Penulisan sejarah kerap kali menimbulkan polemik, bagaimanapun objektifnya. Hal ini disebabkan oleh paling tidak dua faktor: Pertama, sejarah ditentukan oleh sang penulisnya. Meskipun didukung oleh data, informasi, literatur yang sangat banyak, tidak ada jaminan semua fakta yang terekam dan terdokumentasi menggambarkan semua peristiwa yang terjadi.
Kedua, ditentukan oleh tujuan dibuatnya sebuah sejarah. Membesar-besarkan yang kecil atau mengecil-ngecilkan yang besar kerap tidak terhindarkan. Ibarat kamera yang hendak digunakan untuk memotret sebuah peristiwa, maka gambar yang terekam sangat ditentukan oleh ke mana kamera diarahkan dan bagian mana fokus dituju, serta mana yang ingin di-closeup.
Berbicara masalah sejarah Khilafah harus dimulai dari Abu Bakar Assiddiq yang menjadi penerus atau pengganti Rasulullah Muhammad SAW dalam mengemban Risalah Islam. Sebagai Khalifah pertama, Abu Bakar meneruskan semua Sunnah yang ditinggalkan oleh Rasulullah, termasuk bagaimana hubungan Islam dan kekuasaan.
Pada saat itu, seorang Imam dalam pengertian pemimpin agama, juga sekaligus sebagai seorang kepala negara. Jabatan Khalifah memiliki pengertian seperti ini, dipertahankan oleh Umar bin Khattab, Usman bin Affan, sampai Ali bin Abi Thalib. Empat khalifah ini kemudian dikenal dengan Khalifahu Rasyidin (khalifah yang lurus).
Ketika Muawiyah menggantikan Ali, jabatan pemimpin agama dipisah dari pimpinan negara. Muawiyah hanya berperan sebagai pemimpin negara dan bukan pemimpin agama, karena pemimpin agama khususnya saat memimpin shalat diserahkan kepada orang lain, meskipun istilah khalifah masih disandangnya. Sementara istilah "khilafah" digunakan untuk menyebut negara yang dipimpinnya.
Hal lain yang diubah oleh Muawiyah adalah sunnah dalam memilih seorang pemimpin, yang sebelumnya dipilih melalui mekanisme Musyawarah dengan kriteria tingginya keilmuan, tingkat kesalihan, dan besarnya pengorbanan demi tegaknya Islam, diubah menjadi penetapan berdasarkan hubungan darah dan kekeluargaan.
Karena itu, pengertian khilafah saat ini sudah berubah wujudnya menjadi kerajaan. Itulah sebabnya Ibnu Khaldun menyebut Khilafah yang otentik hanya sampai pada Khulafahu Rasyidin saja.
Saat bani Abbasiyah menggantikan bani Umayyah dalam memimpin dunia Islam, tradisi yang ditinggalkan oleh Bani Umayyah dalam masalah suksesi kepemimpinan diteruskan. Bedanya, dinasti Umayyah memimpin dari Damaskus, sementara dinasti Abbasiyah memimpin dari Bagdad.
Perbedaan lainnya, dalam mengelola negara, dinasti Umayyah banyak mengadopsi sistem yang dikembangkan oleh Bizantium atau Romawi Timur. Sementara dinasti Abbasiyah banyak mengadopsi sistem yang dikembangkan oleh Persia.
Hal ini mudah dijelaskan, karena adanya faktor geografis dan historis, di mana Damaskus yang menjadi ibukota Syam sebelumnya merupakan bagian dari kekaisaran Bizantium, sementara Bagdad dan Irak secara keseluruhan sebelum ditaklukkan Islam merupakan bagian dari kekaisaran Persia.
Ketika Turki Usmani melanjutkan kepemimpinan dunia Islam karena dinasti Abbasiyah dihancurkan bangsa Mongol, bangsa Turki lebih berkonsentrasi mengembangkan kekuasaannya ke wilayah Eropa. Sementara ke wilayah Islam yang sebelumnya dikuasai Abbasiyah, sebagian besar penguasa-penguasa Islam setempat menyatakan ketundukannya sekaligus berharap perlindungannya.
Hal ini terjadi, khususnya setelah merebaknya kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa Spanyol dan Portugis, sebagai ekor dari lepasnya Andalusia dari tangan Ummat Islam. Tradisi kolonialisme bangsa Eropa terhadap dunia Islam diikuti oleh Inggris, Perancis, Italia, dan Belanda.
Pada saat itu motifasi agama cukup besar di balik tujuan penguasaan ekonomi dan politik dalam pengertian perluasan wilayah kekuasaan.
Film Jejak Khilafah di Nusantara menyajikan bukti-bukti sejarah berupa dokumen dan peninggalan makam para ulama, penasehat militer, dan tentara Turki di Aceh dan Ternate. Hal ini cukup menarik, karena selama ini tidak banyak diangkat oleh sejarawan baik yang berasal dari luar negri maupun dalam negri.
Hubungan antara kesultanan atau kerajaan Islam di dunia termasuk di Nusantara dengan Kesulthanan Turki Usmani yang berkuasa di Istanbul waktu itu berbeda-beda.
Ada yang benar-benar sepenuhnya di bawah kekuasaan Turki Usmani, seperti wilayah Syam dan Irak. Akan tetapi ada juga yang memiliki otonomi sangat luas, seperti Mesir.
Kesultanan atau kerajaan Islam yang berada di India, apalagi di Nusantara waktu itu lebih independen lagi, mengingat faktor geografis yang sangat jauh, dan komunikasi yang tidak mudah. Sementara sarana transportasi satu-satunya hanya kapal layar yang sangat ditentukan oleh musim.
Secara ilmiah sajian film ini harus dipandang sebagai upaya awal penelusuran sejarah kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara. dikaitkan dengan kekuatan Islam di tingkat global. Walaupun banyak data dan dokumen yang ditampilkan, akan tetapi banyak pula yang masih berupa dugaan dan spikulasi yang perlu pedalaman.
Selain itu, ada juga kesalahan dalam membaca data, sebagai contoh: Ibu Jimbun disebutnya sebagai putri China. Padahal ia adalah putri Champa, sebuah kerajaan atau kesultanan Islam yang berlokasi di Vietnam saat ini.
Komunitas Champa kemudian harus meninggalkan tanah airnya karena kerajaannya dihancurkan, mereka eksodus ke Selatan seperti Kelantan, Trengganu, dan Kamboja yang memberikan perlindungan. Inilah asal-muasal minoritas Muslim di Kamboja yang bertahan sampai sekarang. Pada saat itu wilayah Philippina Selatan dan Thailand Selatan juga dipimpin oleh kesulthanan-kesulthanan Islam.
Lepas dari berbagai kekurangannya, film ini layak diapresiasi sebagai sebuah upaya untuk mengangkat hubungan antara masuknya Islam ke Nusantara dengan kekuasaan yang melingkupinya, khususnya kekuatan Islam global yang disebutnya dengan Khilafah. Karena itu perlu kajian lebih lanjut, mengingat catatan sejarah yang ada sampai saat ini menjelaskan masuknya Islam ke Nusantara didominasi oleh motifasi dagang baik oleh pedagang dari Persia, Yaman, India, dan kota-kota pelabuhan yang menjadi pusat-pusat bisnis yang didominasi pedagang muslim.
Penulis adalah poengamat politik Islam dan demokrasi