yang tidak bisa melaksanakan hak dan kewajibannya secara mandiri, maka negara harus diwakili pemerintah, maka Pemerintah diberi kuasa pertambangan oleh negara, sehingga mempunyai hak penguasaan atas sumber dan minyak dan gas.
‎Nah, karena pemerintah non eligible, yakni tidak bisa melaksanakan kegiatan bisnis, pengelolaan minyak dan gas bumi harus diserahkan kepada badan usaha khusus, yang mengusahakan pengelolaan minyak dan gas bumi. Pertanyaan selanjutnya yang akan muncul adalah soal siapa badan usaha khusus tersebut?
‎"Tentu saja badan usaha khusus bidang minyak dan gas. Dan yang layak memegang amanah tersebut, adalah BUMN yang punya pengalaman, modal, teknologi, SDM, yang selama ini sudah teruji. Dan itu, hanya Pertamina,†terang Juajir.
‎Karena itu, lanjut dia, ‎melalui UU yang baru, penguasaan sektor hulu dan hilir harus berada pada Pertamina. Mengenai pelaksanaan di lapangan, Pertamina bisa melakukan sendiri jika memang sanggup. Nah jika tidak, kata Juajir, Pertamina berhak melakukan kerja sama
business to business, baik yang didasarkan atas
production sharing contract atau
service contract.
‎Karena itu, Juajir menolak ‎DPR dan Pemerintah memunculkan badan khusus tetapi bukan Pertamina. Misalnya dengan mengubah SKK Migas menjadi BUMN khusus. Kalau opsi tersebut yang dipilih, maka tidak memenuhi unsur efisiensi dan efektivitas.
‎Dengan menjadikan SKK Migas sebagai BUMN Khusus, tambah Juajir, akan membuat high cost economy, karena otomatis badan usaha khusus baru itu butuh tenaga kerja, sumber daya tekonologi, butuh aset, biaya dan seterusnya.
‎"Pembiayaan itu akan diambil dari APBN dalam jumlah luar biasa besar. Kondisi ini tidak hanya membuat APBN kembali digegoroti, namun juga berpotensi menjadikan BUMN Khusus tadi sebagai sarang penyamun gaya baru,†lanjutnya.
‎Pembahasan revisi UU Migas sendiri, diperkirakan baru selesai tahun mendatang. Meski masuk daftar Prolegnas 2015, namun hingga kini belum ada tanda-tanda penyelesaian.
‎Menurut anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi, perkembangannya masih sangat lamban. Dengan demikian, mau tidak mau pembahasan revisi UU Migas akan berlanjut hingga 2016.
‎Dia tambahkan, keterlambatan ini menjadi PR bagi DPR. Tetapi apa boleh buat, karena menjelang akhir tahun, DPR memang baru membahas kajian akademik yang dibuat Deputi Perundang-Undangan Setjen DPR. Kajian tersebut, lanjutnya, sebagian besar bersumber dari naskah akademik rancangan Revisi UU Migas versi lama.
‎"‎Yang namanya perusahaan minyak tentu harus punya lapangan migas, kilang minyak, pom bensi, dan sebagainya. Kalau mau mengubah SKK Migas menjadi BUMN Khusus, asetnya endi? Bisa-bisa asetnya hanya meja kursi dan gedung nyewa. Padahal, katanya BUMN Khusus tersebut akan mengelola kekayaan migas kita dan akan berkontrak dengan investor minyak. Lho, kok investor minyak yang perusahaan raksasa akan berkontrak dengan BUMN Khusus yang ternyata cuma setingkat LSM? Apa itu tidak dagelan?†lanjut politisi Partai NasDem ini.
[sam]‎
BERITA TERKAIT: