Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menggugat Gelar Akademisi AP Hasanuddin, Peneliti Alergi Riset Bergaya Preman

OLEH: DIAN FITRIANI*

Selasa, 25 April 2023, 22:16 WIB
Menggugat Gelar Akademisi AP Hasanuddin, Peneliti Alergi Riset Bergaya Preman
Logo Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)/Net
MEMBUAT gempar, komentar Andi Pangerang atau AP Hasanuddin di media sosial soal Muhammadiyah dinilai bermuatan ancaman. Andi merupakan peneliti bidang astronomi yang diduga mengunggah pernyataan mengancam warga Muhammadiyah karena perbedaan pendapat tentang penetapan 1 Syawal 1444 Hijriah.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Melalui akun Facebook-nya pada Minggu, 23 April 2023, Andi berkomentar keras bahkan mengancam. Hal tersebut bermula dari unggahan peneliti BRIN lainnya, Thomas Djamaluddin mengenai perbedaan penentuan 1 Syawal 1444 Hijriah antara pemerintah dengan Muhammadiyah.

Ujaran yang bernada kebencian ini terdapat dalam kolom komentar di status Thomas itu, Andi mengutarakan pernyataan yang keras, bahkan mengancam membunuh warga Muhammadiyah satu-persatu.

“Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui melalui agenda kalender Islam global dari Gema Pembebasan? Banyak bacot emang!!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat kegaduhan kalian,” tulis akun AP Hasanudin dengan me-mention sebuah akun Ahmad Fauzan S.

Hal ini tentu saja menuai kontroversi, kecaman keras dari beberapa tokoh Muhammadiyah pun tak terhindarkan. Salah satunya muncul dari rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, yakni Dr. Mamun Murod M.Si. Beliau menilai sikap Andi tidak menggambarkan seorang intelektual bahkan terkesan seperti preman yang mengancam kekerasan fisik bahkan pembunuhan.

"Pak Presiden @jokowi Prof. @mohmahfudmd , Pak Kapolri @ListyoSigitP @DivHumas_Polri , Gus Menag @YaqutCQoumas , Kepala @brin_indonesia bgmn dg ini semua? Kok main2 ancam bunuh? BRIN sbg lembaga riset hrsnya diisi mereka yg menampakkan keintelektualannya, bkn justru spt preman." Diambil dari cuitannya di twitter (@mamunmurod_) pada tanggal 23 April 2023.

Bukan saja datang dari tokoh, melainkan juga datang dari aktivis salah satu organisasi otonom Muhammadiyah yang bergelut di perguruan tinggi, yakni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat FISIP UMJ, Muhammad Diva Mu'zizat menyebut bahwa komentar Andi menurunkan marwah seorang intelektual yang seharusnya mencerahkan bukan menebar kebencian. Bahkan tak ragu akan terus memantau perkembangan kasus pelaporan ini.

"Oleh karena itu kami, IMM Komisariat FISIP UMJ mengawal isu tersebut sampai proses hukum berjalan sebagaimana mestinya, bila tidak cukup kita kawal sampai mereka dicopot gelar akademikanya karena mengurangi marwah intelektual," kecam Diva.

Menanggapi hal ini, penulis mencoba merangkum sebagai landasan kerangka pemikiran guna memperoleh konklusi di akhir.

Setidaknya ada 4 poin yang telah penulis rangkum sebagai pengambilan sikap secara independen sebagai penulis opini. Tulisan ini sebagai sikap terhadap komentar keras Andi yang dilontarkannya di Facebook pada 23 April lalu.

Yang pertama menggugat gelarnya sebagai akademika. Komentar yang dilontarkan tersebut bernapaskan ancaman pembunuhan dan sangat jauh dari diri seorang intelektual. Penulis bukan saja menyayangkan, akan tetapi menggugat secara keras gelar yang dipasang sebagai akademika bahkan seorang peneliti bidang astronomi di Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN).

Ia lebih pantas dipanggil preman, bahkan teroris karena sikap yang mengancam dan menakut-nakuti warga Muhammadiyah. Lagi pula aneh sekali membaca komentarnya seperti bukan seorang peneliti, seharusnya ia riset terlebih dahulu tentang metode apa yang digunakan Muhamadiyah dalam menentukan satu syawal yang tidak ada hubungannya dengan tudingannya yang menyebut 'disusupi Hizbut Tahrir'.

Maka penulis dalam hal ini meragukan keabsahan gelar akademiknya akibat dari ujaran kebencian yang penuh tendensi dan emosional juga tudingannya yang tidak berdasarkan fakta ataupun riset.

Selanjutnya poin yang kedua, yakni penulis menanggapi kutipan komentar Andi yang menyebut agenda kalender Islam global sebagai representasi program dari Hizbut Tahrir. Kembali, penulis dalam hal ini menanyakan keabsahan gelarnya sebagai peneliti astronomi.

Minimal riset sebelum berucap. Agenda kalender Islam global bukanlah program Hizbut Tahrir, melainkan metode yang shahih yang digunakan oleh umat Islam secara global. Hal ini terdapat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

“Berpuasalah kamu karena melihat dia (hilal) dan berbukalah kamu karena melihat dia (hilal).” (HR. al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i).

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إذا رأيتموه فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غُمَّ عليكم فاقدروا له

“Jika kamu melihat dia (hilal) maka berpuasalah kamu, dan jika kamu melihat dia (hilal) maka berbukalah, jika pandangan kamu terhalang mendung maka perkirakanlah (genapkanlah).” (HR al-Bukhari, Muslim, al-Nasa`i, dan Ahmad).

Hadits tersebut merupakan landasan syar'i awal puasa, hari idulfitri ataupun iduladha yang di dalamnya terdapat rangkaian pelaksanaan haji hingga ibadah kurban. Tentu saja titik kritis yang perlu didudukkan permasalahannya.

Berdasarkan keterangan di atas, rukyatul hilal yang dimaksud bukanlah rukyat lokal yang berlaku untuk satu mathla’ (seperti dalam madzhab Syafi’i), melainkan rukyat yang berlaku secara global, dalam arti rukyatul hilal di salah satu negeri muslim berlaku untuk kaum muslim di negeri-negeri lain di seluruh penjuru dunia (seperti dalam madzhab jumhur, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali). (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz II, hlm. 605).

Pandangan ini sejalan dengan Imam al-Syaukani dalam persoalan ikhtilaful mathali’ (perbedaan mathla’), di mana Imam Syaukani menguatkan pendapat jumhur dengan berkata:

والأمر الوارد في حديث ابن عمر، لا يختص بأهل ناحية على جهة الانفراد، بل هو خطاب لكل من يصلح له من المسلمين، فالاستدلال به على لزوم رؤية أهل بلد لغيرهم من أهل البلاد، أظهر من الاستدلال به على عدم اللزوم؛ لأنه إذا رآه أهل بلد، فقد رآه المسلمون، فيلزم غيرهم ما لزمهم.

“Perintah yang terdapat dalam hadits Ibnu Umar [idza ra`iytumuuhu…] tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah secara terpisah, melainkan merupakan khithab (perintah/seruan) bagi siapa saja yang layak menerima khithab itu dari kaum muslim. Maka beristidlal dengan hadits ini untuk mengharuskan pemberlakuan rukyat kepada penduduk negeri yang lain, adalah lebih kuat daripada beristidlal dengan hadits ini untuk tidak mengharuskannya. Sebabnya adalah jika penduduk suatu negeri telah melihat hilal, berarti kaum muslim telah melihatnya, maka berlakulah rukyat bagi kaum muslim apa yang berlaku bagi penduduk suatu negeri itu.” (Imam al-Syaukani, Nail al-Authar, 4/195, dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz II hlm. 609).

Inilah pendapat yang dipegang dari kalangan Hanafiyyah, Imam Malik, al-Laits bin Sa’ad, Imam al-Syafi’i, sebagian kecil kalangan Syafi’yyah seperti Abu Thayyib, Imam Ahmad, juga pendapat Ibnu Taymiyah dan Imam al-Syaukany dari kalangan ahli tahqiq.

Selain Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, di Mesir tahun 1966 M, Majelis Fatwa al-A’la di Palestina juga mengeluarkan keputusan yang menguatkan diadopsinya pandangan tentang kesatuan mathla’ tersebut. (Mahmud ‘Abd al-Lathif ‘Uwaidhah, al-Jami’ li Ahkam al-Shiyam, halaman 40).

Adapun pendapat muktamad dalam madzhab Syafi’i, jika terbukti ada rukyat di suatu negeri, rukyat ini hanya berlaku untuk daerah-daerah yang dekat, yaitu yang masih satu mathla`, dengan kriteria satu mathla` adalah jarak 24 farsakh atau daerah sejauh 133 km. Sedangkan negeri-negeri yang jauh (di atas 133 km), tidak terikat dengan rukyat yang terbukti di negeri tersebut. (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz II hlm. 605).

Adapun pendapat Imam Syafi'i yang berlandaskan hadits Kuraib yang diutus oleh Ummul Fadhl binti Al Harits untuk menemui Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu. Hadist ini memiliki derajat hasan gharib dan titik yang perlu dikritisi yakni hadits ini bukanlah hadist marfu' yang bersandarkan Rasulullah SAW melainkan ijtihad dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz II hlm. 608-609, ketika memetik pendapat imam al-Syaukani).

Pendapat penulis dalam hal ini bukan berarti menggugat keabsahan pendapat Imam Syafii, yang tentu sumbangan pemikiran dan kefaqihannya dalam ilmu Islam sangat berjasa untuk umat muslim hingga saat ini, akan tetapi penulis memaparkan terkait rajihnya pendapat jumhur ulama mengenai metode rukyat global yang digunakan dalam menentukan 1 Syawal bukanlah metode yang semata-mata digunakan oleh Hizbut Tahrir.

Adapun pendapat Imam Syafi'i terkait rukyat lokal yang dibatasi matla' hal tersebut dikarenakan keterbatasan teknologi informasi dan komunikasi pada saat itu sehingga dengan kehati-hatiannya beliau berpendapat mengenai kebolehan rukyat lokal tersebut.

Mengapa diksinya kebolehan, karena perintahnya adalah rukyat secara umum sehingga bukanlah pelanggaran syariat ketika seorang muslim di suatu negeri yang mendengar kabar bahwa telah terlihatnya hilal di negeri lain kemudian ia berpuasa (awal ramadhan) ataupun berbuka (idulfitri).

Sedangkan pada hari ini kecanggihan teknologi informasi telah menebus jarak, sehingga tidak relevan jika pendapat ini kemudian masih digunakan. Karena saat ini bisa dengan sangat mudah mengakses kabar terlihatnya hilal meski berada di negeri jauh.

Seandainya ingin konsisten melaksanakan rukyat lokal, maka kembali pada keterangan dari hadits secara tekstual ataupun pendapat Imam Syafi'i yang membatasi satu matla, yakni dengan jarak 24 farsakh atau daerah sejauh 133 km.

Artinya setiap dari 133 km² perlu dilakukan rukyat secara regional. Namun justru yang digunakan adalah metode rukyat lokal ini berdasarkan negara dengan dalih nasionalisme. Inilah justru yang memecah belah umat muslim secara global yang terpisah-pisah identitas kenegaraannya.

Sehingga jelas bahwa rukyat global bukanlah agenda Hizbut Tahrir melainkan perintah syar'i yang telah dibuktikan melalui riset literatur yang penulis lakukan bukan sekadar tuduhan yang tidak berlandaskan keilmuan.

Poin ketiga yakni penulis dengan lantang menyematkan status teroris pada Andi berdasarkan kajian literatur dan fakta yang telah dipastikan apa adanya dan tidak dilebih-lebihkan.

Hal ini merujuk pada definisi terorisme berdasarkan Pasal 1 No 2 Perpu 2002/ UU 5/2018 yakni dikatakan bahwa terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Ujaran kebencian yang dilontarkan berbalut ancaman pembunuhan sudah termasuk dari tindakan terorisme, meski belum terbukti merusak fasilitas publik ataupun menimbulkan korban jiwa akan tetapi ancaman secara sadar dan serius tersebut mendukung bukti bahwa Andi telah melakukan tindakan teror yang menakut-nakuti masyarakat. Tentu saja ancaman ini menimbulkan rasa takut, kecemasan dan merugikan secara moril pihak-pihak tertentu.

Negara wajib melindungi rakyatnya dari ancaman serius kekerasan fisik hingga pembunuhan jika tidak ditindaklanjuti, penulis menanyakan soal keberfungsian pemerintah dalam menjaga keamanan warganya.

Penulis juga menanyakan terkait konsistensi aparat dalam bersikap terhadap Andi yang sudah terbukti teroris dalam cuitannya di Facebook, apakah akan ada kecaman dan sikap yang tegas dari para aparat untuk menyikapinya atau justru diam dan bungkam karena mengetahui bahwa pelaku teror ini sebagai salah satu peneliti BRIN yang merupakan ASN, selain itu pula berada pada pihak pemerintah.

Poin yang keempat sekaligus terakhir ini berkaitan dengan poin yang ketiga, yakni penulis menanyakan soal konsistensi sikap hukum negara ini. Mengingat hukum negara ini yang jauh dari kata adil sangat berdampak pada nasib aktivis, mahasiswa ataupun akademisi yang bersebrangan dengan pemerintah.

Fitnah dan tudingan keras terhadap mereka yang tidak sependapat dengan pemerintah bukanlah hal yang asing. Tudingan menyebarkan kebencian, makar, radikal bahkan teroris adalah risiko dari mereka yang dengan berani menyuarakan kebenaran.

Meski begitu kritik yang berdasarkan fakta dan kajian ilmiah yang jelas sangat jauh dari sikap makar dan mengancam justru sangat cepat proses hukumnya. Gus Nur contohnya, yang divonis 6 tahun penjara dikarenakan pelanggaran Pasal ITE, penistaan agama, dan ujaran kebencian yang berujung pada perbuatan melanggar hukum sesuai Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 tahun 1946 Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP yaitu bersama-sama menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang sengaja menimbulkan keonaran di kalangan rakyat.

Banyak pihak menyatakan peradilan PN Solo tersebut sebagai peradilan sesat (rechterlijke dwaling). Tidak berdasar hukum dan keadilan yang sebenarnya. Sarat kepentingan politik dibelakang putusan itu. Tentu saja hal ini dikarenakan subyek sasaran adalah Presiden Jokowi yang dituduh berijazah palsu.

Padahal jika kita merangkum putusan hukum yang memvonis Gus Nur ini seperti terkesan dipaksakan agar memenjarakan sosok yang sarkas dan kritis ini. Karena pasalnya ditemukan 3 kecacatan hukum yang terdapat dari putusan hakim atas kasus ini.

Yang pertama, Gus Nur tidak terbukti menyiarkan berita bohong, yang kedua tidak terbukti menimbulkan keonaran di kalangan rakyat, dan ketiga tidak terbukti dengan sengaja menerbitkan keonaran.

Namun apakah ini juga berlaku untuk ASN yang berlindung dibawah BRIN, terlebih yang dibela adalah kelompok pemerintah dalam hal ini merupakan bagian dari produk keputusan pemerintah mengenai 1 Syawal.

Bahkan dalam cuitan komentarnya ia tidak takut dilaporkan dan di penjara artinya ia secara sadar tahu akan resiko dari tindakannya tersebut, hal ini seharusnya mendukung bukti untuk dihukum secara tegas atas sikap premanismenya.

Penulis menilai bahwa seharusnya Andi mendapatkan sanksi yang lebih berat dari Gus Nur yang 6 tahun vonis penjara. Karena terbukti menebarkan kebencian melalui pasal UU ITE, membuat onar di tengah masyarakat bahkan terbukti pula melakukan tindakan terorisme.

Meski begitu hingga saat ini belum ada sikap dari pemerintah dalam menyikapi hal ini.

Dan yang masih menjadi keraguan penulis adalah, apakah hukum Indonesia mampu memenjarakan Andi? Apakah kita akan dipertontonkan lagi untuk kesekian kalinya hukum negara yang tidak mencerminkan keadilan dan melindungi warganya dari ancaman dan makar?

Wallahu A'lam Bi Sowab. rmol news logo article

*Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA