Namun hal tersebut tidaklah mudah, menurut koordinator Serikat Petani Kelapa Sawit, Mansuetus Darto, selama ini perdagangan minyak sawit Indonesia selalu dicap deforestasi, hancurnya keanekaragaman hayati, penghilangan hak-hak masyarakat asli dan tergerusnya lahan pangan. Maka dari itu topik kelapa sawit pada pertemuan parlemen Uni Eropa di Brusel tanggal 3 September lalu bahwa cukup enam persen dari minyak kelapa sawit untuk Uni Eropa dan bea masuk berkisar 9-11,5 persen.
Begitu pun halnya lembaga lingkungan Amerika yakni EPA (Environtmental Protection Agency) yang memasukkan kelapa sawit Indonesia bukan sebagai pendukung menurunkan emisi GRK-Gas Rumah Kaca.
Melihat situasi tersebut KTT APEC kemudian dijadikan panggung kampanye kelapa sawit oleh pelaku usaha perkebunan skala besar dan pemerintah Indonesia. Seperti misalnya launching 100 unit “mobil hijau†dan lobi pemerintah serta pelaku bisnis kelapa sawit kepada negara-negara APEC. Bahkan sangat gencar dilakukan sebelum digelar KTT APEC.
"Serikat Petani Kelapa Sawit melihat ada sesuatu yang salah dari pemerintah yang tidak melihat masalah sosial dan lingkungan," terang Mansuetus melalui rilis elektronik yang diterima redaksi, Minggu (6/10).
Bahkan, lanjut dia, diplomasi pemerintah dan pelaku bisnis tidak diikuti oleh tindakan konkrit oleh kementerian terkait seperti kementrian perdagangan, kementerian pertanian, kementerian perindustrian, kementerian lingkungan hidup maupun kementerian kehutanan. Dalam diplomasi, hampir tidak ada yang dipromosikan oleh pemerintah sebagai bukti nyata bahwa kelapa sawit ramah lingkungan dan ramah juga secara sosial.
Di sisi yang lain, pihaknya juga mencermati tidak adanya kebijakan yang mengikat semua pelaku bisnis kelapa sawit agar tidak menggusur lahan rakyat dan usaha bisnis tersebut. Dari sisi regulasi, pemerintah baru saja menetapkan revisi Permentan 26/2007 tentang Perizinan Usaha Perkebunan pada pekan ini. Permentan ini justru terkesan jelas melindungi pelaku usaha perkebunan sawit skala besar yang masa lalunya mengkriminalisasi rakyat dan merusak kawasan hutan.
SPKS, sebut Mansuetus lagi, mencermati begitu banyak regulasi pemerintah yang turut mendorong praktek buruk pelaku usaha perkebunan besar antara lain UU Perkebunan 18/2004 dan Permentan 33/2006. Selain itu, tata kelola pemerintah yang buruk memperlemah proses pengawasan dan keberperanan pemerintah untuk menghukum perusahaan dan bersikap kepada masyarakat.
Hasil audit kementerian pertanian pada 300 perusahaan kelapa sawit, sebanyak 180 perusahaan atau sekitar 60 persen perusahaan di antaranya tidak membangun plasma untuk masyarakat. Data dari dinas perkebunan Kalimantan timur menunjukkan, kawasan yang diperuntukkan bagi 297 perusahaan seluas 2,820 juta hektar. Namun hanya sebanyak 97 perusahaan yang baru mendapatkan Hak Guna Usaha atau sekitar 778.229 hektar. Namun lahan yang sudah berwujud kebun kelapa sawit baru seluas 454.058 hektar. Pada tahun 2011, terdapat 141 petani yang dikriminalisasi dan selalu meningkat setiap tahun.
"Kondisi-kondisi di atas tentunya sangat berbeda antara realitas di kebun sawit dan diplomasi perdagangan minya sawit yang selalu melihat sisi putihnya dengan melihat penerimaan negara dari bea keluar," tekannya.
Karena itu SPKS meminta kepada pemerintah untuk berdiplomasi secara transparan tanpa melupakan realitas di kebun sawit seperti kondisi petani kelapa sawit, buruh perkebunan, nasyarakat adat dan masalah lingkungan. Petani kelapa sawit perlu dipromosikan ke tingkat internasional yang memiliki komitment dan real mempraktek sustainability. Pemerintah juga diminta oleh SPKS agar tetap independen dari pelaku bisnis kelapa sawit.
"Pemerintah harus bersikap jernih dan tidak berbohong dalam menyampaikan informasi kelapa sawit," pintanya.
Selain itu juga perlu tindakan yang real seperti memperbaiki regulasi perkebunan agar ramah lingkungan dan ramah sosial, standar ISPO-Indonesian Sustainability Palm Oil harus lebih baik dari standar pasar RSPO (Rountable on Sustainability Palm Oil).
"Indonesia butuh solusi atas masalah sosial dan lingkungan bukan pertumbuhan investasi semata," demikian Mansuetus.
[wid]
BERITA TERKAIT: