Patut dipertanyakan mengapa Indonesia menawarkan diri sebagai tuan rumah penyelenggaraan event tersebut. Padahal Indonesia bukan pemain industri, baik dalam sektor barang maupun jasa, di tingkat regional, apalagi global.
"Indonesia hanya berperan sebagai EO (Event Organizer), tidak lebih," kata Direktur Eksekutif Resistance and Alternatives to Globalization (RAG) Bonnie Setiawan saat berkunjung ke redaksi Rakyat Merdeka Online dan diterima oleh Wakil Pemimpin Redaksi, Aldi Gultom, serta koordinator liputan, Yayan Sopyani, Kamis (24/10).
Ia menambahkan, penyelenggaraan konferensi yang melibatkan 158 negara tersebut sepertinya tidak lebih dari upaya pemerintah melakukan pencitraan internasional. Apalagi, Indonesia tak bisa menempatkan dirinya secara tegas dalam pusaran kepentingan negara-negara berkembang dan maju.
Bonnie juga menjelaskan bahwa ada perubahan konstelasi perdagangan internasional yang terlambat disadari oleh WTO, yang merupakan metamorfosis dari General Agreements on Tariffs and Trade (GATT). Disebutkannya bahwa WTO cukup lama menerapkan paradigma perdagangan abad 20 yakni perdagangan yang lebih bersifat antar negara. Padahal, kini mengalami transisi menjadi paradigma perdagangan abad 21.
"Paradigma perdagangan abad 21 baru terbentuk pada tahun 2011 di WTO. Paradigma tersebut merumuskan apa yang disebut rantai pasokan global, yakni bagaimana manajemen industri bukan lagi dikerjakan oleh satu perusahaan, melainkan kolaborasi dari banyak pihak yang masing-masing memiliki peran dalam rantai tersebut," kata Bonnie.
[ald]
BERITA TERKAIT: