Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mengenal Theodore Herzel, Bapak Zionisme Israel

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Senin, 15 Juni 2020, 14:25 WIB
Mengenal Theodore Herzel, Bapak Zionisme Israel
Theodore Herzel/Net
THEODORE Herzl lahir dari keluarga Yahudi dengan nama Benjamin Ze'ev Herzl, pada 2 Mei 1860, di Budapest, Hongaria, yang waktu itu masih merupakan bagian dari kerajaan Austria.

Ayahnya seorang pengusaha sukses asal Serbia bernama Jacob Herzl (1836-1902) dan ibunya bernama Jeanette. Theodore Herzl merupakan anak ke-2, kakak perempuannya bernama Pauline Herzl yang terpaut usia hanya satu tahun.

Pada 1878, Theodor masuk kuliah di Universitas Wina, mengambil jurusan hukum. Mungkin karena merasa tiak cocok, setahun kemudian ia memutuskan pindah ke jurusan jurnalistik. Setelah lulus ia memulai karirnya sebagai wartawan di Allgemeine Zeitung of Vienna yang terbit di Wina.

Pada 1892, ia memutuskan untuk hijrah ke Paris, Perancis, sebagai koresponden Vienna Neue Freie Presse. Saat membuat laporan khusus tentang kasus Kapten Alfred Dreyfus tahun 1894, dirinya merasa ada sikap diskriminatif sehingga sang kapten diperlakukan secara tidak adil, disebabkan latar belakang agama Yahudi yang dianutnya.

Dreyfus adalah seorang perwira di jajaran militer Perancis yang dituduh melakukan pengkhianatan dan diputuskan bersalah dalam mahkamah militer. Saat itu sentimen anti-Semit di masyarakat Eropa termasuk Perancis sangat tinggi. Herzl menyaksikan secara langsung demonstrasi dimana masa berteriak: "Matilah orang-orang Yahudi".

Peristiwa itu terus mengganggu pikirannya, sehingga ia sampai pada kesimpulan hanya ada satu solusi, yaitu: Migrasi orang-orang Yahudi ke suatu tempat dimana mereka bisa hidup aman tanpa diskriminasi atau sentimen rasial.

Ia memulai gerakkan politiknya pada tahun 1896, dengan membuat pamflet berjudul: "The Jewish State: An Attempt at A Modern Solution of Jewish Question". Walaupun mendapatkan reaksi sinis dari banyak tokoh Yahudi, ia tetap tegar dan terus bergerak.

Ia kemudian merumuskan gagasannya yang berisi doktrin Zionisme yang dibukukan dengan judul: "Negara Yahudi" (Der Jundenstaat). Herzl meyakini bahwa orang-orang Yahudi hanya memiliki satu pilihan, yakni hidup di suatu wilayah yang mempunyai kedaulatan sendiri.

Untuk mencapai tujuan tersebut, ia menyelenggarakan Kongres Zionis Pertama sedunia, yang dihadiri sekitar 200 peserta yang mewakili 24 negara. Kongres menggunakan Gedung Kasino milik pemerintah Kota Basel, Swiss, pada 29 Agustus 1897.

Pertemuan ini menandai berdirinya Organisasi Zionis se-Dunia, dimana dirinya mendapat kehormatan dipercaya sebagai ketuanya. Jabatan ini dipegang sampai akhir hayatnya.

Dalam doktrin Zionisme yang dirumuskannya, ia berpendapat: Pertama, Yahudi atau Yudaisme bukanlah agama terbuka seperti Nasrani, Islam, Hindu, Budha, dan lainnya. Akan tetapi sebagai komunitas tertutup. Karena itu, Herzl menolak asimilasi di tengah bangsa Israel. Implikasinya Zionisme menjadi sangat diskriminatif dan rasialis.

Kedua, ide mendirikan sebuah negara-bangsa bagi keturunan Israel atau bagi penganut Yahudi adalah untuk menyatukan penganut Yahudi yang tersebar di berbagai belahan bumi. Dengan demikian Negara Israel yang diimpikannya, bukanlah kerajaan Tuhan yang berorientasi ukhrawi, bukan pula pusat dakwah untuk menyebarkan agama Yahudi atau Yudaisme. Jadi negara Israel yang dicita-citakannya murni sebagai entitas politik.

Ketiga, Negara-Bangsa Israel yang diinginkannya harus didirikan di suatu wilayah kosong atau dikosongkan. Pertanyaannya kemudian dimana tempat yang ideal untuk keperluan tersebut?

Inggris sebagai sekutu gerakkan ini yang kemudian memenangkan perang dunia pertama, menawarkan Uganda kepada Herzl. Sementara, Baron Hirch seorang pengusaha sukses Yahudi yang sangat aktif membantu komunitas Yahudi yang tersebar di berbagai negara, mengusulkan suatu wilayah di Argentina.

Namun, Herzl menolak kedua gagasan tersebut. Ia memilih Palestina. Pilihan terhadap Palestina secara politis memang paling strategis, bila dikaitkan dengan keperluan untuk mendapatkan dukungan dari para rabi atau pendeta Yahudi, karena di wilayah Palestina terletak tanah suci atau yang disucikan oleh penganut Yahudi. Di tempat inilah agama Yahudi yang dibawa oleh Musa dengan kitab sucinya Taurat memiliki jejak sejarah yang tidak bisa diabaikan.

Nama Zionisme sendiri diambil dari kata "Zion", nama sebuah bukit yang disucikan (Muqaddasah) baik oleh penganut Islam maupun Yahudi, yang terletak di jantung Kota Yerusalem (Al Quds) dimana masjid Al Aqsa kini tegak berdiri.

Karena itu Zionisme secara harfiah berarti gerakan komunitas Yahudi dari seluruh dunia untuk kembali ke wilayah ini. Istilah Zionis sendiri pertama kali diperkenalkan oleh seorang perintis kebudayaan Yahudi bernama Mathias Acer (1864-1937).

Banyak orang yang tidak bisa membedakan antara gerakan politik Zionisme yang bertujuan mendirikan negara Israel dengan agama Yahudi sebagai salah satu agama Samawi (Islam, Nasrani, dan Yahudi) merupakan kelanjutan dari agama yang mengajarkan Tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim.

Di kalangan penganut Yahudi sendiri sebenarnya terbelah antara yang mendukung Zionisme dan yang menentangnya. Bagi yang menentang berargumen bahwa gerakan Zionis tidak sesuai dengan ajaran agama Yahudi yang otentik sebagaimana tercantum dalam kitab sucinya Taurat, apalagi jika diikuti oleh tindakan kekerasan dan anti kemanusiaan, yang dinilai menodai agama Yahudi itu sendiri. Diantara tokoh Yahudi terkemuka yang menentang Zionisme adalah Amnon Rubinstein dan Forsythe.

Meskipun Theodore Herzl sebagai inisiator gerakkan Zionisme telah meninggal dunia tahun 1904, akan tetapi mimpinya tentang negara Israel terus menggeliat. 50 tahun sejak gerakan Zionisme dideklarasikan, Negara Israel berdiri tepatnya pada tahun 1948, di atas wilayah Palestina.

Sejak dideklarasikannya Zionisme Israel ini, korban nyawa terus berjatuhan, diiringi dengan darah dan air mata yang tumpah membasahi bumi, entah sampai kapan persoalan kemanusiaan di wilayah ini akan berhenti, karena sampai saat ini belum nampak tanda-tanda kapan perebutan wilayah di lokasi yang disucikan oleh tiga agama (Islam, Nasrani, dan Yahudi) ini dapat didamaikan. Wallahua'lam. rmol news logo article

Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA