Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Catatan Akhir Tahun: Tak Ada Yang Berubah

Kamis, 31 Desember 2020, 18:35 WIB
Catatan Akhir Tahun: Tak Ada Yang Berubah
Ahmad Yani/Net
KITA sudah di penghujung tahun 2020 dalam hitungan Masehi dan fajar 2021 akan segera menyingsing. Bagi orang yang beriman dan berakal dalam beberapa kesempatan dan waktu, hendaklah berhenti sejenak untuk muhasabah atau menghitung-hitung diri dan amal yang telah dilakukan pada hari-hari yang lalu. Kemudian berusaha memperkuat keinginan untuk dapat memperbaiki dan menambah amal kebaikan untuk bekal hari esok.

Pada hari kemarin (sepanjang 2020) kita banyak menghadapi cobaan-cobaan yang sedemikian dahsyat. Kita berhadapan dengan Covid-19 suatu penyakit yang telah merenggut nyawa lebih dari 21 ribu manusia Indonesia.

Wabah ini tidak hanya menyerang kesehatan kita, tetapi juga menyerang ekonomi dan semua kehidupan kita. Dan yang paling terasa akibat wabah ini adalah ekonomi rakyat. Covid-19 telah melumpuhkan aktivitas ekonomi, membawa negara Indonesia pada jurang resesi dan krisis ekonomi.

Krisis ekonomi yang demikian itu membawa dampak sosial. Sebab dalam situasi krisis, frustasi dan kelaparan akan terus menghantui kehidupan masyarakat. PBB bahkan sudah mengingatkan bahwa krisis ini telah membunuh sekitar 10.000 anak per bulan karena pasokan makanan yang terputus antara pertanian-pasar dan desa-desa yang terisolasi dari bantuan makanan dan medis. Dan sekitar 7 juta orang meninggal karena kelaparan di seluruh dunia.

Di Indonesia baru-baru ini terjadi di Nias, Sumatera Utara. Seorang ibu tega membunuh tiga orang anaknya akibat himpitan ekonomi. Pembunuhan sadis itu menjadi cerminan bagi kita, kalau seseorang terhimpit ekonomi, lebih bersedia menanggung hukuman daripada menanggung derita himpitan ekonomi.

Setelah 75 tahun merdeka, ternyata persoalan itu menjadi persoalan pelik. Janji kesejahteraan nampaknya kehilangan peta jalan, dan rakyat masih saja dengan kasus lama, yaitu menghadapi getirnya memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Negara seakan-akan tidak mampu memberikan jawaban konkrit atas desakan keadaan masyarakat yang semakin kritis. Demikian pula kekuasaan, meski telah banyak kekuasaan jatuh bangun, namun masalahnya tetap sama, rakyat masih tidak mendapatkan janji kemerdekaan itu.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, perubahan menuju indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur hanya menjadi slogan semata.

Apa Problemnya?

Sepanjang periodesasi kekuasaan semenjak Soekarno hingga Jokowi sekarang ini, bangsa ini hanya disibukkan dengan perebutan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Masyarakat dipecah belah untuk saling membenci demi memenuhi hasrat kekuasaan.

Nafsu kekuasaan yang berlebihan membuat ingatan masa lalu terus hidup, pertengkaran demi pertengkaran terus diproduksi. Para penguasa merasa senang dengan semua itu, untuk mempertahankan kekuasaannya. Maka lahirlah polarisasi dalam masyarakat dan permusuhan antar bangsa.

Sementara persoalan ketidakadilan, korupsi, Hutang, gempuran tenaga kerja asing, kekerasan aparat, tidak pernah jeda sedikitpun. Upaya untuk mencari jalan keluar dari semua problem itu sangat kecil, malah justru memperlebar kekuasaan untuk menangkal protes publik dari segala permasalah itu.

Problem Utama

Selain itu, masalah mendasar yang membuat bangsa ini sulit mencapai kemajuan sebenarnya bukan karena persoalan ekonomi atau politik saja, tetapi yang paling mendasar adalah masalah ketidakadilan. Inilah hulu yang menyebabkan kesengsaraan sosial dan kesengsaraan ekonomi, kesengsaraan hukum, kesengsaraan moral dan kesengsaraan lainnya yang dirasakan bangsa ini.

Di bidang sosial terjadi kesenjangan yang tak kunjung teratasi antara kelompok kaya dengan kelompok miskin. Di bidang ekonomi kehidupan ekonomi dirasakan semakin berat. Di bidang hukum, kesengsaraan akibat hukum tumpul ke golongan yang kuat dan tajam ke golongan yang lemah. Efeknya hak asasi manusia tidak dihiraukan, betapa mudahnya mengeksekusi mati manusia tanpa pengadilan, menangkap dan memenjarakan pikiran manusia.

Dalam berbagai bidang kerusakan inilah yang disebut kerusakan moral, yaitu dimana kehidupan bangsa hampir tanpa rujukan moral. Kita seperti bangsa yang tidak memiliki moral, ketergantungan pada bangsa asing, hutang yang sudah menumpuk dan pengepungan bangsa asing melalui tenaga kerja asing tak dapat diatasi lagi.

Ketidakadilan ini terasa sangat menyengat. Dari tahun ke tahun, penguasaan ribuan hektare lahan oleh segelintir orang. Sayangnya, selama itu pula belum ada solusi yang bisa memenuhi rasa keadilan bagi rakyat banyak.

Masalahnya masih sama, yaitu ketidakadilan sosial. Apakah kita masih menjunjung tinggi negara Pancasila sebagai falsafah berbangsa dan bernegara? Kalau memang kita masih berpegang pada Pancasila, kenapa keadilan sosial masih yatim piatu?

Korupsi Yang Masih Akut

Penyebab lain adalah korupsi yang masih akut. Kasus suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan politisi Harun Masiku - yang sampai saat ini belum diketahui dimana rimbanya. Kasus tersebut belum terungkap dengan jelas, karena di duga mengalir ke petinggi partai politik tertentu.

Lebih mencengangkan dalam satu bulan dua orang menteri ditangkap KPK karena Korupsi. Lebih mengiriskan hati kita semua, terjadi korupsi bantuan sosial ditengah rakyat yang teriak kelaparan. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhi Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara.

Menurut Tempo, korupsi dana bantuan sosial itu mengalir ke partai tertentu dan orang-orang yang berhubungan dengan kekuasaan. Ketika rakyat terbebani dengan bencana, masih saja ada oknum yang tak bermoral terus melakukan upaya untuk meraup keuntungan sendiri demi memenuhi ambisinya.

Kekerasan Negara

Guna melindungi kekuasaan dari protes akibat ketidakadilan dan korupsi, maka digunakan cara-cara kekerasan. Ada kekerasan sosial, kekerasan ekonomi, kekerasan politik kekerasan hukum. Masyarakat yang paling bawah mengalami kekerasan tersebut secara simultan. Berbagai kasus kekerasan sosial telah dan sedang terjadi, menghantam aktivis lingkungan, aktivis politik dan aktivis HAM.

Salah satunya adalah kematian 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) dapat dianggap sebagai kekerasan negara terhadap warga negara. Penembakan yang terjadi di KM 50 itu sampai hari ini belum menemukan titik terang, kenapa mereka di bunuh? Jawaban yang dapat kita duga adalah keterlibatan negara dalam kekerasan tersebut.

Setelah "anak buahnya" ditembak mati, pimpinan FPI HRS ditangkap dengan tuduhan menghasut kerumunan. Lebih jauh lagi, Pesantren FPI di Megamendung, Bogor ingin diambil oleh negara dengan alasan penguasaan tanah secara ilegal. Padahal menurut pengakuan FPI tanah itu sudah dibeli dari masyarakat.

Mirisnya, ketika lahan dikuasai oleh korporasi besar yang jumlahnya mencapai 80 persen, hanya bangunan pesantren yang dipersoalkan. Ini ketidakadilan yang terang benderang.

Dan yang lebih mencengangkan di penghujung tahun 2020 tepatnya 30 Desember 2020  pemerintah mengambil keputusan yang akan sulit dilupakan dalam ingatan oleh 7 juta orang anggota FPI dan Jutaan masyarakat Indonesia baik yang simpatisan maupun yang menginginkan tegaknya rule of law dan keadilan. Yaitu mengeluarkan larangan berkegiatan bagi Front Pembela Islam (FPI).

Ada tiga alasan pembubaran FPI versi pemerintah: Pertama, adanya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dimaksudkan untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar negara, yakni Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Kedua, isi anggaran dasar FPI dinyatakan bertentangan dengan Pasal 2 Undang-undang Ormas. Ketiga, Keputusan Mendagri Nomor 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 tanggal 20 Juni 2014 tentang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI sebagai ormas berlaku sampai 20 Juni 2019 dan sampai saat ini belum memenuhi syarat untuk memperpanjang SKT. Karena itu secara de jure terhitung mulai tanggal 21 Juni 2019 Front Pembela Islam dianggap bubar.

Padahal dalam Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945.

Penjatuhan sanksi, pelarangan kegiatan, ataupun pembubaran organisasi secara sepihak oleh negara dengan menggunakan UU Ormas sebagai dasar hukum, sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, membatasi kebebasan sipil, serta berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi. Oleh karena itu peristiwa pembubaran FPI dapat dianggap sebagai kekerasan negara, karena tidak menggunakan prosedur hukum yang berlaku.

Kekerasan negara juga terjadi Ketika mahasiswa dan aktivis melakukan protes massal, tak jarang terjadi kekerasan aparat. Kekerasan pada saat penolakan Undang-undang Omnibus Law, kekerasan ketika penolakan Revisi UU KPK yang menyebabkan 2 orang meninggal dunia di kendari.

Begitu juga kekerasan terhadap aktivis lingkungan dan masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap represifnya kekuasaan akibat penggusuran dan penguasaan lahan oleh korporasi besar. Pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan tidak pro rakyat kecil memompa protes rakyat diberbagai wilayah.

Krisis dan Utang

Kita sudah mengalami krisis ekonomi dan pemerintah telah mengumumkan bahwa Indonesia telah masuk ke jurang resesi ekonomi. Dampak dari resesi ini akan menyebabkan pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan semakin melebar.

Sementara itu, utang negara sudah mencapai Rp 6000 triliun. Hutang yang terus meningkat seperti itu menurut Rizal Ramli akan memperparah kondisi perekonimian nasional. Karena uang hasil utang dipergunakan untuk membayar hutang.

Setelah utang terus meningkat, justru pertumbuhan ekonomi turun. Berarti ada masalah penggunaan utang, atau ada ketidakefektifan dalam menggunakan hutang itu. Menurut ekonom Faisal Basri, pemerintahan Jokowi terlalu boros menggunakan utang. Hingga Jusuf Kalla mengatakan Indonesia menggunakan utang untuk bayar utang.

Sulitnya Indonesia keluar dari jebakan utan dan krisis memperpanjang dan memperlebar kemiskinan dalam negeri. Hingga sampai saat ini kesenjangan dan kemiskinan masih menjadi problem utama.

Melihat Indonesia 2021

Yang terekam di tahun 2020 adalah masalah dan masalah saja. Mulai dari persoalan ekonomi, sosial, politik dan hukum yang terasa tidak adil. Lalu seperti apa kita memprediksi keadaan 2021?

Semua problem yang terjadi selama tahun 2020 semuanya belum teratasi atau belum ada yang dituntaskan satu pun. Maka dapat kita lihat bahwa tahun 2021 Indonesia tidak akan banyak yang berubah, masih berkutat pada masalah krisis ekonomi yang diprediksi akan semakin memburuk di tahun 2021, masalah pelanggaran HAM, masalah polarisasi ditengah masyarakat, dan masalah kesenjangan lainnya.

Diperparah lagi dengan Covid-19 belum kunjung di atasi, bahkan keadaannya makin tak menentu. Sementara masyarakat banyak yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan akibat virus ini.

Menurut saya 2021 hanya akan berubah apabila ada suksesi nasional, ada perubahan penting yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Karena selama pemerintah masih mementingkan kekuasaan ketimbang keselamatan dan kesejahteraan negara, selama itu pula perubahan tidak akan pernah datang.

Sebagai orang yang beriman, perubahan itu niscaya, siapa yang lebih baik dari hari kemarin adalah mereka yang beruntung, tetapi apabila ia masih sama seperti hari kemarin maka ia merugi. Semoga kita bukan orang yang rugi itu.

Wallahualam bis shawab. rmol news logo article

Dr. Ahmad Yani, SH. MH.
Dosen FH, Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan advokat.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA