Pasalnya, peristiwa ini bukanlah suatu perang yang terjadi hanya antara kedua negara yang bersangkutan melainkan melahirkan sebuah arena kontemporer bagi aktor-aktor internasional untuk terlibat dan ikut campur dalam menyelesaikan konflik tersebut.
Pihak Barat misalnya, menyebut Rusia sebagai pelaku pelanggaran HAM dan perusak perdamaian dunia. Selain itu, juga terdapat NATO dan Uni Eropa dengan sponsor utamanya Amerika Serikat yang memberikan sanksi melalui embargo ekonomi dan pemberian kecaman politik yang beragam.
Walaupun begitu, Rusia tetap menunjukkan eksistensinya yang ditunjukkan dengan hadirnya Presiden Vladimir Putin beberapa waktu lalu dalam pertemuan para pemimpin negara dalam sekutu organisasi BRICS.
BRICS sendiri merupakan sebuah organisasi berskala internasional dengan berbasis kerjasama ekonomi yang didirikan sejak tahun 2009 dan hingga saat ini memiliki lima negara anggota tetap, yakni; Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Dalam pertemuannya yang terbaru yakni pada tahun 2021 di New Delhi, India para pemimpin negara mengumumkan telah sepakat untuk membentuk kerjasama yang lebih erat khususnya mengenai perekonomian Rusia yang telah diganggu akibat dari sanksi invasi perang dengan Ukraina.
Merespon hal tersebut, Rusia menggeser target pasar dan arus perdagangannya ke wilayah negara-negara BRICS, bahkan menyebutnya sebagai mitra internasional yang lebih dapat diandalkan. Tidak hanya itu, disebutkan pula adanya peningkatan yang pesat dalam aspek ekonomi dan perdagangan selama beberapa tahun terakhir.
Isu perang Rusia-Ukraina sebenarnya tidak pernah disebutkan secara langsung untuk dibicarakan. Namun semua negara yakin hal ini secara terselubung menjadi fokus utama dalam pertemuan yang telah berlangsung.
Pratyush Rao, sang Direktur Konsultan Penanggulangan Ancaman untuk Asia Selatan menggambarkan kondisi Ukraina saat ini dalam salah satu pepatah,
elephant in the room, yang berarti suatu permasalahan yang sudah sangat jelas dan diketahui oleh semua orang tetapi tidak ada yang membiacarakannya.
Perang antara Rusia-Ukraina memang tidak dapat dipungkiri telah merubah banyak tatanan utama dunia, salah satunya dalam bidang ekonomi.
Ketidakseimbangan gelombang kekuatan antar negara-negara besar yang akhirnya menyebabkan hampir semua negara didunia mengalami inflasi.
Maka untuk itu, negara-negara berkembang akan berusaha keras mencari negara dengan kekuatan besar untuk membantunya dan bahkan mengirimkan permohonan pada berbagai organisasi internasional yang diharapkan dapat menampung dan menjulurkan tangan kepada mereka.
Dalam kondisi perekonomian global yang tidak stabil ini, justru memberikan dorongan bagi BRICS untuk bersinar dalam perekonomian dunia.
Hal ini terlihat dengan kokohnya kerjasama yang dibangun hingga pesatnya kenaikan keuntungan dan capaian ekonomi negara-negara anggota.
Kemajuan ini yang mendorong banyaknya negara, utamanya negara berkembang berbondong-bondong mengajukan permohonan untuk menjadi bagian dari organisasi tersebut.
Terhitung sampai tanggal 3 Juni 2023 dalam wawancara dengan Duta Besar Afrika Selatan untuk BRICS mengatakan, "Tiga belas negara telah meminta secara resmi untuk bergabung dan enam lainnya telah meminta secara tidak resmi. Kami menerima lamaran untuk bergabung setiap hari".
Dengan begitu tidak dapat dipungkiri lagi bahwa posisi organisasi BRICS ini sendiri telah memberikan dampak yang signifikan dan menarik perhatian di kancah dunia internasional.
Walaupun begitu, negara-negara anggota BRICS masih tetap berupaya menempatkan kepentingan nasional mereka di atas aliansi geopolitik.
Mengenai perang yang terjadi ini, mereka cenderung menjadi diam dan tidak dapat memberikan komentar apapun mengenai berbagai invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina.
Pemerintah Afrika Selatan misalnya, menimbang pembelian gas alam cair dan menggandakan kapasitas penyimpanan minyak dengan memutuskan tender termasuk Rusia menjadi kandidat terkuatnya.
Tidak hanya itu, China dan India juga ikut mengambil minyak dari Rusia yang harganya terbukti relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang lain disebabkan importir Barat yang menarik diri sebagai tindakan sanksi embargo.
Memang, karena hal ini banyak negara terutama negara berkembang yang berbondong-bondong membeli minyak dan sumber alam lain dari Rusia dengan harga murah pada masa perang. Hal ini yang membantu Rusia tetap bisa kuat menggencarkan invasinya ke Ukraina.
China masih berpegang teguh pada posisi netralnya dan terus menepis isu keberpihakannya dengan Rusia. Walaupun begitu tidak bisa dipungkiri kemungkinan China dan Rusia yang bekerjasama untuk tujuan lebih dalam dan besar yaitu membawa BRICS menjadi organisasi yang diakui keberadaannya di dunia.
Di sisi lain, India tetap berpegang teguh pada prinsip "Otonomi Strategis" dan kebijakan luar negeri yang tidak berpihak pada siapapun. India memiliki strategi yang independen dimana mereka memiliki suara dalam kondisi global dan memiliki kemampuan untuk menjadi titik yang signifikan dalam forum multilateral.
Walaupun begitu, India menjadi rekan bisnis dalam jumlah besar dan jangka waktu yang panjang bagi Rusia. Diperkirakan adanya koordinasi perdagangan antara Rusia dengan India yang akan lebih meluas di masa depan.
Walaupun berada di bawah naungan satu organisasi yang sama, yaitu BRICS, semua negara anggota memiliki sikap dan posisi yang berbeda dalam menanggapi konflik Rusia dan Ukraina. Keberlangsungan organisasi tetap berlanjut sesuai bahkan lebih baik dibandingkan dengan apa yang telah dikerjakan sebelumnya.
Sampai saat ini Rusia masih menjadi rekan bisnis yang makin baik dengan negara anggota BRICS dan dengan itu negara-negara tersebut dapat lebih mudah mencapai kepentingan nasionalnya.
Bahkan, dapat dikatakan perang Rusia-Ukraina merupakan sebuah momentum bagi BRICS untuk dapat menaikkan kehadirannya dalam lingkup global dan menjadi organisasi internasional yang berpengaruh di dunia.
*
Penulis adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
BERITA TERKAIT: