Narasi yang berkembang di masyarakat juga menyayangkan adanya merger antara cabang kekuasaan yudikatif dan cabang kekuasaan eksekutif tersebut, bahkan diskursus juga mengarah kepada permintaan Yang Mulia Anwar Usman untuk mundur dari Ketua MK dan Hakim Konstitusi. Tulisan ini akan mencoba membedah problematika lamaran tersebut dalam perspektif Negarawan dan potensi konflik kepentingan (conflict of interest).
Menikah adalah Hak Konstitusional Warga NegaraHak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturuan telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 28 B Ayat (1) Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945â€) yang berbunyi: “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawaninan yang sah serta Negara menjamin hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas kekerasan dan diskriminasi.â€
Berdasarkan amanat konstitusional tersebut, Negara wajib menjamin bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan di dalam suatu perkawinan. Hal demikian juga diafirmasi dalam Pasal 2 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), yang pada intinya menyatakan: “Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan negara.†Oleh karena itu perlindungan dan pengakuan oleh Negara bersifat wajib kepada keluarga, termasuk saat akan melangsungkan perkawinan.
Dikhawatirkan menodai Pra-syarat Hakim Konstitusi yang NegarawanAturan mengenai persyarakat menjadi Hakim Konstitusi secara eksplisit disebutkan dalam UUD NRI 1945. Yakni memiliki integritas, kepribadian yang tak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Dalam proses perumusan syarat menjadi Hakim Konstitusi oleh PAH 1 BP MPR, syarat negarawan disampaikan oleh beberapa fraksi seperti F-PBB yang diwakili oleh Hamdan Zoelva, Tim Ahli PAH 1 yaitu Jimly Asshidiqie dan Ketua PAH 1 dari Fraksi PDIP oleh Jakob Tobing.
Makna negarawan sendiri apabila merujuk dalam buku karya Plato yang berjudul Statesman, ditafsirkan sebagai kemampuan khusus untuk memerintah, seperti kemampuan untuk mengatur dengan adil dan berpihak pada warga negara. (Jenedri M Gaffar: 2008). Sedangkan menurut Jimly Asshidiqie negarawan adalah sosok yang terlepas dari kepentingan golongan. (Jimly asshidiqie: 2007). Negarawan juga dapat ditafsirkan sebagai sosok yang mengabdikan kemampuan dan kepribadiannya untuk maslahat orang banyak.
Pada intinya, menurut Jenedri M Gaffa, sikap negawaran dalam syarat menjadi Hakim Konstitusi dibutuhkan untuk mengantisipasi hakim senantiasa objektif, tidak memihak dan mementingkan kepentingan bangsa. Menurut AB Goffar, kriteria minimal untuk tergolong sebagai negarawan yang sangat dibutuhkan oleh MK saat ini adalah memiliki moralitas dan visi bernegara yang baik.
Bahwa dengan adanya rencana perkawinan oleh Anwar Usman dengan adik kandung Presiden Joko Widodo dikhawatirkan akan menghilangkan sikap objektif dan tidak memihak dalam memutuskan perkara di MK. Secara tidak langsung hal tersebut menodai prinsip negarawan dalam sosok Hakim Konstitusi. Padahal itu merupakan pra syarat yang harus ada dalam Hakim Konstitusi sebagaimana telah di atur secara konstitusional, yakni memiliki sikap negarawan.
Dikhawatirkan Menimbulkan Konflik KepentinganTugas utama MK yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir putusan yang bersifat final dan mengikat dalam menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945. Tak jarang MK juga diibaratkan sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan karena dilanggarnya hak konstitusional atas keberlakuan suatu Undang-undang.
Pengujian undang-undang oleh MK tersebut sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, mengingat undang-undang merupakan produk (yang salah satunya) dibuat oleh Presiden. Dengan adanya konflik kepentingan tersebut, juga dapat menghambat upaya mewujudkan pemerintahan yang demokratis dengan mekanisme checks and balances, setara dan seimbang antara cabang-cabang kekuasaan negara, terwujudnya supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin, melindungi, dan terpenuhinya hak asasi manusia.
Bahkan bukanlah hal yang berlebihan, fenomena tersebut merupakan pengkhianatan terhadap tujuan utama dibentuknya MK yakni, menjamin setiap produk hukum (undang-undang) untuk tidak keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga negara dapat terjaga dan konstitusi akan terkawal konstitusionalitasnya.
Menurut Nur Hidayat (Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute), guna mewujudkan good governance, tidak boleh ada konflik kepentingan di kalangan pejabat publik. Terlebih jika nantinya Anwar Usman sudah melaksanakan perkawinan dengan adik Presiden, maka Anwar Usman sudah tidak dapat menangani perkara pengujian undang-undang, karena telah memiliki hubungan keluarga dengan Presiden Joko Widodo.
Hal demikian juga diatur dalam Pasal 17 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni: “Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan ketua, salah seorang hakim anggot, jaksa, advokat, atau panitera.â€
KesimpulanBerdasarkan uraian tersebut, hemat penulis sebaiknya Yang Mulia Anwar Usman dapat segera mengajukan pengunduran diri dari Institusi Mahkamah Konstitusi. Karena jabatan Hakim Konstitusi sekaligus Ketua MK sebagai pelaksana cabang kekuasaan yudikatif sangat berkaitan erat dengan Presiden selaku pelaksana cabang kekuasaan eksekutif. Dikhawatirkan akan menciptakan adanya konflik kepentingan dan menodai Integritas dan sikap negarawan seorang Hakim Konstitusi.
Terlebih Yang Mulia Anwar Usman pernah berucap dalam pidato pengangkatannya menjadi Ketua MK yakni “Izinkan saya mengutip pidato Abu Bakar Sidik RA ketika beliau ditunjuk sebagai khalifah, aku telah terpilih diantara kalian, dan aku bukan terbaik diantara kalian, andai kata benar ikutilah aku, andai kata salah ingatkanlah aku.†Mungkin ini saatnya, publik ramai-ramai untuk mengingatkan Yang Mulia Anwar Usman atas pilihan yang telah beliau ambil.
*Penulis adalah Ketua Moot Court Community UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2021-2022
BERITA TERKAIT: