Sugiono sebelumnya merupakan Wakil Ketua Komisi I DPR yang juga mengurusi urusan luar negeri, pertahanan hingga intelijen.
Pria kelahiran Takengon, 11 Februari 1979 ini merupakan jebolan SMA Taruna Nusantara (TN), Magelang. Ia seangkatan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Usai dari TN Magelang, Sugiono mengikuti program pengiriman alumni SMA Taruna Nusantara ke beberapa perguruan tinggi militer di Amerika Serikat lewat beasiswa yang digagas Prabowo Subianto yang saat itu masih berpangkat Mayjen sebagai Danjen Kopassus.
Sugiono akhirnya lulus seleksi program tersebut dan berhasil mengikuti pendidikan sebagai kadet di negeri Paman Sam, tepatnya di Norwich University.
Setelah kelulusannya dari Norwich University, Sugiono sempat bekerja di Amerika Serikat sebelum memutuskan kembali ke Tanah Air dan mengikuti pendidikan calon perwira TNI (Semapa PK) di Akademi Militer Magelang. Pada tahun 2002, Sugiono lulus dan dilantik sebagai perwira TNI AD berpangkat Letnan Dua korps Infanteri.
Namun tidak ada riwayat mengenai penugasan Sugiono di TNI. Kemungkinan besar Sugiono sudah ikut mengiringi Prabowo ke gelanggang politik nasional.
Ditunjuknya Sugiono sebagai Menlu Prabowo, bukan tiba-tiba. Nama Sugiono sebelumnya sudah santer bakal menduduki pos ini. Salah satunya disebut Ketua Komisi I DPR periode 2019-2024 Meutya Hafid saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Prabowo.
Sejak 2014, Sugiono terlihat kerap mendampingi Prabowo saat melakukan pertemuan-pertemuan penting dengan para tokoh, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Di antaranya saat Prabowo bertemu Presiden China Xi Jinping. Sugiono turut mendampingi Prabowo, sehingga mengundang pertanyaan dari seorang atase pertahanan China terkait kiprahnya.
Prabowo tentunya sudah sangat nyaman dengan Sugiono dan diharapkan mampu membawa pesan penting ke dunia internasional dalam menjaga kedaulatan nasional.
Sosok Soebandrio
Menlu merupakan jabatan penting dalam sejarah Indonesia. Nama-nama legendaris pernah menduduki pos ini. Sebut saja Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Achmad Soebardjo, Agus Salim hingga Adam Malik, Mochtar Kusumaatmadja dan Ali Alatas di era Orde Baru.
Namun berdasarkan catatan redaksi, Soebandrio merupakan Menlu RI paling fenomenal. Tokoh sosialis ini menjabat Menlu periode 1957-1966.
Adam Malik yang merupakan penggantinya sebagai Menlu, dalam Buku “Mengabdi Republik”, menuturkan bahwa Soebandrio merupakan diplomat ulung sekaligus konseptor kebijakan luar negeri Soekarno.
Usai kemerdekaan, Soebandrio yang memiliki latar belakang dokter, banyak melakukan diplomasi dengan agen Inggris yang datang ke Indonesia untuk mengawal peralihan kekuasaan dari Jepang ke Sekutu.
Kepiawaian Soebandrio dalam dunia spionase sudah terlihat di masa itu. Sehingga dirinya diangkat menjadi utusan khusus Indonesia di Eropa.
Prestasi Soebandrio yang tak bisa dianggap remeh adalah melakukan lobi-lobi internasional dalam upaya merebut Irian Barat. Akhirnya, perjuangan pembebasan Irian Barat mendapat simpati internasional termasuk Amerika Serikat.
Dalam melancarkan perimbangan politik luar negeri bebas aktif Indonesia untuk menghadapi Neokolim yang identik dengan Blok Barat, hubungan dengan Blok Timur semakin kental.
Soebandrio pula yang menginisiasi adanya Poros Jakarta-Peking-Hanoi-Pyongyang. Soekarno secara terang-terangan juga menempatkan Soebandrio selain Menlu sebagai Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) dan juga Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I usai wafatnya Ir. Djuanda. Waperdam bisa dibilang merupakan jabatan selevel Wapres saat itu.
Soebandrio dianggap sebagai orang paling mengerti dengan keinginan sekaligus visi luar negeri Soekarno dalam mencapai politik mercusuar dunia. Di akhir masa jabatannya, Soebandrio dianggap pemerintah Orde Baru terlibat peristiwa G30 S/PKI. Namun keterlibatannya secara langsung banyak mendapat bantahan dari berbagai kalangan.
Antara Menlu dan Spionase
Kembali ke masa saat ini dalam upaya mewujudkan Indonesia Emas 2045, Menlu dihadapkan dengan tantangan geopolitik yang semakin dinamis. Sudah sepatutnya Menlu memiliki kapasitas intelijen yang mumpuni dalam membawa prinsip-prinsip kebangsaan untuk bertarung di tataran global.
Menlu tak hanya sekadar jadi jurubicara RI di internasional tapi juga harus memiliki pemahaman akan kelemahan negara lain serta potensi dalam negeri. Menlu juga harus mampu menjalankan misi intelijen sekaligus kontra intelijen dalam peperangan asimetris global.
Hal itu seperti layaknya Soebandrio dalam menjalankan politik mercusuar era Soekarno dalam bingkai politik luar negeri bebas aktif yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Rekam jejak Sugiono tentu sudah tak diragukan lagi dalam menjawab tantangan itu. Istilah
the right man in the right place mungkin sangat tepat disematkan kepada Sugiono kala menduduki jabatan sebagai Menlu.
BERITA TERKAIT: