Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Berebut "Warisan Naga" Dan Pandemi Kesenjangan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-ahmad-yani-sh-mh-5'>DR.  AHMAD YANI, SH.MH</a>
OLEH: DR. AHMAD YANI, SH.MH
  • Kamis, 16 Juli 2020, 17:20 WIB
Berebut "Warisan Naga" Dan Pandemi Kesenjangan
Dosen FH-Fisip UMJ, dan inisiator Masyumi Reborn, Ahmad Yani/Net
SORE tadi saya membaca tulisan Dr. Syahganda Nainggolan yang berjudul: "Warisan 600 Triliun, Bansos 600 Ribu dan Tantangan Sila Kelima Pancasila". Sebelumnya saya membaca sebuah judul berita saah satu media online yang menyebutkan Freddy Widjaya menggugat lima saudara tirinya.

Saya tidak tertarik untuk melihat secara komprehensif makna dibalik peristiwa itu. Namun tulisan Saudara Syahganda menyentak hati saya, bahwa masalah perebutan 600 triliun oleh ahli waris Eka Tjipta Widjaja adalah masalah keadilan sosial.

Saya mencoba memahami ini dengan kecamata yang agak lebih kritis, sebab di tengah rakyat berebut 600 ribu untuk menghadapi badai ekonomi di tengah pendemi ini, ternyata ada satu keluarga yang memperebutkan uang 600 triliun. Angka itu bagi sebagian rakyat Indonesia adalah khayalan, tetapi bagi taipan adalah angka biasa.

Pengusaha "China" di Indonesia

Sejak jaman kolonial, kaum penjajah dengan sengaja menciptakan kesenjangan sosial. Masyarakat “Timur Asing” yang didominasi “etnis China”, difungsikan  sebagai pelaku perdagangan. Dari sana lah praktik kongkalingkong penguasa dan pengusaha bermula.

“Etnis Cina” selalu mendapatkan keuntungan dari kolonialisme Belanda di Indonesia, pedagang-pedagang "China" mendapatkan posisi yang tinggi dengan usaha yang lebih maju dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk Indonesia lainnya.

Dengan kemampuan untuk “mengambil hati” penjajah itu, pedangang “China“ mendapatkan keramahan dari pemerintah Hindia Belanda. Sebaliknya Warga Pribumi selalu menjadi korban dari “persekongkolan” para pendatang dan penjajah ini. Terjadilah monopoli dibidang perdagangan akibat adanya kongkalikong antara pengusaha “China“ dengan Pemerintah Hindia Belanda itu.

Pribumi tentu merasakan dampak yang tidak baik akibat kongkalikong tersebut. Untuk melawan dominasi Aseng itu, pedagang-pedagang Islam mulai memunculkan rasa nasionalismenya. kebangkitan awal gerakan nasionalisme Indonesia dimulai dari gerakan padagang Islam. Berdirinya Sarekat Dagang Islam menjadi awal mula kesadaran nasionalisme itu dibidang ekonomi.

Pada masa Orde Baru posisi para taipan Cina menjadi semakin kuat dengan kebijakan pemerintah yang memberikan keuntungan besar bagi mereka. Sehingga muncullah kesenjangan dan ketidakadilan dibidang ekonomi.

Rezim Orde Baru menggunakan pengusaha etnis China sebagai ujung tombak membangun ekonomi nasional. Mereka "diternak" untuk difungsikan menjadi mitra penguasa dalam mengelola perekonomian nasional. Seluruh bidang usaha berada dalam cengkeraman pengusaha China ini.

Dampak dari semua itu adalah ketidakdilan sosial dan kesenjangan ekonomi yang begitu sangat Dahsyat. Survei lembaga Oxfam merilis, aset 4 orang terkaya Indonesia mencapai 25 miliar dolar AS, setara dengan harta 100 juta orang miskin. Kekuatan modal yang mereka miliki begitu besar sehingga berkemampuan menyandera, mendikte, dan mengendalikan perekonomian nasional. Menjadi seperti ‘negara dalam negara’. Mereka semakin kaya dan membesar. Ruang gerak perekonomian rakyat makin menyempit. Indonesia pun masuk enam besar negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi di dunia. (Sumber: https://www.watyutink.com/topik/politika/Mengapa-Hanya-Mereka-yang-Kaya).

Misrisnya, dalam laporan Credit Suisse yang bertajuk Global Wealth Report 2018 menunjukkan bahwa 10 orang paling kaya di Indonesia menguasai 75,3 persen total kekayaan penduduk dewasa. Sementara 1 persen orang terkaya Indonesia mendominasi 46 persen total kekayaan penduduk dewasa. Ini menggambarkan tingginya ketimpangan kekayaan yang terjadi di masyarakat. (Sumber: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/11/09/10-orang-terkaya-di-indonesia-kuasai-75-kekayaan-penduduk).

Melihat kenyataan tersebut tentu membuat kita miris. Namun negara tidak mampu mengendalikan ketimpangan ini, justru ada dugaan pemerintah justru berada dalam kendali oligarki ekonomi yang membuat ketimpangan.

Kembali ke Ekonomi Pancasila

Mengutip tulisan Ichsanuddin Noorsy "Kembali Ke Ekonomi Konstitusi 1945" ketimpangan tersebut, selain karena kegagalan sistem ekonomi dan politik, juga karena kegagalan tersebut merujuk pada kegagalan sistem hukum sehingga muara dari kegagalan itu adalah meluasnya rasa ketidak adilan. Indikasinya bukan sekadar pada soal gini rasio yang menggambarkan ketimpangan pendapatan. Tapi juga berbedanya pelayanan politik kekuasaan dan hukum terhadap mereka yang menguasai sumberdaya, produksi dan distribusi dengan kualitas layanan publik bagi rakyat jelata. Tesa semakin kaya seseorang semakin sedikit hukum yang berlaku atas dirinya, berlaku dan menjadi tontonan kaum marjinal.

Inilah kenyataan yang dirasakan oleh bangsa Indonesia sekarang ini, dimana ketimpangan dan ketidakadilan sudah menyentuh pada semua aspek kehidupan berbngsa dan bernegara. Pemusatan kekayaan pada satu atau dua kelompok memperlihatkan kegagalan negara menstribusikan keadilan sosial ini.

Meminjam Ichsanuddin tadi, kembali ke Ekonomi Konstitusi 1945 adalah kembali kepada sistem ekonomi Pancasila, dimana dalam Pancasila itu terdapat nilai dan spirit ajaran Islam yang mengatur tentang masalah ekonomi dan keadilan.

Dalam ajaran Islam ada anjuran untuk memberikan harta kepada orang yang tidak berkecukupan. Al-Quran mengatakan: “… dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian….". Artinya segala sesuatu itu adalah milik Allah yang harus kita berikan kepada orang yang membutuhkan.

Lebih Jelas lagi Rasulullah SAW bersabda: barang siapa yang menimbun barang, maka ia bersalah (berdosa)" ( HR Muslim ). Menimbun atau menyembunyikan dalam syara' itu berarti ihtikar yang artinya adalah tindakan menyimpan atau menimbun harta  yang tidak ingin dijual atau diberikan kepada orang lain.Tindakan seperti ini menimbulkan sifat keserakahan atau ketamakan didalam diri manusia. Sifat yang seperti inilah yang membuat orang selalu merasa kekurangan. Orang yang menimbun barang ini hanya ingin menuruti nafsu mereka yang hanya ingin untung dan menumpuk keuntungan sampai menyundul langit.

Kalau kita kaji dalam perspektif negara, terjadinya penumpukan harta dengan mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, merupakan pengingkaran terhadap cita luhur bangsa Indonesia. Sebab, Bumi Air dan seluruh kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Artinya konstitusi mengatur bahwa negara menguasai segala sumber daya itu, dan kalua terjadi penumpukan harta, artinya negara merawat kesenjangan dan gagal mewujudkan keadilan sosial.

Karena itu ketimpangan ekonomi, penumpukan harta pada satu atau dua orang adalah kezaliman yang nyata. Dimana satu orang dan atau sekelompok orang (oligarki) menguasai sebagian besar sumber daya alam dan ekonomi suatu negara sementara sebagian besar masyarakat berebut demi sesuap nasi.

Konkritnya, seperti yang dikatakan oleh Syahganda, anak-anak konglomerat berebut 600 Triliun hasil peninggalan orang tuanya, sementara 10 juta rakyat Indonesia per-keluarga berebut 600 ribu kemudian dipotong dari Juli sampai dengan Desember menjadi 300 ribu. Inilah potret ketimpangan di Indonesia.

Teologi Al-Ma'un dan Kedustaan Kita Berbangsa

Dalam tumpukan kekayaan yang luar biasa itu, kita perlu merenungi dan mengingat bagaimana Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan menggunakan Quran Surah Al-Ma’un sebagai senjata analisis untuk melihat ketimpangan yang terjadi pada masyarakat Indonesia kala itu.

Teologi Al-Ma’un adalah keberpihakan kepada fakir miskin dan kaum duafa yang jumlahnya cukup massif di Indonesia sampai saat ini. Dengan al-Maun kepekaan sosial kita diuji, keimanan kita dipertanyakan, kalau belum menyantuni anak yatim dan memberi makan fakir miskin.

Maka, apabila kaum miskin dan anak yatim belum mendapatkan pemeliharaan, belum mendapatkan santunan dari negara maka kita telah berdusta dalam bernegara. Bukankah Konsitusi mengatakan “Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara”. Lalu kenapa kesenjangan terus melebar?

Ini masalah serius bangsa ini yang harus kita pecahkan bersama. Pancasila hanya dijadikan slogan dan jargon, akan tetapi dalam menjalankan tata kelola negara, Pancasila tidak dijadikan dasar dan sumber pijakan. Janji-janji kemerdekaan yaitu; Mencerdaskan, mensejahterahkan, dan melindungi seluruh rakyat dan tumpah darah, yang semakin tertinggal jauh, kiblat bangsa telah bergeser, Inilah masalah bangsa ini.

Di tengah rakyat yang behimpitan ekonomi, berebut bantuan ala kadarnya dari negara ada satu keluarga konglomerat berebut harta warisan dengan jumlah yang fantastis. Hal ini memperlihatkan ada ketimpangan sosial dan ketimpangan ekonomi yang cukup serius. Dan ini bisa menjadi malapetaka bagi bangsa ini.

Oleh sebab itu, hanya dengan kesadaran al-Ma’un kita dapat menciptakan keadilan sosial yang otentik untuk membangun negara ini menjadi negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.

Wallahualam bis shawab. rmol news logo article

Penulis adalah Dosen FH-Fisip UMJ dan inisiator Masyumi Reborn

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA