Diantara yang hadir terdiri dari pejabat negara, politisi, dan para cendekiawan. Mereka akan membahas berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam saat ini. Diantara persoalan yang akan dibahas antara lain: Masalah Islamophobia, berbagai tindakan diskriminatif dan intimidatif yang dialami minoritas Muslim, serta para pengungsi akibat perang berkepanjangan di negara-negara Arab.
Masalah suku Uighur di Xinjiang, China, etnis Rohingnya di Myanmar, kelaparan akibat perang di Yaman, dan pengungsi akibat perang di Suriah, menjadi isu yang sudah mulai muncul ke permukaan melalui berbagai media resmi.
Masalah ini menjadi berlarut-larut, tidak bisa dilepaskan dari realitas tercerai-berainya kekuatan negara-negara Muslim, baik karena faktor internal berupa perebutan kekuasaan, maupun karena faktor eksternal akibat politik adu domba dan belah bambu yang dijalankan negara-negara kolonial.
Bagi para pengamat politik internasional, yang lebih menarik bukanlah fakta-fakta di atas yang sudah menjadi pengetahuan umum, akan tetapi bagaimana perkembangan aliansi regional maupun global diantara negara-negara Muslim menyikapi masalah-masalah di atas. Mengingat pola aliansi yang muncul sangat dinamis, dan tentu akan ikut menentukan kemana arah dan bagaimana arah penyelesaiannya.
Saudi Arabia secara terbuka menyatakan tidak setuju dengan pertemuan negara-negara Muslim di luar dari wadah OIC (OKI). Karena itu Saudi Arabia tidak akan mengirim delegasi sebagai peserta. Bagi Riad upaya mencari penyelesaian persoalan umat Islam di luar OKI akan semakin melumpuhkan OKI yang sudah lama mati suri.
Lebih dari itu, Saudi Arabia yang memotori sekaligus menjadi markas OKI, tentu merasa wibawanya sebagai salah negara muslim penting semakin tergerus.
Pakistan yang semula sangat bersemangat dan menjadi salah satu motor dari pertemuan di KL kali ini, tiba-tiba menyatakan tidak mengirimkan delegasi. Sejumlah sumber berspikulasi, ketidakhadirannya akibat tekanan dari Riad. Hubungan dekat Riad-Islamabad, dan besarnya ketergantungan ekonomi Pakistan pada Saudi Arabia, tentu menjadi pertimbangan utama bagi Islamabad.
Sebaliknya Turki dan Qatar yang menjadi saingan Saudi Arabia di Timur Tengah mengirimkan orang nomor satunya, Recep Tayyip Erdogan dan Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani. Pertemuan mereka di KL menandai menguatnya poros Ankara-Doha yang mendapat dukungan baru dari Malaysia, selain semakin mendekatkannya mereka dengan perwakilan negara-negara Muslim yang hadir.
Kehadiran Hassan Rouhani sebagai Kepala Negara Iran di KL, juga dapat dimaknai sebagai sebuah kemenangan politik Teheran atas Riad dalam memperebutkan hati umat Islam. Menyusul kemenangan militernya dalam memperebutkan pengaruh di kawasan Timur Tengah. Saudi Arabia meskipun didukung penuh Amerika dan NATO, tetap kedodoran menghadapi Iran.
Perdana Mentri Mahathir Mohamad dalam pembicaraannya via telpon dengan Raja Salman menyatakan secara jelas bahwa KL Summit tidak dimaksudkan untuk meyaingi OKI, akan tetapi tidak bisa dibantah bahwa berkumpulnya para pemuka ummat Islam di KL sebagai upaya mencari jalan lain, akibat ketidakberdayaan OKI dalam menghadapi berbagai persoalan umat Islam di dunia.
Seharusnya para pemimpin Saudi Arabia yang menjadi rumah bagi dua tempat suci umat Islam berani introspeksi diri, mengapa mereka mulai ditinggalkan. Paling tidak ada empat hal yang perlu dievaluasi: Pertama, hubungan ekonomi, politik, dan militer Riad-Washington telah membuat Saudi Arabia tidak leluasa mengambil kebijakan, termasuk yang terkait dengan kepentingan bangsa dan negaranya sendiri.
Kedua, Hubungan Riad-Tel Aviv yang semakin mesra, telah menjauhkan Saudi Arabia dari Palestina yang menjadi rumah bagi Al Quds yang merupakan kota suci ketiga bagi Ummat Islam.
Ketiga, keterlibatan militer Saudi Arabia secara langsung di Yaman yang telah menimbulkan korban harta benda dan kemanusiaan berkepanjangan, telah menimbulkan banyak kritik, baik terkait senjata yang digunakan maupun persoalan kemanusiaan yang ditimbulkannya.
Keempat, upaya Saudi Arabia memblokade tetangganya Qatar secara tiba-tiba dan tanpa alasan yang rasional. Meskipun sudah berlangsung lama, tidak ada upaya yang serius untuk islah.
Fakta-fakta di atas mungkin tanpa disadari telah menggerus wibawa Saudi Arabia di dunia Islam, kemudian secara perlahan umat Islam meninggalkannya.
Di era dimana "logika kekuatan" lebih banyak dipraktikan oleh para pemimpin dunia dibanding "kekuatan logika", seperti yang kita saksikan terutama di Amerika, Israel, China dan India. Kecendrungan seperti ini tampaknya akan terus berlangsung entah sampai kapan. Karena itu, umat Islam perlu mengimbanginya dengan mengkonsolidasi kekuatan yang dimilikinya, baik yang berupa kekuatan ekonomi, politik, maupun militer.
Disinilah arti penting KL Summit yang kini sedang berlangsung di Malaysia. Semoga saja mereka sukses dan ada kesepakatan kongkrit yang dihasilkannya.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.