Sekalian-kali pertama Jakarta-Surabaya dengan mobil listrik. Hyundai Ioniq 5. Yang kekuatan baterainya Anda sudah tahu: 450 km sekali
charging.
Maka saya cari tahu di
rest area mana saja bisa tambah daya. Saya pernah tahu tapi lupa. Grup WA pemilik mobil listrik pernah bercerita soal itu. Tapi kalau tidak mengalami sendiri segala macam info cepat terlupa. Ini adalah zaman
infoflation. Inflasi info. Berita baru sudah digeser oleh yang lebih baru dalam hitungan kecepatan cahaya.
Makan malam itu sebenarnya belum selesai. Tapi saya pamit ketika sendok terakhir belum kembali menyentuh piring. Abdullah Azwar Anas, menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, memaklumi kebiasaan saya.
Begitu masuk mobil saya melihat indikator baterai: sudah terpakai 17 persen. Masih bisa untuk 380 km. Bisa sampai Pekalongan atau Batang. Tapi anggota grup WA mengingatkan: lebih baik melakukan
charging pertama di KM 207A. Berarti sedikit setelah Cirebon.
Saya penuhi saran itu. Sebenarnya begitu sampai di KM 207 indikator menampilkan masih bisa untuk 137 km lagi. Ikut yang sudah berpengalaman saja.
"Siapa tahu
charging berikutnya lagi
error," ujar pemberi saran tersebut.
Lokasi charging-nya cukup untuk empat mobil. Tapi hanya mobil saya yang haus. Lancar. Mudah. Lewat aplikasi. Semuanya jelas. Berapa bayar, berapa lama, masih berapa menit lagi dan seterusnya.
Begitu setrum mulai masuk, saya tinggal ke toilet. Lalu melihat-lihat minimarket –siapa tahu ada yang bisa dibeli. Tidak. Singkong kukus masih banyak. Itulah sarapan saya hari itu yang karena tidak habis masih bisa dibawa balik ke Surabaya.
Kembali ke stasiun
charging ternyata sudah terisi 97 persen. Kurang tiga persen lagi. 98. 99. 100. Cepat sekali. Lebih cepat dari yang saya bayangkan. Untuk apa takut Jakarta-Surabaya pakai mobil listrik.
Berarti masih harus
charging sekali lagi. Sebenarnya rugi cepat-cepat
charging di KM 207. Tapi di pengalaman pertama janganlah sembrono.
Saya pun isi setrum lagi di KM 519. Dekat Sragen. Maunya sampai penuh. Saya urungkan.
Charging di KM 519 ini lambat. Begitu bertambah 20 persen saya cabut awal.
Saya teliti mesin
charging lambat ini: milik Hyundai sendiri. Stasiun charging-nya pun terlalu sederhana. Tidak ada atap. Padahal lagi gerimis. Tidak ada lantai khusus. Lantainya paving yang ada. Hanya untuk dua mobil.
Padahal, maksud saya, itu adalah
charging kedua dan terakhir. Berarti harus sekali lagi. Tidak mengapa. Sekalian membanding-bandingkan antar stasiun
charging.
Fajar sudah menyingsing. Stasiun charging berikutnya adalah Saradan. Di rest area KM 626. Di dekat hutan jati. Sepi. Kecil. Tapi tempat
charging-nya besar. Lengkap. Mau yang sangat cepat ada. Yang lambat pun ada beberapa: lambat atau lambat sekali.
Saya perhatikan siapa pemiliknya: PLN. Berarti yang 207 tadi juga PLN. Setrumnya tertulis: 200 kwh. Ada juga tulisan Extra Fast di bagian bawahnya. Sedang yang milik Hyundai tadi mungkin hanya 25 kwh –saya baca semua tulisan di situ tidak ada info soal berapa kwh.
Memang banyak informasi di medsos: di
rest area mana saja ada stasiun
charging. Tapi tidak menjelaskan di mana kecepatannya berapa.
Kalau saja yang di KM 519 itu
extra fast cukuplah dua kali
charging. Hanya kehilangan waktu 20 menit kali dua. Masih ok. Toh bisa dimanfaatkan ke toilet atau minum kopi.
Dan lagi hematnya luar biasa. Dua kali
charging extra fast itu hanya menghabiskan Rp 120.000 x 2: Rp 240.000. Bandingkan kalau pakai mobil bensin –nonsubsidi– habis Rp 1.200.000.
Saya tidak akan jera Jakarta-Surabaya pakai mobil listrik. Asal jangan Tesla. Stasiun
charging tadi itu tidak ada yang cocok untuk Tesla. Itu seperti
charging iPhone dan Android.
BERITA TERKAIT: