Mengutip
The Star pada Jumat (15/9), penelitian pada ChatGPT dilakukan di layanan darurat Rumah Sakit Jeroen Bosch Belanda sepanjang tahun lalu.
Para ilmuwan memasukkan riwayat pasien yang dianonimkan, tes laboratorium, dan pengamatan dokter sendiri ke ChatGPT. Chatbot itu diminta memberikan lima kemungkinan diagnosis.
Mereka kemudian membandingkan daftar pendek chatbot dengan lima diagnosis yang sama yang disarankan oleh dokter UGD.
Hasilnya, dokter UGD memiliki kebenaran diagnosis sebanyak 87 persen. Sementara ChatGPT versi 3.5 memiliki tingkat kebenaran hingga 97 persen dan versi 4.0 hanya 87 persen.
Meski memiliki kemampuan yang teruji, tetapi menurut Peneliti Steef Kurstjens ChatGPT belum bisa menjalankan UGD secara penuh.
Namun AI dapat memainkan peran penting dalam membantu petugas medis yang berada di bawah tekanan.
"Poin kuncinya adalah bahwa chatbot tidak menggantikan dokter tetapi dapat membantu dalam memberikan diagnosis," ujarnya.
Terlebih, ChatGPT tidak dirancang sebagai perangkat medis. Ada masalah privasi saat memasukkan data medis rahasia dan sensitif ke dalam chatbot.
ChatGPT juga disebutnya memiliki beberapa keterbatasan.
"Chatbot tersebut terkadang tidak masuk akal tidak konsisten secara medis, yang dapat menyebabkan misinformasi atau diagnosis yang salah," ujar ilmuwan Belanda tersebut.
Para ilmuwan juga mengakui beberapa kekurangan dalam penelitian tersebut.
Ukuran sampelnya kecil, dengan 30 kasus yang diperiksa. Selain itu, hanya kasus-kasus sederhana yang diteliti, di mana pasien hanya menunjukkan satu keluhan utama.
Tidak jelas seberapa baik kemampuan chatbot dalam menangani kasus-kasus yang lebih kompleks.
Kadang-kadang chatbot tidak memberikan diagnosis yang benar dalam lima kemungkinan teratasnya. Terutama dalam kasus aneurisma perut, komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa ketika arteri aorta membengkak.
BERITA TERKAIT: