Kasubdit Kontra Ideologi dan Pencegahan Densus 88, Kombes Ponco Ardani mengatakan, fenomena kamuflase tetap perlu diwaspadai. Mengingat, kamuflase sebagai bagian dari naluri untuk bertahan hidup.
"Dilihat data penangkapan 5 tahun terakhir ini diindikasi ditengarai ada kamuflase sebagai celah untuk tetap eksis," ungkap Kombes Ponco dalam FGD yang digelar Amir Machmud Center (AMC) dengan tema "Paradigma Kamuflase Pergerakan Kelompok Radikal", di Hotel Tosan Solo Baru, Jawa Tengah, Senin (17/10).
Kombes Ponco menyebutkan, kegiatan FGD ini juga bentuk benteng bahwa pergerakan itu masih ada dengan indikasi kamuflase. Patut diduga, kamuflase dilakukan dalam berbagai situasi, penampilan, pakaian dan profesi.
"Langkahnya kita rapatkan institusi terkait, karena fenomena ini tidak bisa diselesaikan Densus sendiri, harus bersama sama dengan TNI, Polri, Pemerintah, dan lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan," kata dia seperti diberitakan
Kantor Berita RMOLJateng.
Dipertegas Abu Fida, nama lain dari Syaifuddin Umar (54) eks Napiter warga Surabaya. Dia mengatakan, pergerakan kelompok radikal itu masih ada dan massif. Dia pun berharap pemerintah tidak lengah.
"Antisipasi kamuflase dengan terus mengimbangi perkembangan pergerakan kelompok radikal tersebut. Mengenai fenomena permohonan bebas bersyarat dari napiter, bisa saja itu dijadikan alasan untuk bebas, harus ada upaya menguji apakah itu taqiyah (bohong) atau benar," ungkap Abu Fida yang juga hadir sebagai narasumber FGD.
Diakui Abu Fida, upaya permohonan bebas napiter saat ini banyak dilakukan, namun prosesnya juga tidak mudah.
"Saat ini penanganan kelompok radikal ada tiga hal yang harus dilakukan, yakni pendekatan hati, disibukkan tangannya atau berkegiatan ekonomi, dan kepala yang wajib berikan pemahaman. Artinya pendampingan harus terus dilakukan jangan lengah," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: