Persoalannya menjadi semakin parah akibat keterlibatan negara-negara lain dengan berbagai alasan. Hal ini mengakibatkan terjadinya perang saudara (civil war), dimana rakyat Yaman tercerai-berai dalam kelompok-kelompok suku, perbedaan kelompok agama, kepentingan ekonomi, dan kepentingan politik dalam pengertian perebutan kekuasaan.
Sejak jatuhnya ibukota San'a ke tangan pemberontak, praktis tidak ada pemerintahan resmi yang berwibawa yang mampu mengendalikan negara dan melindungi rakyatnya. Sejak itu muncul tragedi kemanusiaan berupa hilangnya rasa aman penduduk, kemiskinan ekonomi, kelaparan, dan ancaman hilangnya nyawa setiap saat.
Sebagai salah satu negara Arab yang juga terkena gelombang Arab Spring sejak 2011, ditandai sejak jatuhnya rezim lama yang dipimpin Muammar Khadafi, Libia terus bergolak sampai saat ini. Pergolakan politik terkait perebutan kekuasaan, kemudian diikuti oleh pertarungan senjata diantara aktor-aktor politik baru.
Pada awalnya, pertarungan hanya melibatkan aktor-aktor lokal. Akan tetapi belakangan transisi politik di Libia memasuki babak baru dengan keterlibatan kekuatan politik, ekonomi, dan militer regional.
Lebih dari itu, negara-negara super power juga sudah melibatkan diri dalam konflik ini, dimana Amerika dan NATO mendukung pemerintahan resmi yang dipimpin oleh Perdana Mentri Fayez al-Sarraj, sedangkan Rusia mendukung pemberontak yang dipimpin oleh Gendral Khalifa Haftar.
Mesir, Saudi Arabia, dan UEA yang semula membantu secara diam-diam pemberontak yang dipimpin Haftar dan para pengikutnya yang membentuk pemerintahan tandingan dengan nama: Tentara Nasional Libia (LNA), sejak tahun lalu telah menyatakan dukungan politiknya secara terbuka diikuti oleh bantuan finansial dan logistik.
Dukungan besar-besaran ini membuat LNA semakin agresif dan berusaha berkali-kali untuk merebut ibukota Tripoli yang dikuasai oleh Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui PBB. Karena terdesak secara militer, GNA kemudian meminta bantuan Turki. Berkat bantuan Turki, pemberontak yang dipimpin Haftar terdesak mundur.
Kini Presiden Mesir Gendral Abdul Fattah Sisi meminta dilakukan gencatan senjata diantara dua kelompok yang bertikai, sebagai cara untuk menolong dan menyelamatkan Haftar dan para pengikutnya, untuk bisa mempertahankan wilayah kota Sirte dan Jufra yang menjadi basis pertahanannya.
Jika GNA tidak mengindahkan peringatan Sisi, maka bukan mustahil Mesir akan merealisasikan ancamannya untuk mengintervenai Libia, sebagaimana telah dilontarkan oleh Presiden Mesir di hadapan tentaranya di sebuah pangkalan militer yang berada tidak jauh dari perbatasan Mesir-Libia.
Karena itu, kini tragedi kemanusiaan baru telah nampak di depan mata yang mengancam dunia Arab, dan bukan mustahil Libia akan menjadi negara Arab berikutnya sebagaimana yang dialami mengalami Yaman.
Merujuk pada apa yang terjadi di Tunisia, Mesir, Yaman, Suriah, Irak, dan Libia, maka dapat dikatakan proses demokratisasi di dunia Arab sangat keras dan berdarah-darah. Sebagian besar dunia Arab dapat dikatakan gagal melalui proses Transisi Demokrasinya.
Hal ini terlihat dari gelombang pertama Arab Spring sebagai proses transisi demokrasi. Dari sekian banyak negara Arab yang dilanda gelombang Arab Spring, hanya Tunisia yang berhasil melaluinya dan kini berusaha untuk masuk ke tahapan konsolidasi demokrasi. Sedangkan yang lainnya masih berputar-putar, bahkan ada yang kembali ke rezim otoritarian walaupun aktornya berganti.
Kini dunia Arab mengalami Arab Spring gelombang kedua. Jika pada Arab Spring gelombang pertama ditandai dengan hanya keterlibatan aktor-aktor politik dalam negri, maka pada gelombang kedua ditandai oleh keterlibatan para aktor negara-negara lain, baik dengan kekuatan politik, ekonomi, maupun militer yang mengkristal menjadi dua kubu besar yang berebut pengaruh, yakni antara yang pro-demokrasi dan anti demokrasi.
Mesir, Saudi Arabia, dan Uni Emirat Arab masuk kelompok anti demokrasi, sementara pemerintahan GNA yang kini berkuasa di Tripoli termasuk kelompok yang pro-demokrasi, bersama Tunisia dan Qatar. Negara-negara Arab lain yang kini menjadi tarik-menarik diantara dua kelompok ini adalah Sudan dan Aljazair.
Kini dua kelompok politik yang bertarung di Libia, masing-masing memobilisasi kekuatan militernya secara maksimal, menyongsong pertempuran besar yang akan menentukan wajah Libia ke depan.
Meskipun demikian, menghindari penggunaan senjata untuk menyelesaikan masalah sebenarnya masih terbuka, jika para aktor-aktor utama khususnya para politisi lokal masih bisa menggunakan akal sehat dan mencintai rakyat sendiri. Mereka seharusnya berhenti mengundang kekuatan luar dan mau benegosiasi dan kompromi dengan cara berbagi kekuasaan secara rasional dan proporsional untuk menyelesaikan masalah secara damai.
Wallahua'lam.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.