Faktanya, Riset Industri Rokok Lebih Banyak Demi Kepentingan Asing

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Rabu, 15 April 2015, 09:17 WIB
Faktanya, Riset Industri Rokok Lebih Banyak Demi Kepentingan Asing
rmol news logo Kebijakan pemerintah yang antitembakau mendapat perlawanan dari berbagai kalangan.  

Akhir pekan lalu, Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK) mengadakan Diskusi Publik 'Kebijakan Tarif Cukai yang Rasional, Adil, dan Berorientasi National Interest'. Tak kurang delapan pembicara hadir dalam diskusi tersebut, di antaranya pengamat budaya M Sobari, peneliti kretek Puthut EA, dan Staf Ahli Wakil Menteri Keuangan, Primanegara.

Puthut EA menegaskan, argumentasi pemberangusan industri rokok dengan dalih mengganggu kesehatan layak diperdebatkan. Selama ini, publik disuguhi opini adanya penelitian yang menyatakan rokok tidak sehat. Namun, kata Puthut, itu hasil riset di luar negeri, dengan tembakau luar negeri, dan yang diteliti jelas rokok putih.

"Karena itu mari kita bikin riset rokok kretek karena ini tidak pernah dilakukan," ujar Puthut.
 
Ia meyakinkan, rokok kretek tidak perlu diberangus. Justru harus diperjuangkan sebagai heritage bangsa Indonesia. Menurut dia, kebiasaan mencampur cengkeh dan tembakau itu sudah dilakukan masyarakat sejak abad ke 18. Namun memperjuangkan rokok kretek menjadi warisan budaya bangsa juga tidak gampang.
"Pemerintah enggan memutuskan rokok kretek sebagai heritage karena dianggap kontroversial," keluh Puthut.
 
Ketua Lembaga Penelitian UMK, Mamik Indaryani menambahkan, saat ini terkesan pemerintah tak peduli terhadap industri tembakau. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tercermin dari regulasi yang dihasilkan justru antitembakau seperti kenaikan cukai tiap tahun yang memukul industri.

"Kebijakan itulah yang menggerus industri tembakau," tegasnya.
 
Kenaikan cukai tidak hanya membatasi pertumbuhan produksi rokok, namun juga memukul industri rokok kecil. Kenaikan cukai menjadi bagian dari biaya produksi karena itu cukai naik jelas akan mendongkrak harga. Sementara, di sisi lain, rokok yang mereka produksi belum tentu bakal laku semua.  Akibatnya,

"Pabrik tutup karena kenaikan tarif cukai yang terjadi setiap tahun," ujarnya.
 
Ia menegaskan, kenaikan cukai dengan argumentasi kesehatan sangat tidak adil karena pastinya akan mengorbankan pihak lain yang tidak terakomodasi kepentingannya. Seharusnya, pemerintah berpikir mendorong daya saing industri tembakau bukan memberangus dengan beragam regulasi. 

"Industri hasil tembakau juga berkontribusi terhadap pendapatan masyarakat, pengurangan masyarakat miskin, bahkan sebagai warisan turun temurun," imbuh Mamik, menekankan.
 
Primanegara menampik bahwa pemerintah sedang mengebiri industri rokok nasional. Menurut dia, tingginya kenaikkan cukai sekarang tidak lebih dari kebijakan pemerintah untuk menyeimbangkan kepentingan pendapatan negara, kesehatan, dan keberlangsungan industri itu sendiri.
 
Namun, pernyataan itu disanggah Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Hasan Aoni Azis. Menurut dia justru kebijakan cukai yang diberlakukan pemerintah saat ini semakin meruntuhkan industri rokok. Faktanya, dengan kenaikkan cukai rata-rata sepanjang lima tahun terakhir yang mencapai 16 persen, mengakibatkan industri rokok banyak yang gulung tikar.

"Data tahun 2009 jumlah pabrik rokok sebanyak 4.900-an pabrik, sekarang tinggal 600an pabrik," paparnya.[wid] 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA