Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Hari Ibu, Menjawab Problematika Perempuan Indonesia

Selasa, 22 Desember 2020, 18:37 WIB
Hari Ibu, Menjawab Problematika Perempuan Indonesia
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah/RMOL
SEJAK pagi, saat menyempatkan membuka media sosial sudah ramai ragam ucapan dan tagar yang bernuansa hari ibu. Banyak yang mengungkapkan cinta, kasih dan sayangnya untuk ibundanya. Caranya pun bermacam-macam ada mengunggah meme, video bahkan foto kenangan bersama ibunda tercintanya.

Tulisan ini pun dibuat untuk turut serta mewarnai peringatan hari ibu yang biasa dirayakan setiap tanggal 22 Desember, tetapi dangan cara pandang yang berbeda.

Dalam tulisan saya sebelumnya tentang Hari Bela Negara telah saya sebutkan mungkin hanya Indonesia sebagai satu-satunya negara yang di setiap bulannya banyak momentum peringatan hari yang menandai berbagai peristiswa bersejarah.

Berbagai peringatan hari bersejarah itu harus dimaknai dalam spektrum kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang lebih luas. Harapannya dengan tulisan ini kita semua anak bangsa Indonesia terbiasa merayakan suatu peringatan tidak lepas dari konteks sejarah kelahiran momentum yang disepakati oleh para pejuang-pejuang Indonesia sebelumnya.

Meluruskan Sejarah Hari Ibu

Hari Ibu adalah kesepakatan para perempuan Indonesia yang telah menetapkan hari ibu pada Kongres Perempuan Indonesia ketiga tanggal 23�"28 Juli 1938 silam di Bandung, Jawa Barat.

Penetapan Hari Ibu itu sebagai catatan sejarah penting peristiwa Kongres Perempuan pertama Indonesia yang dilaksanakan di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928.

Selain menggelorakan semangat nasionalisme yang sudah disumpahkan para pemuda pada 28 Oktober 1928, Kongres perempuan pertama kala itu juga menyepakati sebuah resolusi perjuangan melawan ketidakadilan dan diskriminasi dalam berbagai bentuk. Muaranya menjawab segala problematikan perempuan nusantara.

Beberapa isu penting yang dibahas oleh banyak pertemuan elemen perempuan itu di antaranya tentang ketertinggalan pendidikan perempuan, nasib janda dan anak yatim dan juga kungkungan kolonialisme dan feodalisme yang mencengkeram hampir seluruh perempuan Indonesia.

Kongres perempuan pertama itulah yang kemudian menjadi tonggak kebangkitan mengejar harkat, martabat seluruh perempuan Indonesia. Presiden Soekarno pada saat menjabat tepatnya pada tahun 1959 kemudian mengeluarkan dekrit bernomor 316 yang substansinya adalah menetapkan Hari Ibu sebagai salah satu acara kenegaraan.

Merujuk pada sejarah kelahiran Hari Ibu, tentu kita harus menyadari bahwa saat kita memperingati, nilai dan makna yang terkandung di dalam peristiwa sejarah itu sangatlah hakiki. Bagaimana para perempuan menggelorakan semangat persatuan nasional dalam konteks memperjuangkan haknya sebagai anak bangsa dan ciptaan Allah Azza wajalla.

Perkembangan zaman yang terus melaju tentu harus dibarengi dengan melanjutkan perjuangan perempuan. Jika di era awal abad 20 gerakan perempuan identik dengan kedudukan sosial dan pendidikan, maka kira-kira di tengah era arus teknologi dan informasi yang kian cepat ini, bagaimana perempuan Indonesia mentransformasikan gerakan secara nyata.

Selain itu, kontribusi gerakan para perempuan Indonesia harus memberikan kemajuan bagi seluruh umat.

Apakah ada substansi nilai gerakan tambahan yang perlu disikapi ataukah hanya merubah cara dan metode gerakannya saja. Tentu hal demikian menjadi penting untuk direfleksi dan diaksikan.

Problematika Perempuan Indonesia

Saat ini berbagai isu masalah yang menjadi pembahasan pada saat Kongres Pertama Indonesia masih menjadi momok laten setiap perempuan di Indonesia. Meski akses pendidikan sudah mulai dinikmati, kita harus melihat dalam spektrum yang lebih luas, termasuk ragam masalah masih kita temui sehari-hari.

Sebut saja berbagai kebijakan yang bias gender, kabar dan kejadian kekerasan seksual tak pernah berhenti, pandangan merendahkan perempuan juga masih melekat dalam kehidupan masyarakat.

Masalah lain yang juga kerap kita dapati adalah hak gaji bagi para pekerja perempuan yang berbeda dengan para pekerja laki-laki. Fakta ini juga perlu kita sikapi secara serius. Adanya problem-problem demikian tentu berpengaruh besar pada kesejahteraan perempuan dan keluarga. Dalam skala yang lebih luas, imbasnya akan mengancam masa depan bangsa.

Seperti adanya kasus yang diungkapkan oleh Sarinah, salah seorang juru bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), yang mewakili serikat buruh di salah satu pabrik produsen eskrim di Indonesia.

Sarinah menuturkan bahwa hanya di tahun 2019 saja terdapat 15 kasus keguguran dan enam kasus bayi yang dilahirkan dalam kondisi tidak bernyawa yang dialami oleh buruh perempuan pabrik tersebut.

Masalah-masalah yang berkenaan dengan akses ekonomi, pendidikan dan kenegaraan juga menjadi problem yang kompleks. Salah satu indikatornya Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang menjadi salah satu harapan para Perempuan Indonesia pun ujungnya telempar dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2020.

Meskipun,  kabarnya RUU PKS akan menjadi salah satu RUU yang akan dibahas dari 50 daftar RUU prioritas tahun 2021.

Suara tentang mencabut RUU PKS itu sudah lantang disuarakan sejak tahun 2016 lalu. Dari rentetan sikap politik para wakil rakyat itu menjadi indikator bahwa para wakil rakyat masih belum memiliki sensitifitas tinggi untuk memastikan para perempuan terhindar dari praktik-praktik kekerasan dalam berbagai bentuk.

Masalah akses politik di kursi eksekutif dan legislatif pun juga harus diperjuangkan secara serius. Tak cukup dengan proporsi kuota 30 persen untuk caleg perempuan.

Seluruh elemen negara harus memperjuangkan hak-hak para ibu bangsa di berbagai level sosial dan politik secara substansial. Bukan semata-mata aturan tetapi nyata di lapangan masih ada 'diskriminasi' yang sistemik.

Merayakan Hari Ibu

Kembali pada substansi yang diulas di awal, bahwa menjawab berbagai kompleksitas masalah perempuan yang tak berkesudahan harus dijalankan secara kolektif. Apalagi dalam situasi pandemi coronavirus disease (Covid-19), ragam masalah makin tak terbendung.

Potensi kekerasan pun sudah masuk dalam ruang paling privat terjadi di keluarga. Belum lagi kita bicara kekerasan sosial yang bermuara pada potensi perpecahan bangsa.

Dalam situasi yang kompleks itu, saya coba menawarkan satu gagasan tentang Hari ibu. Hemat saya Hari ibu harus bersenyawa menjadi komitmen seluruh anak bangsa dalam memerangi segala diskriminasi.

Nilai penghormatan dan cinta kasih pada sosok ibu harus bertransformasi terhadap sikap negarawan yang berlomba-lomba menumpas segala ketidak adilan pada perempuan.

Pun kemudian para ibu-ibu bangsa harus memiliki dedikasi dalam membangun persatuan nasional, menjaga harkat dan martabat dirinya secara total. Solusi atas berbagai tantangan sosial saat ini yang membuat sebagian masyarakat stress sesungguhnya ada pada pundak para perempuan.

Harapan seluruh masyarakat, bagaimana kemudian para perempuan menciptakan ketenangan social. Rasa cinta kasih, empati antar sesama dan semangat membangun Negara dimulai dari ruang domestik keluarga yang kemudian melembaga di seluruh segmen masyarakat tanpa terkecuali.

Hal demikian tentu perlu dilakukan oleh seluruh organisasi perempuan di segala sektor wilayah mulai dari nasional, provinsi, kota/kabupaten hingga ditingkat Rukun Tetangga bahkan keluarga.

Sederhananya, bagaimana semangat euforia peringatan hari ibu ini dijadikan momentum untuk mencipatakan ruang-ruang transformasi kepada seluruh perempuan Indonesia.

Bahwa seluruh perempuan Indonesia tanpa terkecuali harus sadar, bahwa setiap perjuangan harus dilakukan bersama-sama.

“Posisi perempuan dalam masyarakat harus berubah, kaum ibu pada zaman sekarang harus ikut menjadi penyangga, ikut menanggung segala kondisi masyarakat, ikut berikhtiar, ikut bekerja bagi kemuliaan bangsa,” Emma Puradiredja, Ketua Kongres Perempuan ke III di Bandung.

Saya berkeyakinan bangsa ini akan mudah mencapai kemajuan apabila para anak bangsa bersungguh-sungguh menghidupkan nilai hakiki memuliakan para perempuan dan ibu anak bangsa. Jangankan pandemi Covid-19, kesenjangan ekonomi dan tidak setaranya akses pendidikan dan politik akan teratasai secara alamiah.

Muara dari merayakan Hari Ibu adalah kemerdekaan, pemenuhan hak-hak seluruh warga negara akan tercipta tanpa memandang gender dan strata sosial. Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, maju dan berdaulat seutuhnya.

Apakah ini mungkin terjadi? Dengan segenap tumpah darah, merayakan dengan mengembalikan semangat dan hakikat peristiwa sejarah Hari Ibu, seluruh cita-cita para pejuang bangsa akan kita hadirkan bersama-sama. Wallahu'alam bisshowab.rmol news logo article

Sunanto
Penulis adalah Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA