Kedua tahun 1956, Mesir dikeroyok oleh Israel, Inggris, dan Perancis, gara-gara Presiden Naser waktu itu menasionalisasi Terusan Suez yang sebelumnya dikelola Inggris. Walaupun kalah dalam perang, akan tetapi bisa dikatakan Mesir menang secara politik, karena tujuan mengambil-alih terusan Suez berhasil.
Ketiga tahun 1967, walaupun Mesir dibantu oleh Libia, Suriah, Yordania, dan Irak, mengalami kekalahan telak bila diukur dari jumlah serdadu yang tewas dan mesin perang yang hancur. Dan yang sangat memalukan, perang berlangsung sangat singkat, 6 hari saja. Diikuti dengan hilangnya wilayah Sinai (milik Mesir), Golan (milik Suriah), Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur (milik Yordan), yang semuanya beralih ke tangan Israel.
Harus ada perang baru yang bisa mengembalikan harga diri bangsa Arab, demikianlah kira-kira pikiran Anwar Sadat saat tampil menjadi Presiden Mesir, menggantikan Gamal Abdul Naser pada tahun 1970.
Nama lengkapnya: Mohammad Anwar Al Sadat, lahir di desa Abu Al Kum, Al Munifiyah, Mesir, pada 25 Desember 1918, dari keluarga miskin, dengan12 orang anak. Ayahnya orang Mesir sementara ibunya berasal dari Sudan.
Setelah lulus dari Akademi Militer Kerajaan di Kairo pada 1938, ia bergabung dengan Gerakkan Perwira Bebas, yang bertekad membebaskan Mesir dari kolonialisme Inggris. Pada saat pecah Perang Dunia ke-2, ia dipenjarakan oleh Inggris karena berbagai kegiatannya yang dianggap menentang kolonialisme Inggris.
Bersama Naser, Sadat terlibat dalam kudeta yang menggulingkan Raja Farouk pada 1952. Sadat ditugaskan untuk menjadi penghubung anatara Gerakan Perwira Bebas dengan Ikhwanul Muslimin (IM), baik sebelum kudeta maupun dalam mengelola pemerintahan transisi pasca kudeta. Ketika Gamal Abdul Naser tampil sebagai Presiden Mesir, Sadat menduduki berbagai posisi penting, yang pada puncaknya, dirinya dipercaya sebagai Wakil Presiden.
Untuk merealiasikan tekadnya, Sadat meminta intelnya untuk mencari tahu tentang kekuatan dan kelemahan benteng Bar Lev yang membentang di sisi Timur Terusan Suez, yang dibangun Israel pasca Perang Arab-Israel tahun 1967, sebagai pemisah wilyah Sinai yang didudukinya dengan wilayah Mesir.
Benteng Bar Lev merupakan dinding beton dua lapis berjarak 3-4 meter, yang diantara kedua dindingnya diisi pasir. Memiliki tinggi bervariasi 20-25 meter, membentang sepanjang 150 Km, pada bagian yang sempit kanal Suez. Setiap jarak tertentu dibangun menara pengawas yang dikengkapi dengan kamera jarak jauh dan dijaga oleh sniper.
Setelah menerima data dan informasi intelijen yang diperlukannya, Sadat mengundang para insinyur terbaik Mesir untuk mendiskusikan berbagai hal yang diperlukan, tanpa memberitahu rencananya. Sadat kemudian membeli pompa air berkekuatan tinggi dari Jerman, dengan kamuflase program peningkatan hasil pertanian, melalui perluasan lahan pertanian, sehingga membutuhkan suplai air tambahan dari sungai Nil.
Setelah pompa diterima, Sadat meminta tentaranya membuat tiruan benteng Barlev di tempat yang sangat dirahasiakan. Sejumlah pasukan pilihan dilatih menggunakan pompa, kemudian bagaimana meletakkannya di dasar dinding di bawah permukaan air secara cepat, dengan tetap tanpa memberitahu rencananya.
Setelah semua persoalan teknis siap, Sadat melakukan kunjungan resmi ke Damaskus untuk menemui Presiden Suriah Hafez Al Assad dengan cover peningkatan kerjasama ekonomi antara kedua negara. Sadat kemudian berbicara empat mata dengan Assad terkait rencananya. Semua ini dilakukan untuk menghindari penyadapan telpon, maupun kemungkinan intel Israel yang dipasang di Damaskus, atau yang disusupkan ke tubuh para pejabat Mesir sendiri. Assad setuju dan mereka menyepakati strategi dan taktik, serta waktunya. Mereka menyepakati kode dan isyarat bila ada perubahan rencana atau ada kejadian diluar sekenario dari rencananya yang diberi sandi: Operasi Badar. Sadat juga menemui Raja Faisal, dan sejumlah pemimpin Arab lain dengan penuh kehati-hatian.
Diantara strategi dan taktik yang diyakini dapat mengalahkan Israel adalah: Serangan harus dilakukan secara mendadak dan masif, karena itu Israel harus digempur secara bersamaan dari sisi Mesir maupun Suriah.
Untuk memenuhi berbagai peralatan militer yang diperlukan untuk menopang Operasi Badar, antara Desember 1972 hingga Juni 1973, Mesir mengimpor peralatan militer terbaru secara besar-besaran dari Uni Soviet, termasuk tank dan pesawat tempur terbaru, rudal anti pesawat mobile SA-6, dan rudal anti tank RPG-7 yang dapat dijinjing.
Sebenarnya Mossad telah mencium adanya peningkatan gerakan peralatan dan personil militer di Mesir maupun Suriah, dan mencurigainya sebagai bagian dari persiapan perang. Mossad kemudian menyampaikannya ke Perdana Mentri Israel Golda Meir. Akan tetapi Mossad tidak bisa memperkirakan kapan dan bagaimananya, sehingga membuat sang PM tidak terlalu yakin.
Pada bulan Ramadhan yang merupakan bulan suci bagi ummat Islam, bertepatan dengan Yom Kippur (Hari Penebusan) yang merupakan hari suci bagi penganut Yahudi, pada hari Sabtu, 6 Oktober 1973. Jam 14.00 tengah hari tentara Mesir menyerang benteng Bar Lev dengan menggunakan boat-boat kecil berkecepatan tinggi Dinghy. Di bawah permukaan air, pasukan kataknya memasang sejumlah pompa di dasar dinding benteng. Para pengawas menara lalu membunyikan tanda bahaya.
Belum sempat tentara Israel melakukan sesuatu, tiba-tiba pasir diantara dua dinding beton basah dan mengeluarkan air, pasir memuai dengan cepat, membuat benteng yang sangat kokoh tersebut pecah dengan tiba-tiba. Pasukan Mesir segera memasang jembatan ponton pada bagian dinding yang pecah, sementara pasukan yang menggunakan boat merapat, kemudian berlompatan manerobos benteng lewat celah-celah beton yang terbuka, mengejar pasukan Israel yang shok dan melakukan pertahanan sebisanya.
Pada saat bersamaan tank-tank Suriah menyerbu Israel dan menekan jauh ke Dataran Tinggi Golan. Dengan demikian, jika Mesir menggempur dari Selatan, maka Suriah menyerbu dari Utara. Panglima tentara Mesir Mohamed Al-Gamasy mengklaim pasukannya melepaskan tidak kurang dari 10.000 tembakan pada menit-menit pertama, saat gelombang tentara Mesir melintasi Terusan Suez.
Pada pukul dua lewat lima menit, berita pertama dari pertempuran itu mulai berdatangan ke pusat komando, kata wartawan dan cendekiawan Mesir Mohammad Haikal dalam bukunya, Anwar Sadat: Kemarau Kemarahan (1984). “Presiden Sadat dan Panglima Perang Ahmad Ismail mendengarkan dengan takjub, teriakan-teriakan dari medan pertempuran; ‘Misi berhasil... misi berhasil’. Semuanya terdengar terlalu bagus untuk bisa dipercayai,†ujar Haikal. Pada saat bersamaan, komandan Israel yang memantau jalannya pertempuran, mendengarkan dengan rasa tidak percaya saat tentara mereka yang bertugas menjaga benteng Bar Lev melaporkan bahwa benteng yang sangat dibabanggakannya tidak bisa dipertahankan.
Israel bergegas memerintahkan pasukan udaranya untuk bergerak. jet-jet tempur Israel buatan Amerika disambut oleh rudal-rudal anti pesawat jenis SA-6 buatan Uni Soviet. Pesawat-pesawat yang meliuk-liuk di udara tiba-tiba rontok dan menghantam bumi. Sementara pasukan lapis baja Mesir terus-menerus menyebrangi terusan Suez melalui jembatan ponton yang dibangunnya, kemudian merangsek masuk menusuk mendekati wilayah Israel.
Israel kemudian mengirim pasukan lapis bajanya, tank-tank Israel yang dikirimkan untuk membantu mempertahankan benteng Bar-Lev berhadapan dengan infantri Mesir yang segera menembakkan RPG-7 yang dijinjingnya,
yang mengubah seketika tank-tank yang gagah menjadi rongsokan.
Menurut Eugene Rogan dalam bukunya: The Arabs: A History (2011), pada pengujung hari pertama pertempuran, sekitar 80.000 prajurit Mesir telah menyeberangi benteng Bar-Lev dan menggali parit sekitar 4 kilometer di Sinai. Di fron utara, pasukan Israel juga mengalami nasib yang serupa saat berhadapan dengan pasukan Suriah dalam pertempuran di dekat Danau Tiberias dekat Golan.
Setelah pertempuran berlangsung 2 hari, Israel memobilisasi pasukan cadangannya untuk menahan gerak maju pasukan musuh di dua fron. Pada saat bersamaan Israel mengajukan permintaan mendesak pasokan amunisi dan persenjataan tambahan kepada Amerika, karena persediaan yang kian menipis. Presiden Richard Nixon langsung menyetujui pada 18 Oktober. Paket bantuan persenjataan senilai 2,2 miliar dolar AS ke Israel lalu sikirim. Israel juga berusaha mendapatkan dukungan politik dan militer dari negara-negara Barat.
Memurut Colin Shindler, dalam bukunya: A History of Modern Israel (2013), kedua belah pihak menderita korban berat dan menghabiskan cadangan persenjataan dan amunisi mereka, pada pertempuran paling ganas dalam konflik Arab-Israel.
Setelah mendapatkan suplai senjata baru dan amunisi tambahan, pada minggu ketiga Oktober, pasukan Israel berusaha memukul balik, baik di fron Selatan menghadapi pasukan Mesir di Sinai, maupun fron Utara menghadapi pasukan Suriah di Golan. Menurut Ahron Bregman dalam bukunya: Israel’s Wars: A History since 1947 (2000), pasukan Israel berhasil menekan, meski harus membayar mahal dengan 2.800 tentaranya tewas dan 8.800 lainnya luka-luka.
Menyaksikan hal ini, Perdana Menteri Uni Soviet Leonid Brezhnev lalu mengirimkan sepucuk surat kepada Presiden Nixon. Dalam suratnya, Brezhnev menyerukan tindakan diplomatik untuk menghentikan perang yang telah menelan korban besar dua belah pihak. Amerika merespon positif ajakan ini.
Melihat keberpihakan Amerika dan negara-negara Barat sekutu Washington, negara-negara Arab produsen minyak di bawah komando Raja Faisal, kemudian menggunakan minyak sebagai senjata. Embargo terhadap Amerika dan negara-negara Barat yang mendukung Israel diberlakukan, mengakibatkan kelangkaan minyak di negara mereka, yang melumpuhkan ekonomi banyak negara industri di Eropa. Rakyatnya marah dan menimbulkan gelombang protes di mana-mana. Harga minyak melonjak berlipat ganda untuk pertama kalinya.
Setelah berlangsung intensif selama 16 hari, perang Yom Kippur dihentikan, dengan status gencatan senjata yang dinegosiasikan melalui Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada 22 Oktober 1973. Pada hari yang sama, DK mengeluarkan Resolusi 338 untuk mempertegas Resolusi 242 yang mendorong penyelesaian politik untuk menyelesaikan persoalan wilayah yang disengketakan.
Menteri Luar Negeri Amerika Henry Kissinger kemudian melakukan upaya diplomasi untuk penarikan mundur tentara Israel dari wilayah yang didudukinya. Perjanjian damai antara Mesir dan Israel disepakati pada 18 Januari 1974. Sedangkan antara Suriah dan Israel pada Mei 1974. Lewat perjanjian tersebut, Mesir mendapatkan kembali seluruh tepi timur Terusan Suez, dengan zona penyangga yang dikendalikan PBB. Suriah juga memperoleh kembali separo wilayah Golan, diikuti pula penempatan tentara penyangga PBB.
Di Israel terjadi perdebatan yang tidak berkesudahan diantara elite politik dan militer, yang mengkritisi kelalaian Pemerintah sehingga Israel harus membayar mahal baik yang berupa korban manusia, peralatan militer, maupun lepasnya sejumlah wilayah yang dikuasainya sejak tahun 1967. Tidak tahan menghadapi berbagai kritik ini, pada 11 April 1974, Perdana Mentri Golda Meir mengundurkan diri.
Melalui perjanjian damai Camp David yang diprakarsai Jimmy Carter, seluruh wilayah Mesir yang diduduki Israel sejak 1967 dikembalikan secara bertahap, sementara perjanjian damai antara Israel dan Suriah tidak kunjung terwujud, yang menyebabkan dataran tinggi Golan yang diduduki Israel sejak 1967, bukan saja belum dikembalikan kepada pemiliknya, bahkan Israel memperkuat cengkramannya.
Meskipun secara keseluruhan perang Arab-Israel menguntungkan negara-negara Arab, akan tetapi persoalan Yerusalem Timur dimana masjid Al Aqsa berada dan nasib Palestina tidak jelas. Hal ini menimbulkan kekecewaan dan kemarahan kelompok-kelompok tertentu di dunia Arab.
Pada 6 Oktober 1981, Presiden Anwar Sadat yang berada di tribun kehormatan yang duduk di kursi VVIP dalam sebuah parade militer mempringati Perang Ramadhan atau Yom Kippur, dibrondong oleh pasukannya sendiri yang ikut parade. Khalid Islambuli, sang penembak ternyata tentara yang menjadi anggota Jihad Islam (JI), yang merupakan sempalan Ikhwanul Muslimin, yang marah dengan keputusan Sadat berdamai dengan Israel.
Sangat tragis memang, Anwar Sadat seorang Jenderal ditembak oleh prajuritnya sendiri, pada saat memperingati hari kemenangan Masir atas Israel yang diarsitekinya, sehingga membuat kepala bangsa Mesir dan Arab secara keseluruhan bisa tegak kembali di mata internasional.
Setelah perang Arab-Israel tahun 1973, tidak pernah ada lagi perang besar antara Arab dan Israel sampai saat ini. Di dunia Arab ada idiom: Tidak ada perang antara Arab dengan Israel tanpa keterlibatan Mesir, tidak ada perdamaian antara Arab dengan Israel tanpa keterlibatan Suriah. Apakah idiom ini diketahui Israel?
Wallahua'lam.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.