Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menyatakan, Indonesia mestinya bisa mengurangi keterÂgantungan terhadap impor gula. Syaratnya, semua pemangku keÂpentingan mulai dari KemenÂterian Pertanian, Kementerian BUMN dan kalangan petani berÂsatu padu meningkatkan produksi gula di dalam negeri.
“Saya sudah bicara dengan Pak Dahlan Iskan (Menteri BUMN) agar bisa memberdayakan proÂduksi gula di PTPN, dan beliau sudah setuju. Pokoknya selama saya menjabat Mendag, masyaraÂkat mesti mengurangi keterganÂtungan terhadap komoditas impor termasuk gula,†cetus Gita di Jakarta, akhir pekan lalu.
Untuk itu, dia akan mengusulÂkan agar mesin-mesin di PTPN bisa direvitalisasi agar daya proÂduksinya bisa meningkat. Asal tahu, kata Gita, sebagian besar meÂsin produksi gula di PTPN diÂbuat sekitar tahun 1820. “BagaiÂmana bisa bersaing deÂngan mesin proÂduksi gula milik negara teÂtangga yang rata-rata diÂbuat di atas 1970-an,†cetus Gita.
Selain itu, masalah renÂdemen gula (perbandingan kadar gula dengan berat tebu giling) harus ditingkatkan yang rata-rata hanya 6-7 persen. Sementara di ThaiÂland bia di atas delapan persen.
Diakui, monopoli importir gula saat ini sangat luar biasa. Karena itu, BUMN dan sektor swasta haÂrus menjalin kerja saÂma. Seperti membuka lahan baru di Indonesia bagian Timur.
“Dengan menguasai impor gula senilai 200 miliar dolar AS, mereka (imÂportir) bisa menyamÂpaiÂkan pesan apapun ke pemeÂrintah, termasuk mengendalikan pasar. Ini sangat disayangkan. KaÂrena kita punya lahan yang luas, pasar besar dan kemampuan sumÂber daya manusia yang bagus,†ujar peÂmilik Ancora Group itu.
Namun, menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat InÂdoÂnesia (APTRI) Arum Sabil meÂngatakan, bobroknya infraÂstrukÂtur pabrik tebu dimanÂfaatÂkan peÂmerintah memilih jalan pintas dengan mengimpor bahan baku gula (raw sugar).
Menurut Arum, pemerintah seÂngaja memÂbiarÂkan hal ini terjadi agar meÂmiliki alasan kuat deÂngan mengÂimpor. Padahal, jika pemeÂrintah berpihak pada petani tebu, reÂvitalisasi bisa dilakukan secara mandiri tanpa bantuan daÂna dari pemerintah.
“Kalau saja ada keberpihakan kepada petani dan pabrik-pabrik tebu yang ada, melalui keuntuÂngan yang kita dapatkan, kita bisa merevitalisasi mesin-mesin peÂngoÂlahan yang sudah tua itu. Tapi sayangnya keleluasaan keÂunÂtuÂngan itu tidak kami rasaÂkan,†ujar Arum kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Ia menuturkan, infrastruktur pabrik tebu bernasib sama dengan kondisi petani tebu di Indonesia. Keduanya dinilai sangat memÂprihatinkan. Dibukanya izin imÂportir umum telah menyalahi aturan Menperindag nomor 527 tahun 2004.
Kebijakan itu berimÂbas pada masuknya barang impor dengan harga yang lebih murah diÂbanÂdingkan petani tebu. AkiÂbatnya, petani tebu merugi karena harga jual mereka tak kompetitif.
“Bagaimana bisa meÂrevitaÂliÂsasi mesin-mesin kalau meÂreka saja rugi? Kalau untung, mungkin mereka bisa menyisihÂkan keunÂtungan tersebut untuk menÂduÂkung kinerja dan produkÂtivitas mereka,†sambungnya.
Dia mengaku heran dengan keÂjanggalan pemerintah. Arum memÂperhatikan ada upaya pemÂbebaÂsan impor yang mengunÂtungÂÂkan pihak tertentu, salah saÂtunya indiÂkasi monopoli imÂportir.
MeÂnurutÂnya, pembebasan terÂsebut cendeÂrung memasukkan peÂtani dalam pasar bebas. PadaÂhal, pemerintah seharusnya memÂberikan proteksi kepada petani.
“Saya bukannya tendensius, tapi sangat jelas ada banyak pemÂÂÂbuÂruan rente dalam gula. Saya bisa rasakan itu,†tuturnya.
Kementerian BUMN menarÂgetkan proÂduksi gula dari keseÂluruhan PTPN sebesar 1,85 juta ton di 2012. Angka ini lebih kecil dari target (road map) tahun 2012 yang seÂbesar 1,97 ton.
“Tahun ini target produksi gula PTPN hanya 1,85 juta ton atau lebih kecil dari road map tahun ini sebesar 1,97 juta ton,†ujar AsisÂten Deputi Industri Primer III Kementerian BUMN MuhamÂmad Zamkhani. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: