Lalu sebenarnya, apa itu yang dimaksud dengan mural? sederhananya, mural adalah coretan gambar, tulisan yang bermakna sesuatu, pesan dari si pembuat mural, atau curahan hati mereka.
Kalau ditelisik, mural berasal dari bahasa latin yaitu dari kata 'Murus' yang berarti dinding. Secara luas pengertian mural adalah menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok atau media luas lainnya yang bersifat permanen.
Sebenarnya, soal mural ini bukanlah barang baru, sejak zaman purbakala, mural sudah ditemukan, terutama di tembok-tembok gua, hal itu dapat dibuktikan dengan penemuan para antropolog soal coretan di dinding gua yang menggambarkan kehidupan di masa lampau atau pesan-pesan dari para manusia purba. Biasanya berisikan soal perburuan mereka dan cara mereka menjalani hidup di masa itu.
Di era sekarang, mural tetap eksis, biasanya dibuat oleh para anak muda dalam menggambarkan ekspresi mereka, bahkan ada yang membuat mural sebagai ajang kritik sosial atau media propaganda dalam menyampaikan pesan-pesan khusus.
Indonesia bukan tidak pernah dihujani mural, dari beberapa literatur, pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, atau di era sebelum kemerdekaan, banyak rakyat yang menyuarakan suara mereka, mengajak yang lain untuk ikut berjuang lewat mural. Contohnya banyak tulisan-tulisan 'merdeka atau mati' yang dituliskan di dinding-dinding. Semboyan yang digaungkan oleh Bung Tomo dalam membakar semangat arek Suroboyo untuk berjuang sampai titik darah penghabisan dalam menghalau penjajah.
Jadi sejatinya, Indonesia tidak antimural kalau memang jelas pesannya, jelas maknanya, bukan hanya sekadar coretan isen, itu vandalisme namanya.
Lalu mengapa saat ini mural menjadi ramai dibicarakan. Masalahnya adalah karena mural yang muncul bekalangan ini berisikan sindiran atau kritik terhadap pemerintahan, terutama kepada Presiden Joko Widodo.
Sudah bukan barang baru, beberapa kalangan mengendus ada kemunduran demokrasi di era Presiden Joko Widodo. Kemunduran itulah yang memicu mural jadi topik hangat saat ini. Mural-mural tersebut dianggap melecehkan atau menghina simbol negara, dalam hal ini Presiden Joko Widodo. Maka, aparat buru-buru menghapus mural tersebut, bahkan memburu para pembuat mural tersebut, entah apa maksudnya, mau ditangkap dan dipidanakan, atau ada maksud lain, tunggu saja nanti.
Kalau ditelaah lebih dalam, pada Pasal 36A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebut lambang negara hanya Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Penjelasan Umum UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan juga tidak mencantumkan presiden sebagai simbol negara. Hanya Bendera Merah Putih, Bahasa Indonesia, Lambang Garuda Pancasila, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang disebut sebagai simbol yang menjadi cerminan kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara-negara lain.
Jadi, sebetulnya, Presiden bukanlah lambang negara. Kalau masalahnya di pasal penghinaan terhadap presiden, pada 4 Desember 2006, berdasarkan Putusan MK 013-022/2006, pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga membuat pasal-pasal tersebut tidak berlaku lagi.
Meski demikian, memang ada aturan yang berlaku mengacu pada Telegram Kapolri atau ST Kapolri 1100/2020. Dalam surat telegram tersebut, pada poin 3 mengatur soal penghinaan terhadap penguasa atau presiden.
Pasal yang akan diterapkan oleh Polri terkait penghinaan terhadap penguasa/presiden atau pejabat pada masa penanganan COVID-19 ini adalah Pasal 207 KUHP yang berbunyi,
"Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah," begitu bunyi pasal tersebut.
Meski demikian, dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Putusan MK 013-022/2006, MK menguraikan bahwa Pasal 207 KUHP, dalam hal penghinaan, ditujukan kepada presiden dan/atau wakil presiden selaku pejabat dan menurut pertimbangan MK, penuntutan terhadapnya seharusnya dilakukan atas dasar pengaduan. Jadi kalau tidak ada aduan dari Jokowi ke polisi, seharusnya tidak bisa ditindak para pembuat mural yang berisikan kritik sosial atau kritik terhadap pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya polisi tidak bergerak, memburu para pembuat mural karena sampai saat ini tidak ada laporan dari Presiden.
Lagipula, Kabareskrim Komjen Agus Andrianto mengungkapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak berkenan bila polisi responsif menindak kritik yang dilayangkan melalui kesenian seperti mural. Hal itu, kata Agus, juga sudah diwanti-wanti oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Jadi sudah
clear, mural soal kegelisahan rakyat, krtitik terhadap penguasa tidak perlu dipidanakan.
Kalau memang tidak suka dengan mural tersebut,
gentleman saja. Kedepankan dialog, pahami kesulitan rakyat, bekerja yang benar demi kepentingan rakyat. Kalau memang semua sudah sesuai, mural pasti akan hilang dengan sendirinya. Tak perlu kebakaran jenggot menyikapi mural-mural di pinggir jalan.
Atau memang sudah merasa kerjanya kurang, tidak bisa berbuat banyak untuk rakyat, ya pasti dongkol lihat mural-mural yang berisi kritikan.
BERITA TERKAIT: