Pada saat yang sama kota-kota di Israel masih tetap lenggang, karena penduduknya masih tetap bersembunyi di berbagai bungker perlindungan.
Sementara para pemimpinnya mengkritik gencatan senjata yang disetujui Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sebagai sebuah kekalahan.
Di Knesset yang merupakan Parlemen Israel, Ketua Partai Harapan Baru yang menjadi sekutu Likud Partai yang dipimpin Netanyahu, Gideon Sa'ar menyatakan: Kesepakatan gencatan senjata sangat merugikan dan memalukan.
Kritik yang senada juga datang dari mantan Menteri Kehakiman yang kini menjadi anggota parlemen dari Partai Yamina Ayelet Saked, bahwa gencatan senjata dengan Hamas sangat memalukan.
Gencatan senjata antara Hamas dan Israel yang dimediasi oleh Mesir dan Qatar, dikonfirmasi oleh Presiden Amerika Joe Biden dan Sekjen PBB Antonio Guiterres.
Biden menyatakan disamping menyambut baik gencatan senjata yang telah disepakati, Amerika juga akan ikut berpartisipasi dalam rekonstruksi Gaza.
Sementara Guiterres berkomitmen akan mendorong penyelesaian diplomatik antara Palestina-Israel dengan formula Two States Solution dengan batas wilayah sebelum perang 1967.
Secara militer, dengan kelengkapan persenjataan baik di darat, laut, maupun udara, ditambah tingkat kerusakan fisik yang diderita penduduk Palestina di Gaza, seperti 450 bangunan luluh-lantak, ditambah 232 penduduk Gaza tewas termasuk wanita dan anak-anak, dan 1700 luka-luka. Sementara penduduk Israel hanya 12 yang tewas, jelas Israel berada di atas angin.
Akan tetapi dilihat dari target perang yang dicanangkan Perdana Mentri Israel Benjamin Netanyahu, jelas perang yang berlangsung 11 hari ini kegagalan besar bagi negara Zionis ini.
Target Israel antara lain: Pertama, memenghancurkan infrastruktur militer yang berupa jaringan terowongan bawah tanah yang menjadi kunci kekuatan Hamas dalam melawan Israel.
Kedua, melucuti senjata Hamas, khususnya yang berupa rudal yang disimpan dalam gudang-gudang bawah tanah di bawah kota Gaza.
Ketiga, membebaskan 2 orang tentaranya yang disandera oleh Hamas sejak perang tahun 2014, dan 2 warga Israel yang memasuki Gaza tanpa tujuan yang jelas.
Ketiga target ini hanya bisa dilakukan dengan serangan darat sebagai pamungkas. Sementara pasukan darat Israel yang disiapkan di perbatasan Israel-Gaza sudah menunggu selama berhari-hari, namun perintah untuk memasuki Gaza tidak kunjung datang dari Tel Aviv.
Semua ini menunjukkan keragu-raguan Israel, atau operasi darat sebagai pamungkas dibatalkan karena upayanya menguras senjata Hamas dengan membombardir kota Gaza ternyata gagal.
Hal ini terlihat meskipun Hamas sudah menembakkan lebih dari 3000 rudal ke wilayah Israel, ternyata masih mampu terus meluncurkannya, bahkan menyasar kota-kota penting Israel seperti Tel Aviv dan Yerusalem yang selama ini tidak terjangkau.
Dengan kata lain Mossad gagal memperkirakan jumlah stok rudal yang dimiliki Hamas.
Karena itu dapat dikatakan, boleh saja secara militer Benjamin Netanyahu mengklaim sebagai pemenang, akan tetapi secara politik jelas kalah.
Kekalahan politik yang diderita Tel Aviv terlihat pada bukan saja tidak bisa meyakinkan rakyatnya sendiri, juga dalam merebut hati masyarakat internasional, yang terlihat dari maraknya dukungan terhadap Palestina, termasuk di kota-kota besar di Eropa dan Amerika yang secara tradisional menjadi basis pendukung negara Zionis ini.
Walaupun gencatan senjata disepakati tanpa syarat, akan tetapi Hamas terus mengingatkan bahwa Masjid Al Aqsa dan pemukiman Syekh Jarrah adalah garis merah.
Dengan demikian, Hammas telah tampil sebagai pelindung nyata Masjid Al Aqsa yang menjadi tempat suci ke-3 bagi ummat Islam dan pelindung rakyat Palestina, termasuk yang beragama Protestan dan Katolik dari penggusuran semena-mena penguasa di Israel.
Fakta ini sebenarnya hanya mempertegas apa yang pernah diungkapkan oleh Nahum Barnea yang menjadi komentator politik media Israel Yedioth Ahronoth, bahwa Hamas telah tampil dan membuktikan dirinya sebagai pelindung Masjid Al Aqsa dan berbagai situs Islam di Palestina.
Dengan kata lain, kedepan Hamas tidak lagi bisa diabaikan, baik dalam masalah militer maupun penyelesaian politik.
Kini Israel jelas semakin terjepit setelah di era Donald Trump merasa di atas angin. Dalam situasi seperti ini tentu penyelesaian damai antara Israel dan Palestina akan lebih kondusif.
Jika Tel Aviv tidak menyadari situasi ini, maka Israel akan mengalami kesulitan akibat arogansinya sendiri, seperti sudah disinggung oleh sejumlah tokoh Israel yang mampu berfikir jernih.
Mantan Direktur Mossad Efrain Halevy mengakui, bahwa semua yang terjadi akhir-akhir ini sebagai indikasi Israel saat ini berada di ambang bencana, yang mengancam eksistensi negaranya di masa depan.
Kecemasan serupa sebenarnya juga sudah disuarakan oleh tokoh-tokoh Yahudi baik yang berada di Israel maupun di sejumlah negara.
BERITA TERKAIT: