Wali Kota Seoul, Korea Selatan, pernah jadi ''korban'' demokrasi. Ia ingin membenahi satu bagian kota Seoul yang kumuh dan berbau busuk. Bau itu datang dari selokan besar yang ditutup beton. Untuk melebarkan jalan.
Demokrasi membuat sang wali kota tidak bisa begitu saja merombak wilayah itu. Tapi ia teguh dengan konsepnya. Ia jalani proses demokrasi itu. Ia pun harus mengadakan rapat lebih 1.000 kali. Sampai warga di situ setuju.
Proyek pun berjalan. Wilayah itu jadi kawasan yang sangat cantik. Jadi tujuan wisata baru.
Sang wali kota lantas mencalonkan diri sebagai presiden. Terpilih. Waktu jadi presiden ia juga hebat. Ia hebat sejak muda. Sejak menjadi kepala proyek jalan tol Jagorawi di Indonesia. Atau bahkan sebelum itu. Sampai hari ini Jagorawi masih menjadi jalan tol terbaik –kalau Anda setuju.
Nama orang hebat itu Anda sudah tahu. Sudah pernah saya tulis di Disway: Lee Myung-bak.
Di Indonesia untuk melahirkan UU Kesehatan tidak perlu 1.000 kali rapat. Mungkin tidak sampai 100 kali. Jangan-jangan tidak sampai 40 kali. Yang jelas, di tangan Presiden Jokowi, UU yang begitu penting selesai dalam 6 bulan.
Caranya memang canggih. Desember lalu dibocorkanlah draf RUU Kesehatan. Semacam Omnibus Law bidang kesehatan.
Masyarakat ramai membicarakan. Anehnya sumber draf itu misterius. Dari pemerintah, tidak. Dari DPR tidak. Maka tidak harus ada yang bertanggung jawab. Ibarat sebuah kolam pancing, ada yang memancing tapi tidak terlihat orangnya.
Tapi pancingan itu mendapatkan ikan besar. Bentuk ikannya: reaksi pro-kontra di masyarakat. Terutama dari kalangan dokter. Lebih khusus lagi dari organisasi tunggal dokter: IDI (Ikatan Dokter Indonesia).
Muncul pula perlawanan pada IDI. Bahkan ada semacam kampanye khusus pembusukan IDI.
Kesannya: IDI otoriter.
IDI berbisnis.
IDI sumber kesulitan.
IDI penyebab mahalnya jasa kesehatan. Dan banyak lainnya.
Kolam ikan pun keruh. Sebentar. Reaksi masyarakat itu membuat suhu memanas tapi terukur. Panas itu pun reda sendiri.
Lantas: dok! UU Kesehatan disahkan Selasa kemarin. Aklamasi. Tidak ada oposisi. Tidak ada interupsi. Semulus rel kereta cepat Ya-Wan nan permai.
Maka perubahan besar segera bergulir. Izin praktik dokter tidak lagi perlu rekomendasi IDI. Bahkan kata IDI tidak lagi ada di UU Kesehatan yang baru.
Seperti izin dagang lainnya, izin praktik dokter akan dikeluarkan oleh pemerintah. Siapa yang dimaksud pemerintah masih harus menunggu ketentuan lebih lanjut. Mungkin Dinas Kesehatan kabupaten atau kota.
Izin itu akan berlaku seumur hidup. Tidak harus memperpanjang setiap lima tahun.
Ketika IDI didirikan pada 1950, jumlah dokter yang hadir di muktamar pada saat itu 181 dokter. Pejabat pemerintah di bidang kesehatan pasti dokter. Pasti anggota IDI. Maka antara IDI dan kekuasaan di bidang kesehatan seperti manunggal.
Sedang jumlah dokter saat ini sudah lebih 151.000 orang –meski tetap belum cukup. Bidang spesialisasi pun kian banyak. Dokter spesialis punya organisasi sendiri-sendiri pula.
Dari IDI yang paling diperlukan adalah di bidang penegakan kode etik. IDI adalah polisi kode etik. Polisi perlu senjata. Setidaknya pentungan. Rekomendasi IDI adalah senjata itu. Bagi dokter yang bandel tidak akan mendapat rekomendasi IDI untuk berpraktik.
Senjata itu kini dilucuti. Tanpa senjata, IDI tentu akan lebih sulit menegakkan kode etik.
Senjata itu kini di tangan pemerintah. Pemerintah tidak berhak menjaga kode etik. Yang dijaga pemerintah adalah peraturan dan perundangan. Hanya dokter yang melanggar peraturan yang bisa ditindak oleh pemerintah.
Dengan hilangnya senjata itu, IDI praktis hanya akan jadi paguyuban. IDI memang masih bisa memecat dokter yang melanggar kode etik. Yakni dipecat dari keanggotaan IDI. Tapi tidak jadi anggota IDI toh tetap bisa berpraktik atas izin pemerintah.
Berarti IDI harus melihat lagi Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangganya. Apa saja yang tidak lagi relevan.
Perguruan tinggi juga harus bersiap berubah. Terutama fakultas kedokterannya. Lebih khusus lagi di perkuliahan spesialisnya.
Nanti, untuk menjadi spesialis tidak perlu mendaftar di fakultas kedokteran. Pendidikan spesialis akan pindah tempat: ke rumah sakit. Menjadi spesialis tidak perlu lagi kuliah. Otomatis tidak perlu membayar uang kuliah yang mahal itu.
Dua hal itu saja memerlukan sangat banyak peraturan pelaksanaannya. Sering kali peraturan pelaksanaan lebih penting dari UU. Maka lobi-lobi untuk menitipkan kalimat di peraturan pelaksanaan akan sangat intensif. Ada bisnis besar di situ.
Sambil menunggu lahirnya ratusan aturan pelaksanaan itu, dokter tetap harus bekerja. Orang sakit tidak bisa menunggu aturan baru.
Mungkin akan ada yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Mungkin ada yang menggerutu. Mungkin juga ada yang bersikap
move on.
BERITA TERKAIT: