Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bagaimana Praktik Gratifikasi Bisa Subur Terjadi?

OLEH: DIAN FITRIANI*

Selasa, 02 Mei 2023, 20:37 WIB
Bagaimana Praktik Gratifikasi Bisa Subur Terjadi?
Ilustrasi/Net
GRATIFIKASI seringkali kita dengar dalam istilah administrasi, disamakan dengan hadiah bahkan di titik ekstrem nya gratifikasi kerapkali disebut suap dan korupsi. Cara kerja dari gratifikasi sebetulnya sederhana, berawal dari budaya memberi hadiah yang berdampak pada siklus yang lebih kompleks lagi.

Mengapa kompleks? Menurut Professor Kebijakan Publik di University of Adelaide, Australia, Adam Graycar, dalam jurnalnya "Gift Giving and Corruption", sifat hadiah dan gratifikasi ini terbilang samar dan rentan. Graycar bahkan menyebut dalam jurnalnya setidaknya ada tiga sebab mengapa hadiah dan gratifikasi sama-sama dilarang yaitu antara lain : memicu timbal balik (resiprokal), menuntut proses pertukaran, dan saling berbalas (quid pro quo).

Proses gratifikasi memang secara tak sadar itu merupakan sisi bawaan manusia sebagai makhluk sosial yang tidak terlepas dari interaksi sosial yang melibatkan sisi afeksi manusia. Rasa empati dan merasa harus membalas inilah seolah menjadi wajar memberikan hadiah terhadap petugas pelayanan atau penjabat publik yang sebetulnya melakukan hal yang sudah menjadi tugasnya.

Contoh kecil yang sering kita alami adalah memberi hadiah pada petugas pelayanan publik, hadiah inilah yang berujung pada maraknya praktik gratifikasi.

Lantas bagaimana di Indonesia?

Saya baru-baru ini mendapatkan kabar mengenai seseorang yang berlagak sebagai broker surat tanah yang tentu saja ilegal, orang tersebut bahkan merupakan warga di kampung saya tinggal. Seolah warga tak perlu ambil pusing memikirkan apakah itu legal atau bukan, tanpa pikir panjang langsung saja ke dia, sebutlah sebagai broker dan langsung mengurus surat dan berbagai macam urusan administrasi. Biaya yang dikenakan sangatlah tinggi dari 1-3 juta rupiah untuk satu surat tanah.

Bukan saja cerita tersebut, saya pun mendapatkan kabar di kelurahan-kelurahan marak pula terjadi praktik ini, berseragam PNS namun main belakang minta uang pelicin agar KTP atau surat-surat lainnya bisa diurus dengan cepat.
Meski tidak harus segamblang itu, praktik gratifikasi bisa hadir dalam berbagai bentuk yang lebih samar seolah tampak seperti normal dan wajar saja, contohnya memberikan hadiah ulang tahun ke pejabat.

Lantas apa yang menyebabkan maraknya praktik gratifikasi ini terjadi di Indonesia?

Saya mencoba membagi menjadi dua ranah dalam pembahasan penyebab maraknya gratifikasi terutama dalam perihal pelayanan publik. Yang pertama faktor sistem dan yang kedua faktor kultur.

Yang pertama faktor sistem. Dalam sistem birokrasi di Indonesia, sudah menjadi rahasia umum urusan administrasi dibuat ruwet dan lama, masyarakat dipersulit hingga ada saja yang menjadi celah yang mendorong adanya transaksi gratifikasi.

Contoh lain yaitu praktik maladministrasi yang cukup marak di Indonesia, yaitu pembuatan SIM melalui calo, yang menggelikan adalah calonya berseragam polisi. Saya mencoba menyoroti perihal proses pembuatan SIM yang kadang kala menggelitik akal sehat, saya fikir tidak akan ditemukan di jalan raya umumnya sajian rintangan tes yang sedemikian rumitnya.

Kurang lebih tes lapangannya adalah si pendaftar harus melalui rintangan berliku seperti bentuk U, angka 8 dengan celah yang sempit membuat kecilnya kemungkinan untuk lolos. Jika hari itu tidak lolos, si pendaftar harus mengulanginya di pekan selanjutnya.

Mengetahui sulitnya rintangan, maka sering kali si pendaftar sebelum mencicipi rintangan berliku tersebut disuguhi dengan tawaran "nembak SIM", ketika baru saja menginjakkan kaki di kantor Samsat.

Saya juga mendapatkan cerita dari teman saya yang membuat SIM di samsat di kota tempat teman saya tinggal. Baru saja dia datang menginjakkan kaki ke kantor langsung ditanya keperluannya apa. "Membuat SIM" jawab teman saya itu, tak perlu waktu lama, si petugas berseragam ini tentu saja polisi langsung menawarkan "mau langsung?".

Itu isyarat agar tidak ada proses tes sebagai gantinya si pendaftar membayar 500 ribu rupiah dari harga normal 70-100 ribu rupiah yang merupakan biaya administrasi. Artinya ada 400 ribu rupiah sisa dari biaya administrasi yang normal.

Jika kita bayangkan, setiap harinya pendaftar pembuatan SIM sebanyak 10 orang, katakanlah 70 orang dalam seminggu. Jika kita akumulasi kan (400.000 x 70 = 28.000.000).

Angka yang sangat fantastis, oknum petugas ini bisa memperoleh 28.000.000 rupiah dalam seminggu. Itu jika 10 orang pendaftar yang menembak SIM setiap harinya. Tentu saja berbeda angkanya jika kurang ataupun lebih. Itu hanya ilustrasi saja.

Muncul pertanyaan, apakah ini legal? Tentu saja tidak. Meski orang-orang yang berseragam itu adalah aparat hukum atau memang itulah titik kejanggalan di negeri ini. Aparat hukum justru melanggengkan pelanggaran hukum. Aneh bukan? Pertanyaannya mengapa tidak ditindaklanjuti? Dan mengapa justru terus menerus adanya pembiaran?

Jawabannya, praktik gratifikasi ini terjebak dalam siklus yang disebut dengan sistem. Jika kita usut lebih lanjut praktik ini adalah kepanjangan tangan dari sistem politik yang kotor yang masih berlangsung di negeri ini.

Kemudian faktor yang kedua yakni kultur. Faktor kultur ini berlangsung karena adanya SDM yang minim integritas dan kejujuran dalam bekerja, hal ini terjadi di kalangan penjabat hingga petugas pelayanan publik. Mereka tak malu memperumit urusan administrasi sebagai tipuan agar masyarakat terjebak dalam perangkapnya kemudian menawarkan bantuan-bantuan manis yang padahal sudah menjadi tugasnya.

Dari situlah masyarakat tergiur karena sulitnya proses birokrasi sehingga tak perlu pikir panjang praktik gratifikasi itupun terjadi.

Selanjutnya, kurangnya edukasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat terjebak pada sistem birokrasi yang buruk. Minimnya pengetahuan di tengah masyarakat inilah menjadi celah ketidakjujuran petugas pelayanan publik dalam bekerja. Karena masyarakat tidak mengetahui bagaimana seharusnya pelayanan publik yang baik, sehingga merasa bahwa "uang pelicin" adalah solusi.

Setidaknya dari dua pihak inilah yang membuat maraknya kultur gratifikasi ini semakin langgeng. SDM yang minim integritas dan kejujuran juga minimnya edukasi masyarakat.

Namun, semua kembali lagi pada sistem yang berlangsung, apakah negara ini bukan tidak tahu akan tetapi menormalisasi praktik tersebut?

Ataukah memang ada yang salah dengan sistem yang kini tengah kita jadikan sebagai landasan hukum konstitusi berikut pula penegak hukumnya?

Wallahu A'lam Bi Sowab. rmol news logo article

*Penulis adalah Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA