Dia mengambil contoh baÂtuÂÂbara. Menurutnya, batuÂbara merupakan salah satu sumÂber energi murah yang bisa diÂmanÂfaatkan tapi malah diÂimpor. Sedangkan IndoÂneÂsia, lebih memilih impor bahan bakar minyak (BBM) yang harganya lebih mahal.
“Indonesia negara lucu, eksÂpor yang murah tapi impor yang mahal. Orang yang nggak kaÂya minyak tapi paÂkai yang maÂhal. Orang misÂkin kaÂlau pakai yang mahal akan suÂsah hidupÂnya,†kataÂnya di Jakarta, keÂmarin.
Widjajono menyatakan, masalah energi di Indonesia itu karena masih belum berÂkemÂbangnya energi terbaÂruÂkan. Hal ini disebabkan kuÂrangnya investasi pemerintah terhadap sektor tersebut akibat terkurasnya anggaran negara untuk biaya subsidi energi.
“Brazil itu berhasil karena BBM-nya tidak disubsidi, jadi duitnya untuk investasi. DisÂparitas harganya lumayan kaÂrena duitnya ada untuk inovaÂsi. Jadi orang Brazil ini pintar,†ungkapnya.
Selain investasi, perlunya otak dan hati untuk memaÂjuÂkan energi terbarukan. “Kalau tidak punya otak maka tidak punya akal, tapi kalau tidak punya hati, maka tidak punya moral,†jelasnya.
Widjajono heran dengan kultur masyarakat Indonesia yang justru bangga dengan jumlah mobil yang banyak meskipun bahan bakarnya masih disubsidi. “Mobil di SiÂngapura itu 5 tahun ganti, tapi di Indonesia malah bangÂga moÂbil tambah meskipun BBM-nya disubsidi,†sindirnya.
Anggota Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) A Qoyum TjanÂdraÂÂnegara juga mengaku heran dengan kebijakan ekspor gas, sementara di satu sisi peÂmeÂrintah juga impor BBM.
“Kebijakan itu (impor) jusÂtru memberi subsidi negara lain. Sangat ironi bila maÂsyaÂrakat mesti dibebani dengan energi mahal, yakni BBM, seÂmentara kekayaan energi yang murah yaitu gas bumi, malah dinikmati masyarakat di neÂgara-negara yang mengimpor gas dari Indonesia,†katanya.
Menurut Qoyum, ke deÂpanÂnya ekspor gas harus dihinÂdari. Sebab tidak sesuai deÂngan amanat Undang-Undang NoÂmor 22 tahun 2001 tentang MiÂgas, terutama Pasal 8 yang berÂbunyi pemerintah memÂbeÂrikan prioritas terhadap pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan daÂlam negeri.
Dia berpendapat, gas yang taÂdinya untuk ekspor itu bisa disalurkan untuk kebutuhan industri dalam negeri. Untuk infrastrukturnya, selama peÂmeÂrintah dan kemauan yang kuat pasti bisa dipenuhi. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: