Pemilik saham publik yang notabene BUMN seperti Jamsostek yang kini berganti nama menjadi BPJS Ketenagakerjaan juga ikut menanggung rugi karena harga saham PGAS terus anjlok. Jamsostek sendiri saat ini memiliki 525.817 ribu lembar saham PGAS. Pada 24 Oktober 2013, saham PGAS ditutup dilevel Rp 5.450 per saham. Lalu, pada 27 Januari 2014, saham PGAS anjlok di level Rp 4.560, berarti terjadi kerugian sebesar Rp 890 per lembar saham.
Jika dikalkulasikan, maka kerugian Jamsostek sebesar Rp 890 per lembar saham dikalikan jumlah saham Jamsostek di PGAS yang sebanyak 525.817.000 lembar saham, berarti total kerugian menjadi Rp 467, 98 miliar.
"Saya kira ini transaksi yang dimainkan untuk dapat
cash secara cepat, dalam konteks turunnya harga saham kan ada juga pihak yang diuntungkan untuk kemudian menikmati lagi ketika harga tinggi, jangan sampai ada pihak yang meraup keuntungan dari masalah ini," kata anggota Komisi IX DPR RI, Poempida Hidayatulloh saat dihubungi di Jakarta, Rabu (29/1).
Menurut dia, wacana akuisisi itu padahal belum jelas tapi sudah tersiar. Hal ini membuktikan Kementerian BUMN tidak memiliki kemampuan mengelola informasi sehingga bisa bocor.
"Namanya perusahaan terbuka kan sangat sensitif, ini merugikan. Manajemen isu manajemen informasi tidak jalan, ironisnya dari Kementerian BUMN," jelas politisi Golkar tersebut.
Ia melihat, polemik ini mirip penawaran perdana saham Garuda beberapa tahun lalu. Untuk kasus kali ini juga bisa masuk kategori
insider trading atau dengan kata lain menghembuskan kabar dari dalam untuk kemudian mengambil keuntungan. Wacana akuisisi PGN oleh Pertamina yang ditanggapi negatif oleh pasar itu, menurut Poempida, sekaligus bukti adanya penolakan terhadap rencana itu.
"Ada yang salah, bisa juga dianggap proses ini tidak bagus, tidak ada kepercayaan sehingga ada penolakan. Ini memalukan juga dan jadi cerminan bagi Pertamina untuk memperbaiki diri," tukasnya
.[wid]
BERITA TERKAIT: