Memang dalam meraih kekuasaan, siasat, strategi serta berbagai agenda lainnya dikerahkan demi mencari suara. Belum lagi merencanakan pasangan yang akan maju setiap parpol, mencari tokoh-tokoh penting untuk digandeng ke arena bermain, hingga mengerahkan pion hitam di belakang layar demi memfitnah dan mengadu domba dua belah pihak berlawanan.
Sulit rasanya menjadi rakyat yang dipertontonkan berebut juara elektabilitas, menjadi rakyat yang hanya butuh hidup tenteram di Tanah Air tercinta menjadi amat melelahkan jika melihat para penguasa, penjabat, dan berbagai lini penting dalam pemilu terlibat demi terbangun kompleksitas keadaan kontestasi nanti.
Hari ini, bila bicara purifikasi sistem politik Indonesia, rasanya akan dianggap jadul, kaku, dan sok suci. Nyatanya, kita sebagai rakyat tak pernah dijadikan penting selain kursi kekuasaan serta apa pun yang menjadi alat pemenuhan hasrat mereka semata.
2 tahun jelang Pemilu, banyak aktivitas politik yang bertentangan dengan kemaslahatan, rentetan fakta kerusakan yang tengah terjadi di masyarakat seharusnya tidak cukup diterjemahkan secara parsial. Sebutlah hanya sebagai fenomena khusus, atau oknum saja bahkan dimaklumi sebagai salah satu upaya agitasi semata.
Katakanlah hari ini kita dikagetkan dengan agenda politik hitam dengan sebutan cipta kondisi, intelijen yang bertugas sebagai benteng pertahanan negara dari sabotase, spionase, dan makar justru memanipulasi kondisi dan menjadikan tokoh-tokoh tertentu sebagai pelaku juga pahlawan. Sebutlah sebagai drama tahunan jelang Pemilu, dan intelijen adalah pembuat naskahnya dan negara adalah sutradaranya, dan demokrasi adalah produsernya.
Bila kita coba imajiner kan sebagai sebuah drama komersil, maka komponen tersebut diwakili oleh berbagai lini fungsional negara. Lucunya negara kini justru hilang identitas dan orientasi. Pertanyaan sederhana muncul, bila berkuasa adalah jalan untuk menegakkan kebenaran, hukum, dan memakmurkan umat, mengapa harus melalui jalan kotor?
Mengapa musti menciptakan kondisi tertentu hanya untuk menaikkan citra pihak yang dibela, dan merusak ritme tendensi bahkan membunuh karakter lawan politik. Untuk apa? Bukankah seharusnya para kandidat berfikir program terbaik apa yang ditawarkan kepada masyarakat sehingga dapat terciptanya keadilan sosial atau sederhananya tercapainya 4 cita-cita bangsa yang terkandung dalam pembukaan UUD 45?
Anehnya kita justru dihadapkan fakta bahwa intelijen yang notabenenya adalah alat negara sebagai benteng pertahanan dan keamanan negara dari sabotase, spionase, dan makar justru hanya menjadi anjing pemerintah untuk bermain peran sebagai pembuat naskah cipta kondisi jelang Pemilu. Lucunya justru mereka sendiri yang menciptakan sabotase kondisi dana makar politik.
Demokrasi secara harfiah hanya diartikan sebagai kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, namun secara tidak sadar justru kita dibius lewat jargon demokrasi yang membuai rakyat, seolah penguasa yang lahir dari rahim demokrasi sudah barang tentu peduli rakyat.
Nyatanya demokrasi tak lain hanya sekadar alat pembenahan dalam melaksanakan cara-cara kotor demi merebut banyak suara agar berkuasa secara absolut.
Salah contohnya, pemilu. Pemilu adalah salah satu produk demokrasi yang dianggap penting bagi para pemain politik praktis, mereka menjadikan kontestasi ini sebagai ajang peperangan provokasi, agitasi, dan resonansi semata. Padahal tak lain itu hanya demi kepentingan hasrat kekuasaan saja, tidak ada sedikit pun peduli dengan kondisi rakyat.
Rakyat hanya bulan-bulanan semata, dilempar sana-sini, bak dadu yang menari di atas permainan papan, tak punya kuasa, hanya berada di bawah bayang-bayang pemain yang tak peduli tentang seberapa keras dadu itu dilempar, diadu, dikocok dan dihempaskan, yang penting mereka menang dalam permainan ini.
Mengapa bisa terjadi? Padahal demokrasi adalah solusi yang dijunjung tinggi mati-matian. Kita mengenal kebebasan dari demokrasi, tapi justru dari fakta ini kita malah digiring mengenal sisi gelap demokrasi.
Tapi diakui atau pun tidak, begitulah demokrasi. Secara parsial, demokrasi adalah kebebasan seseorang dalam berpolitik, bersuara, berpendapat bahkan berbuat apa pun, tapi justru kebebasan itulah menuntut seseorang tak berperilaku seperti manusia.
Jelang pemilu, kita semakin terbuka melihat kebohongan citra para penguasa. Lewat demokrasi, mereka bebas mengekspresikan hasrat dan nafsu politiknya lewat berbagai cara, dalam hal ini adalah cipta kondisi.
Ia bebas memunculkan variabel baru untuk memperkuat narasi politik, seperti
black campaign kemarin dengan mengirimkan FPI dan HTI palsu untuk mem-
framing citra lawan politiknya, atau tiba-tiba beredar daftar ustaz radikal demi menurunkan kridibelitas mereka dalam berdakwah karena khawatir dakwah mereka justru menuntun agar tak memilih pihak tertentu nanti.
Atau, beredar berbagai bentuk pengalihan isu yang terus-menerus digaungkan dengan merekonstruksi fakta yang beredar serta mengeskalasi berbagai
framing yang provokatif demi menjadi lawan politiknya hancur sebelum bertarung.
Hingga kita lupa dosa-dosa para koruptor dari partainya, lupa rekam jejak politiknya yang curang dan kotor, lupa bahwa dulu mereka lawan sekarang berkawan, bahkan lupa bahwa pada hakikatnya kerusakan ini semua adalah hasil dari demokrasi.
Wallahu a'lam bisowab.
*Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ
BERITA TERKAIT: