Kebijakan perdagangan bebas yang ditandantangani rezim ini, seperti AFTA, ACFTA, IJEPA, CEPA, dan perjanjian liberalisasi perdagangan bilateral lainnya, telah menyeret Indonesia ke persaingan yang mematikan.
Peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, menjelaskan bahwa pada Oktober 2012 neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 1,55 miliar. Defisit perdagangan Indonesia telah terjadi sejak April-Mei-Juni dan berlanjut hingga Oktober 2012. Nilai impor Indonesia periode Oktober 2012 mencapai US$17,21 miliar atau naik sebesar 12,16 persen jika dibanding September 2012.
Dalam bulan-bulan mendatang, defisit perdagangan diperkirakannya semakin parah. Keadaan ini akan menimbulkan efek domino terhadap bankrutnya industri nasional, PHK, pengangguran, pemiskinan petani. Tumpuan perekonomian tidak bertumpu pada produksi dan produktivitas nasional, tetapi menggantungkan diri pada impor.
"Sementara, daya beli masyarakat tidak lagi ditopang oleh upah dan pendapatan, tetapi ditopang oleh kredit konsumsi. Saat ini angka kredit perumahan, properti, kredit kendaraan bermotor, kartu kredit, telah berada pada posisi yang membahayakan," kata Salamuddin, Sabtu (8/12).
Meski Bank Indonesia akan mengatur kebijakan uang muka kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) sebagai strategi menahan laju peningkatan kredit, namun hal itu tampaknya sia-sia. Demam kredit untuk membeli barang impor ini akan sangat membahayakan perbankan nasional.
Selain itu, tingginya utang bank-bank nasional pada bank asing akan semakin meningkatkan kerentanan sektor perbankan pada krisis global. Perbankan nasional akan jatuh seiring peningkatan eskalasi krisis global pada bulan-bulan mendatang, dan potensi kredit macet di dalam negeri.
"Rezim SBY menjerumuskan rakyat dalam utang untuk membeli barang impor," tegas dia dalam rilisnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: