Pengamat ekonomi Faisal Basri menuturkan, era Jokowi telah meningkatkan utang Indonesia 3,3 kali lipat sejak 2014.
“3,3 kali lipat ini terdahsyat setelah krisis. Cita-citanya untuk mengerek ekonomi tumbuh 7 persen, meroket. Tapi nyatanya sudah didoping dengan utang, sudah diwujudkan dalam bentuk infrastruktur dan sebagainya, tapi kok pertumbuhannya anteng-anteng aja di tingkat 5 persen,” ujar Faisal dikutip
RMOL dari kanal Youtube
INDEF, Rabu (28/8).
Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah mencapai Rp8.262,10 triliun di akhir Maret 2024.
Faisal mengendus ada yang salah dalam kebijakan utang negara di pemerintahan Jokowi saat ini. Menurutnya, kondisi ini akan membuat Indonesia semakin terpuruk ke depan.
“Jadi betul ada yang salah, utang ini ke mana? Dan utang Jokowi ini digadang-gadang katanya kalau tidak utang, tidak ada pembangunan infrastruktur, (itu) tidak benar,” tegasnya.
Lanjut dia, APBN kita akhirnya sangat keteteran untuk membayar bunga utang.
“Mencapai rekor baru, bayar bunga (utang) pertama kali melampaui Rp500 triliun. Jadi R-APBN 2025 itu mengalahkan pos pengeluaran lainnya,” ungkap Faisal.
Ekonom senior ini mengurai pos pengeluaran terbesar negara, biasanya ada pada belanja pegawai, barang dan modal. Berikutnya baru infrastruktur.
“Jadi tidak benar kalau utang itu untuk infrastruktur, terbukti dari primary balance. Primary balance itu pendapatan negara dikurangi belanja di luar bayar bunga. Nah artinya kalau primary balance hanya sekali di era Jokowi positif di 2023, selebihnya minus terus, tekor. Artinya apa? Buat bayar bunga pun pemerintah harus berutang. Jadi sudah separah itu,” bebernya.
“Dan pembayaran bunga yang sudah mencapai puncak hanya untuk pertama kali setengah kuadriliun untuk bayar bunga saja. Setengah kuadriliun itu mencapai 20,5 persen dari total penerima pengeluaran pemerintah pusat, sehingga ruang fiskalnya makin sempit,” tambah Faisal.
Faisal menegaskan seharusnya utang selama 10 tahun di era pemerintahan Jokowi sudah ada hasil yang dirasakan.
“Jadi memang utang ini digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran yang tidak produktif, tidak meningkatkan produktivitas nasional, tidak meningkatkan inovasi, tidak meningkatkan industrialisasi, tidak meningkatkan kemandirian pangan. Nah ini jadi buat apa? Ya buat hura-hura Jokowi,” tandasnya.
BERITA TERKAIT: