Senior Vice President Fuel MarÂketing Pertamina SuharÂtoko meÂngaÂtakan, konsumsi BBM bersubsidi bakal over 1,62 juta kiloliter (KL) dari kuota APBN Perubahan (APBNP) 2014 sebeÂsar 46 juta KL.
“Sampai akhir 2014, konsumsi diperkirakan mencapai 46,976 juta kiloliter atau berlebih 1,62 juta kiloliter,†kata Suhartoko dalam rapat dengan Komisi VII DPR di Senayan, Jakarta, kemarin.
Rapat itu tidak dihadiÂri Dirut Utama PT Pertamina Karen AgusÂtÂiawan. Alhasil, Pertamina diÂpimpin Direktur Perencanaan dan MaÂnajemen Risiko PertaÂmiÂna M Afdal Bahaudin yang ditunÂjuk Pelaksana Tugas Harian (Plth) Dirut. Selain Afdal dan SuÂhartoko, hadir juga Direktur Umum Budi Djatmiko.
Suhartoko menyatakan, PertaÂmina memprediksi kuota preÂmium habis pada 24 Desember 2014 dan solar awal Desember 2014. Sesuai Undang-Undang APBN, setelah kuota habis, maÂka BBM dijual dengan harga non subsidi.
Dia mengatakan, jebolnya kuoÂta karena pengendalian konÂsumsi BBM subsidi dengan peÂngitiran tidak berjalan sesuai renÂcana. Di tambah lagi, pengenÂdalian BBM subsidi sesuai aturan BPH Migas juga tidak berjalan efektif. “AkiÂbatnya, konsumsi melebihi kuoÂta,†terang Suhartoko.
Hal senada disampaikan Plth DiÂrektur Utama Pertamina M Afdal Bahaudin. Dia mengakui, pembatasan penjualan BBM subsidi yang telah dilakukan seÂlama ini gagal total.
Untuk diketahui, pemerintah melalui BPH Migas setidaknya suÂdah mengeluarkan 4 kebijakan. Di antaranya melarang penjualan soÂlar di Jakarta Pusat, tidak diÂjualnya premium di jalan tol, memÂbatasi operasional penjualan BBM subsidi di beberapa cluster serta pemotongan kuota untuk penyalur ke nelayan.
“Penyaluran BBM subsidi tak boleh
over kuota. Ada inisiatif keÂmenterian baik Pertamina, memastikan kuota cukup. Dari inisiatif ini muncul surat edaran BPH migas yang ada empat. Tapi ini tidak ada dampak sama seÂkali,†jelas Afdal.
Menurutnya, pelarangan penÂjuaÂlan premium di jalan tol tidak memberikan dampak, karena masyarakat mengisi BBM subÂsidi di luar tol. Tidak ada maÂsyaÂrakat yang beralih mengguÂnakan BBM non subsidi. Begitu juga dengan solar, banyak masyaÂrakat yang membeli solar di luar JaÂkarta Pusat.
“Ini tidak ada dampaknya sama sekali. Tidak muncul dampak termasuk Jakarta Pusat penjualan solar subsidi, pengguna mengÂgunakan dan membeli di daerah lain,†tegasnya.
Hal yang sama dengan pengenÂdalian BBM subsidi di daerah cluster industri. Banyak truk tambang yang rela menginap di SPBU demi menunggu dijualnya kembali solar subsidi. Tidak ada mobil tambang yang membeli solar non subsidi.
“Truk itu antre, daripada mereÂka membayar lebih Rp 600.000, mereka memilih menunggu samÂpai menginap,†katanya.
Kepala BPH Migas Andy NoÂorÂÂsaman Sommeng tak terima kebijakan pembatasan BBM subÂsidi disebut gagal total. PihakÂnya belum menerima lapoÂran evaluasi kebijakan pembataÂsan BBM yang sempat dijalankan.
“Menurut siapa tidak efektif? Saya belum dapat laporan berapa persennya tidak efektif. Laporkan angka dong. Kalau bilang gagal jangan kualitatif, kuantitatif dong,†pinta Sommeng.
Menurut Sommeng, kebijakan pembatasan BBM subsidi belum dicabut hingga saat ini. Belum ada perintah dari Kementerian ESDM untuk membatalkan kebijakan ini.
Sementara itu, Ekonom UniÂversitas Indonesia (UI) Muslimin Anwar mengatakan, penyeÂlewengan migas dapat diberantas melalui setidaknya empat langkah. Pertama, program 100 hari Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla Oktober nanti harus membeberkan mengenai data statistik kebutuhan migas secara detil. Kedua, Pemerintahan baru harus mengumumkan atau menyosialisasikan kepada publik proses pembelian, distribusi dan penjualan migas secara transparan agar dapat dikritisi dan diawasi bersama dengan masyarakat.
Selanjutnya, ketiga, adalah penegakan hukum harus diterapÂkan bagi para pelanggar dan yang merugikan negara. Keempat, Muslimin juga meminta Jokowi membentuk tim audit investigatif untuk membuktikan keberadaan para penyeleweng migas terÂsebut. Muslimin menyatakan, dengÂan audit investigatif tersebut, Jokowi bisa membuktikan di rantai mana para penyeleweng migas ini bermain sehingga bisa memutus mata rantai perÂsekongÂkolan tersebut. ***