Kalangan dunia usaha mempertanyakan keadilan aturan perpajakan yang dinilai justru meÂleÂmahÂkan kinerja pengusaha.
“Kondisi sekarang memperÂhatinÂkan karena benteng keadilan untuk Wajib Pajak (WP) di peÂngaÂÂÂdilan pajak yang selama ini diÂnilai bagus, ternyata ikut terÂpeÂngaruh (mafia pajak-red) karena independensi hakim yang meleÂmah,†ujar Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang MoneÂter, Fiskal dan Kebijakan Publik Haryadi B Sukamdani dalam seÂminar bertema “MasihÂkah PenyeÂlesaian Sengketa PaÂjak di IndoÂnesia Berkeadilan?†di JaÂkarta, Jumat (12/10).
Menurut dia, hak-hak WP yang dijamin Undang-Undang PerpaÂjakan mestinya bisa direalisasiÂkan. Antara lain, hak komplain terÂhadap perhitungan pajak mauÂpun tindakan-tindakan petuÂgas pajak yang dirasakan tiÂdak adil. WP bisa mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak.
Apabila tidak puas, lanjutnya, maka bisa mengÂgunakan fungsi kekuasaan kehakiman, yaitu daÂlam bentuk banding atau gugatan ke PengaÂdilan Pajak.
“Benteng terakhir WP untuk mencari keadilan adalah melalui pengajuan permohonan peninÂjauÂan kembali ke Mahkamah Agung (MA). Namun, jika peÂnyeÂlesaian yang diharapkan terÂnyata tidak bisa diperoleh dengan cepat bisa meruÂgikan karena meÂnimbulkan ketidakÂpastian bagi dunia usaha,†kata pemilik Sahid Group ini.
Di sisi lain, menurut Haryadi, duÂnia usaha akan berkembang dan memberikan kontribusi beÂruÂpa pajak yang makin besar apaÂbila iklim perpajakan kondusif.
“Kalangan dunia usaha berÂharap agar pengenaan pajak tidak menekan usaha, tidak justru meÂngurangi kepercayaan kepada adÂministrasi perpajakan, namun justru mendorong pertumÂbuhan dunia usaha,†ungkapnya.
Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Sukiatto Oyong mengataÂkan, sengketa paÂjak antara WP dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) salah satuÂnya diawali pada proses pelaksaÂnaan pemeÂrikÂsaan pajak.
Umumnya terkait perbedaan penafsiÂran akiÂbat kontradiksi daÂlam peÂraÂturan perpajakan. NaÂmun, daÂlam perbeÂdaan penafsirÂan terÂseÂbut, yang berlaku penafÂsiran dari aparat DJP sehingga munÂcul sengketa pajak.
“Perbedaan penafsiran seringÂkali tidak terselesaikan dengan baik dan berujung pada diterbitÂkannya Surat Ketetapan Pajak JuÂrang Bayar (SKPKB) untuk WaÂjib Pajak. Keengganan aparat DJP menerima penafsiran Wajib Pajak disebabkan ada perÂsepÂsi diÂangÂgap merugiÂkan keuangan neÂgara,†kata Oyong.
Wajib Pajak, menurut Oyong, kerap melakukan upaya hukum dengan mengajukan banÂding ke Pengadilan Pajak, namun proses ini tidaklah mudah.
“Ini akibat seÂmakin meningÂkatÂnya kasus yang bermuara ke Pengadilan PaÂjak. Masalah seÂmakin rumit keÂtika Putusan PeÂngadilan telah dimeÂnangkan Wajib Pajak, pihak DJP pada umumnya mengÂaÂjukan PeninjauÂan Kembali ke MA,†katanya.
Sementara Hakim Agung yang mengurusi pajak jumlahnya saÂngat terbatas. Untuk dua orang haÂrus menangani sekitar 1.000 kaÂsus perpajakan. Jumlah ini beÂlum termasuk seÂkiÂtar 9.000 kaÂsus perpajakan yang ada di PengaÂdilan Pajak yang berÂpoÂtensi maÂsuk ke MA.
Sebelumnya, Dirjen Pajak FuÂad Rahmany mengaku kesuliÂtan mengÂumpulkan pajak karena renÂdahnya tingkat kesadaran memÂbayar pajak masyarakat. PadaÂhal, target penerimaan pajak yang ditetapkan DPR sangat besar.
“Tahun lalu, kami mampu meÂngÂumpulkan Rp 742 triliun. TaÂhun ini kita ditargetkan DPR Rp 885 triliun. Mabok juga kita,†ungkap Fuad. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: