Terus Kalah Sengketa, Kadin Rasakan Ketidakadilan Pajak

Senin, 15 Oktober 2012, 08:20 WIB
Terus Kalah Sengketa, Kadin Rasakan Ketidakadilan Pajak
Haryadi B Sukamdani

rmol news logo Kalangan dunia usaha mempertanyakan keadilan aturan perpajakan yang dinilai justru me­le­mah­kan kinerja pengusaha.

“Kondisi sekarang memper­hatin­kan karena benteng keadilan untuk Wajib Pajak (WP) di pe­nga­­­dilan pajak yang selama ini di­nilai bagus, ternyata ikut ter­pe­ngaruh (mafia pajak-red) karena independensi hakim yang mele­mah,” ujar Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Mone­ter, Fiskal dan Kebijakan Publik Haryadi B Sukamdani dalam se­minar bertema “Masih­kah Penye­lesaian Sengketa Pa­jak di Indo­nesia Berkeadilan?” di Ja­karta, Jumat (12/10).

Menurut dia, hak-hak WP yang dijamin Undang-Undang Perpa­jakan mestinya bisa direalisasi­kan. Antara lain, hak komplain ter­hadap perhitungan pajak mau­pun tindakan-tindakan petu­gas pajak yang dirasakan ti­dak adil. WP bisa mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak.

Apabila tidak puas, lanjutnya, maka bisa meng­gunakan fungsi kekuasaan kehakiman, yaitu da­lam bentuk banding atau gugatan ke Penga­dilan Pajak.

“Benteng terakhir WP untuk mencari keadilan adalah melalui pengajuan permohonan penin­jau­an kembali ke Mahkamah Agung (MA). Namun, jika pe­nye­lesaian yang diharapkan ter­nyata tidak bisa diperoleh dengan cepat bisa meru­gikan karena me­nimbulkan ketidak­pastian bagi dunia usaha,” kata pemilik Sahid Group ini.

Di sisi lain, menurut Haryadi, du­nia usaha akan berkembang dan memberikan kontribusi be­ru­pa pajak yang makin besar apa­bila iklim perpajakan kondusif.

“Kalangan dunia usaha ber­harap agar pengenaan pajak tidak menekan usaha, tidak justru me­ngurangi kepercayaan kepada ad­ministrasi perpajakan, namun justru mendorong pertum­buhan dunia usaha,” ungkapnya.

Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Sukiatto Oyong mengata­kan, sengketa pa­jak antara WP dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) salah satu­nya diawali pada proses pelaksa­naan peme­rik­saan pajak.

Umumnya terkait perbedaan penafsi­ran aki­bat kontradiksi da­lam pe­ra­turan perpajakan. Na­mun, da­lam perbe­daan penafsir­an ter­se­but, yang berlaku penaf­siran dari aparat DJP sehingga mun­cul sengketa pajak.

“Perbedaan penafsiran sering­kali tidak terselesaikan dengan baik dan berujung pada diterbit­kannya Surat Ketetapan Pajak Ju­rang Bayar (SKPKB) untuk Wa­jib Pajak. Keengganan aparat DJP menerima penafsiran Wajib Pajak disebabkan ada per­sep­si di­ang­gap merugi­kan keuangan ne­gara,” kata Oyong.

Wajib Pajak, menurut Oyong, kerap melakukan upaya hukum dengan mengajukan ban­ding ke Pengadilan Pajak, namun proses ini tidaklah mudah.

“Ini akibat se­makin mening­kat­nya kasus yang bermuara ke Pengadilan Pa­jak. Masalah se­makin rumit ke­tika Putusan Pe­ngadilan telah dime­nangkan Wajib Pajak, pihak DJP pada umumnya meng­a­jukan Peninjau­an Kembali ke MA,” katanya.

Sementara Hakim Agung yang mengurusi pajak jumlahnya sa­ngat terbatas. Untuk dua orang ha­rus menangani sekitar 1.000 ka­sus perpajakan. Jumlah ini be­lum termasuk se­ki­tar 9.000 ka­sus perpajakan yang ada di Penga­dilan Pajak yang ber­po­tensi ma­suk ke MA.

Sebelumnya, Dirjen Pajak Fu­ad Rahmany mengaku kesuli­tan meng­umpulkan pajak karena ren­dahnya tingkat kesadaran mem­bayar pajak masyarakat. Pada­hal, target penerimaan pajak yang ditetapkan DPR sangat besar.

“Tahun lalu, kami mampu me­ng­umpulkan Rp 742 triliun. Ta­hun ini kita ditargetkan DPR Rp 885 triliun. Mabok juga kita,” ungkap Fuad.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA