Pemain gelanggang politik mulai dari calon legislatif, bahkan pejabat daerah hingga para menteri sibuk menyiapkan amunisi untuk tampil sebagai pemenang saat kontestasi politik berlangsung nantinya.
Ironisnya justru masyarakat merasa terabaikan bahkan terkesan pragmatisme politik yang dilakukan para pemain pemilu semakin pelik di tengah masyarakat yang kesulitan bertahan di tengah terombang-ambing abstraksi politik dari para pemangku kebijakan.
Pencitraan dan propaganda politik adalah cara ampuh dalam agitasi dan
personal branding sang calon. Alih-alih serius mengabdi seraya mengumpulkan niat terbaik untuk melayani rakyat sebelum pemilu, justru memanfaatkan berbagai cara demi terwujudnya kekuasaan yang langgeng.
Fenomena-fenomena yang tengah terjadi pada setahun kurang lebih menjelang pemilu dimanfaatkan sedemikian rupa oleh para bakal calon yang diusung oleh sebagian pihak yang digadang-gadang menjadi pemenang pemilu nanti.
Dari legislatif, hingga pejabat eksekutif. Hal ini terbukti dari bagaimana penjabat memainkan psikologis rakyat di tengah arus euforia masyarakat terhadap akulturasi budaya, hedonisme hingga liberalisasi.
Konser Coldplay yang diadakan di Gelora Bung Karno Bulan November mendatang tak sedikit mengundang gegap gempita masyarakat Indonesia. Para penggemar meliputi anak muda hingga orang tua bahkan tak sedikit tokoh masyarakat yang turut mewarnai atmosfer euforia menjelang diadakannya konser Coldplay.
Di samping itu, derasnya penolakan dari pihak alumni 212 ataupun sekelompok ulama menjadi dinamika pro kontra konser Coldplay.
Penolakan keras dari 212 datang dari Wasekjen PA 212 Novel Bamukmin, ia mengancam akan memblokir Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) hingga mengepung di bandara.
Selain itu penolakan juga datang dari MUI (Majelis Ulama Indonesia), Wakil Ketua MUI Anwar Abbas menilai bahwa konser Coldplay mendatangkan lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Ia menolak keras dan meminta pemerintah memikirkan secara matang bahwa mengundang Coldplay berarti sepakat dengan nilai-nilai LGBT.
Pasalnya Coldplay merupakan salah satu band kondang asal inggris yang turut menyuarakan kampanye LGBT melalui konser-konser yang diadakan. Hal ini terbukti melalui penggunaan atribut pelangi saat konser hingga hasil dari konser yang tak sedikit disumbangkan kepada kelompok LGBT sebagai program amal dan bentuk perlawanan terhadap sikap diskriminasi.
Meski begitu konser Coldplay ini disambut meriah oleh para penggemar bahkan pegiat politik dan menteri. Hal ini tak lain sebagai alat politisasi dan agitasi politik jelang pemilu. Pasalnya hal ini juga melibatkan beberapa menteri yang menengarai suksesnya pergelaran konser Coldplay pada November mendatang.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) Sandiaga Salahuddin Uno pasang badan dengan meyakinkan masyarakat bahwa pergelaran konser Coldplay tidak akan melanggar hukum, ia mengaku telah membuka komunikasi dengan ulama.
Tak hanya itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD juga melayangkan reaksi keras terhadap ancaman Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) terkait konser Coldplay.
Ia memastikan akan menyiapkan aparat untuk menjaga keberlangsungan konser agar aman sentosa. Ia tak begitu menggubris ancaman keras dari PA 212, Mahfud merasa tak melanggar hukum, ia menilai bahwa Coldplay hanya hiburan bukan kampanye budaya.
Wasekjen PA 212 Novel Bamukmin, ia menilai bahwa kedua Menteri, yaitu Sandiaga dan Mahfud diduga punya ambisi politik. Ia yakin hal ini tak lain merupakan strategi yang semata-mata sebagai branding politik jelang pemilu.
Selain konser Coldplay yang disambut meriah, agenda besar lain yang dekat ini akan berlangsung adalah pertandingan Indonesia vs Argentina (FIFA Match Day) yang akan digelar Senin (19/6) di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK).
Di balik suksesor pergelaran pertandingan Indonesia vs Argentina adalah Erick Thohir menjabat sebagai Menteri BUMN yang juga merupakan ketua umum PSSI periode 2023-2027 sesuai hasil Kongres Luar Biasa (KLB) di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, Kamis (16/2/2023).
Uniknya Erick mengatakan kedatangan timnas Argentina akan lebih booming dari perebutan tiket konser Coldplay. Disinyalir ungkapan ini merupakan bentuk persaingan politik yang kerap dimunculkan oleh dua tokoh yang digadang menjadi cawapres pada pemilu mendatang yakni Sandi dan Erick.
Melihat arus perang event yang belakangan diduga muncul dari suksesor kedua agenda besar tanah air, yakni pertandingan Indonesia vs Argentina dan konser Coldplay, tak lain merupakan arus pragmatisme politik dengan strategi rekayasa psikologis masyarakat di tengah euforia hiburan.
Kala rakyat jumud melihat pertengkaran politik, hiburan menjadi pelarian terbaik di tengah kebijakan yang tak kunjung menyejahterakan. Alih-alih terhibur, malah menjadi korban strategi licik politikus yang jauh dari ambisi suci.
Cara ini ampuh saat masyarakat mulai empati merasa terfasilitasi dengan hiburan musik hingga olahraga yang disukseskan melalui tangan-tangan penguasa.
Mirisnya kondisi ini adalah tipu muslihat yang tak banyak disadari masyarakat yang sudah terlanjur puas dan gembira menyambut idolanya.
Demikian memang prinsip rekayasa politik kapitalisme. Tak ada yang tertinggal untuk dimanfaatkan demi ambisi kekuasaan. Alih-alih pejabat menjamin kualitas hidup rakyat nya dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok hingga perbaikan fasilitas umum justru rakyat dibiarkan terjebak dalam pusaran euforia hiburan, hedonisme, hingga liberalisasi budaya.
Ditunggangi ambisi politik, rakyat didukung untuk hidup foya-foya sekedar membeli tiket konser atau nonton bola, tak peduli merogoh kocek hingga jutaan bahkan berhutang demi memenuhi kebutuhan fana.
Hari ini negara memang tidak punya standar baik-buruk dan benar-salah kecuali keuntungan. Tak peduli nilai-nilai yang dilanggar selagi ada keuntungan terlebih sarat ambisi politik, tak ketinggalan hal ini turut dimanfaatkan sebagai kendaraan demi mencapai kekuasaan.
Ironisnya negara ini telah menjadi rumah bagi para penguasa pragmatis yang berjajar menawarkan rekayasa politik. Padahal seharusnya penguasa menjadi pengingat bahkan pendakwah yang efektif melalui kebijakan dan hukum yang berperan penuh dalam rangka menjadikan generasi muda yang berkualitas dan bermoral.
*Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ
BERITA TERKAIT: