Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Inilah Dugaan Kasus-Kasus Korupsi Ahok

Kamis, 14 November 2019, 12:58 WIB
Inilah Dugaan Kasus-Kasus Korupsi Ahok
Ahok/RMOL
KENAPA KPK dan penegak hukum tak kunjung mengadili Ahok? Sudahlah diistimewakan di hadapan hukum, oleh Pemerintahan Jokowi, Ahok malah akan diangkat menjadi pengelola BUMN.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Rezim pemerintahan seperti apa ini. Katanya NKRI dan Pancasila harga mati. Kok terduga koruptor dilindungi dan malah akan diangkat mengelola BUMN milik rakyat.

Catat ini, rakyat tidak akan rela terhadap kebijakan yang merendahkan martabat bangsa, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral bangsa Indonesia, dengan mengangkat penista agama jadi pejabat publik.
 
Berikut adalah berbagai dugaan kasus korupsi Ahok yang telah dilaporkan kepada KPK pada tanggal 17 Juli 2017. Namun KPK tidak pernah menindaklanjuti laporan tersebut meskipun berbagai alat bukti atas dugaan kasus-kasus korupsi tersebut telah memiliki alat bukti yang lebih dari cukup.

KPK justru melindungi Ahok dari jerat hukum dengan mengatakan bahwa Ahok tidak memiliki niat jahat. Bukti-bukti kejahatan sudah tersedia.

Lalu kenapa KPK tetap melindungi Ahok? Mengapa KPK terlibat dalam konspirasi dan komplotan yang selalu melindungi Ahok?

Bagaimana KPK mengukur niat seseorang yang telah terbukti terlibat dan merekayasa kejahatan korupsi.
 
1. Kasus RS Sumber Waras
 
Berbagai pelanggaran hukum dan potensi kerugian negara yang dilakukan oleh Ahok dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) adalah sebagai berikut.
 
Pertama mengubah nomenklatur R-APBD 2014 tanpa persetujuan DPRD DKI dan memanipulasi dokumen pendukung pembelian lahan dengan modus backdated.

Kedua, mengabaikan rekomendasi BPK untuk membatalkan pembelian lahan RSSW. Hal ini melanggar pasal 20 ayat 1 UU 15/2004.

Ketiga, berpotensi merugikan negara Rp 191 miliar. Hal ini melanggar pasal 13 UU 2/2012 dan pasal 2 Perpres 71/2012;

Selanjutnya, bepotensi tambahan kerugian negara Rp 400 miliar karena Kartini Muljadi hanya menerima Rp 355 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp 755 miliar, sisanya digelapkan.

Berpotensi tambahan kerugian negara miliaran rupiah dari sewa lahan dan bertentangan dengan pasal 6 Permendagri 17/2007, PP 27/2014, dan UU 17/2003.

KPK ternyata melindungi Ahok dengan menyatakan tidak ditemukannya niat jahat Ahok. Padahal dari hasil audit BPK, tampak jelas indikasi perbuatan melawan hukum dan kerugian negara oleh Ahok. Tampaknya KPK bertindak absurd dan berhasil ditaklukkan Ahok.

2. Kasus Lahan Taman BMW

 
Diduga Ahok terlibat tindak pidana korupsi dalam kasus Taman BMW ini sebagai berikut. Pertama, tanah BMW yang diklaim Agung Podomoro (AP) akan diserahkan pada Pemda DKI sebagai kewajiban, bukanlah miliknya. Lahan berstatus bodong, tidak ada satu dokumen yang secara hukum sah kalau lahan BMW menjadi milik Pemda DKI;

Kedua, telah terjadi pemalsuan tanda tangan dalam proses pemilikan lahan oleh AP.

Pemda DKI telah membuat sertifikat sebagian lahan BMW dengan melanggar hukum, dan telah berperan menjalankan tugas yang harusnya dilakukan oleh AP. Terjadi manipulasi pembuatan sertifikat atas sebagian lahan, bukan seluruh lahan;

Hal di atas melanggar PP 24/1997 dan PMNA 3/1997, tanah yang sedang sengketa tidak bisa disertifikatkan. Dokumen atas hak sertifikasi tidak sah.

Pada APBD 2014 rencana pembangunan Stadiun BMW ini ditolak DPRD DKI. Ahok tetap menganggarkan dana pembangunan stadion dalam APBD 2015.

Melihat potensi kerugian negara yang mencapai puluhan miliar rupiah akibat korupsi ini, maka KPK perlu segera menindaklanjuti.

Pejabat yang dinilai terlibat adalah Jokowi-Ahok dan gubernur-wagub periode sebelumnya, dan Ahok salah satu yang sangat berperan.
 
3. Kasus Lahan Cengkareng Barat

Terdapat beberapa pelanggaran yang dilakukan mantan Gubernur DKI Ahok dalam pembelian lahan di Cengkareng Barat.

Sesuai audit BPK, Pemprov DKI Jakarta membeli lahan milik pemda sendiri di Cengkareng Barat dari Toeti Noezlar Soekarno. Negara berpotensi dirugikan Rp 668 miliar;

Terjadi penyalahgunaan dana APBD yang melanggar UU 20/2001, tentang Perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor.

Dalam proses pembelian lahan terdapat pelanggaran gratifikasi oknum PNS Pemprov DKI Rp 10 miliar, yang melanggar pasal 12 UU 20/2001.

Sebagai kepala daerah, Ahok bertanggung jawab atas kerugian negara dan pelanggaran hukum karena berperan mengeluarkan disposisi untuk mengeksekusi  pembelian lahan.

KPK telah berperan menetralisir kasus dengan memproses dan menerima pengembalian gratifikasi Rp 10 miliar, namun menghentikan kasus korupsinya sendiri, Rp 668 miliar.

Pembelian lahan Cengkareng Barat dilakukan karena adanya disposisi pimpinan Pemprov DKI. Polri, Kejagung dan KPK seharusnya mampu menelusuri masalah disposisi dan kasus ini. Tapi ketika berhadapan dengan Ahok, lembaga-lembaga ini seolah lumpuh!

4. Kasus Dana CSR

 
Kasus dana CSR melibatkan Ahok Centre yang dipimpin dan dikelola oleh Ahok bersama tim sukses.

Beberapa pelanggaran yang dilakukan terkait dengan kasus ini adalah dana CSR diperoleh dari puluhan perusahaan bernilai puluhan-ratusan miliar rupiah, ternyata oleh Ahok tidak dimasukkan ke dalam APBD, tetapi dikelola Ahok Centre.

Pengelolaan dana CSR oleh Ahok Center di luar APBD antara lain melanggar UU 40/2007 tentang PT, PP 47/2012 tentang TJSL, Permen BUMN 5/2007 tentang Kemitraan BUMN, PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Pembangunan di Jakarta banyak menggunakan dana CSR, dan untuk itu Ahok bekerja sama dengan pengembang. Kerjasama ini sarat kepentingan dan ada motif kongkalikong yang jauh dari pantauan DPRD dan publik, sehingga rawan terhadap tindak pidana KKN.

DPRD DKI Jakarta telah mendesak audit dana CSR yang dikelola Ahok Center, namun tidak jelas kelanjutannya. Pada Februari 2016 diberitakan KPK telah mengusut kasus ini. Tapi, hingga Juni 2017, hasil pemeriksaan KPK tersebut tidak pernah diketahui publik!

Tampaknya sikap KPK sama dengan sikap saat menanggapi kasus RS Sumber Warah: “Ahok tidak punya niat jahat”.

Ahok terlihat dilindungi KPK, sehingga proses hukumnya berhenti.

5. Kasus Korupsi di Belitung Timur
 
Sebelum dan setelah menjadi Bupati di Belitung Timur Ahok diduga telah terlibat dalam kasus pengadaan/anggaran ganda pada revitalisasi muara di Beltim. Proyek Pemda ini fiktif karena proyek revitalisasi dilakukan oleh PT Timah.

Kasus penambangan kaolin dan pasir kuarsa secara ilegal di Hutan Lindung Gunung Noya melalui empat perusahan Ahok. Kasus ini telah diusut oleh Mabes Polri pada 2010.

Berkat pendekatan oleh Ahok sebagai Anggota DPR saat itu, pada awal 2011 Mabes Polri melimpahkan pengusutan kasusnya Polda Bangka Belitung.

Polda Babel sudah menyatakan kasus penambangan ilegal berstatus  “P-21”, untuk diteruskan ke Kejati Babel. Sebagai anggota DPR, Ahok melobi banyak kalangan, sehingga kasus dengan ancaman hukuman 12 tahun ini berhasil  dihentikan sampai sekarang.

Rakyat pantas mendesak Polri, Kejagung atau KPK menuntaskan kasus dugaan korupsi di atas. Apalagi, ternyata rakyat selama ini telah ditipu dengan citra positif tentang sosok Ahok yang profesional, jujur, berani dan anti korupsi, yang ternyata adalah penipu dan koruptor!

6. Kasus Reklamasi
 
Berdasarkan fakta-fakta persidangan M. Sanusi dan Ariesman Wijaya, serta analisis sejumlah pakar, disimpulkan dugaan KKN Ahok dalam kasus reklamasi sebagai berikut.

Pertama dari kasus penggusuran Kalijodo, Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Wijaya  mengaku telah menggelontorkan dana miliaran rupiah (Rp) untuk menggusur rakyat. Dana diberikan atas permintaan Ahok, dengan kompensasi APL mendapatkan izin dan hak membangun sejumlah pulau reklamasi di Teluk Jakarta.

Ahok juga melakukan transaksi terselubung dengan para pengembang dengan suap miliaran atau puluhan miliar rupiah. Ahok telah memberikan izin-izin reklamasi, padahal pembahasan Raperda Zonasi Wilayah dengan DPRD DKI masih berlangsung.

PTUN telah memenangkan gugatan rakyat atas tanah di pulau-pulau reklamasi, yang berarti proyek reklamasi berstatus ilegal. Di di sisi lain sejumlah pengembang telah melakukan marketing, padahal mereka belum memiliki IMB dan dokumen Amdal.

Berdasarkan fakta sidang-sidang M. Sanusi, Ahok setuju menurunkan kontribusi tambahan 15 persen NJOP menjadi 5 persen NJOP. Ahok merestui langkah Sunny Tanuwijaya melobi anggota DPRD DKI agar poin kontribusi dapat direvisi;

Menurut Krisna Murti (kuasa hukum Sanusi), Sunny T. adalah “tangan kanan” Ahok yang berperan menjembatani ekskutif, pengusaha dan DPRD DKI guna tercapainya “kesepakatan” Raperda Reklamasi. Ahok jelas terlibat KKN dalam penetapan raperda;

Sugianto Kusuma (Aguan) telah memberikan dana Rp 220 miliar kepada Pemprov  DKI. Hal ini merupakan pelanggaran gratifikasi oleh Ahok dan oknum Pemprov DKI.

Meskipun fakta-fakta persidangan jelas menunjukkan keterlibatan Ahok, Sunny dan Aguan, namun KPK menghentikan proses pengadilan terhadap ketiganya.

Jika mengacu pada potensi keuntungan seluruh proyek reklamasi 17 pulau yang mencapai Rp 560 triliun dari total pendapatan Rp 566 triliun, maka potensi kerugian negara akibat penurunan kontribusi dari 15 persen menjadi 5 persen adalah sekitar Rp 56 triliun!
 
Pelanggarakan hukum yang dilakukan Ahok dalam proyek reklamasi meliputi, penyalahgunakan wewenang guna memperkaya diri sendiri dan orang lain, yang melanggar pasal 12 UU 20/2001 tentang Tipikor.

Mendirikan bangunan tanpa Amdal, yang melanggar pasal 22 UU 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

Menerbitkan izin reklamasi tanpa adanya Perda Zonasi, yang melanggar UU 1/2014 berupa perubahan atas UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;

Menerbitkan izin reklamasi di luar kewenangan Pemprov DKI, dan bertentangan dengan PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

Menerbitkan izin reklamasi tanpa landasan hukum, karena Kepres 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dicabut melalui PP 54/2008;

Mengabaikan peraturan kepentingan publik, yang melanggar UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
 
Ketua KPK Agus Rahardjo (1/4/2016) mengatakan penangkapan M. Sanusi dan Ariesman Wijaya berpotensi merugikan negara hingga Rp 1,14 miliar.

Namun menurut Agus potensi korupsi lanjutan lebih besar, terlihat dari bagaimana pihak swasta memengaruhi pembuat kebijakan publik tanpa menghiraukan kepentingan rakyat.

Kata Agus, proyek reklamasi adalah grand corruption, dan sangat mungkin bagi pengembang untuk melakukan suap ratusan miliar atau trilunan rupiah terutama kepada yang berwenang menerbitkan izin.
 
Agus Rahardjo mengatakan pelaksanaan proyek reklamasi dapat merugikan negara �"puluhan-ratusan triliun rupiah. Ternyata Agus dan KPK double standard. KPK tidak melanjutkan proses hukum terhadap Ahok, Sunny dan Aguan. KPK tampaknya telah takluk.

7. Kasus Dana Non-Budgeter
 
Praktik dana non-budgeter dilakukan Ahok pada banyak kasus. Dengan dalih memiliki hak diskresi, Ahok membarter pembangunan fasilitas umum dengan penerbitan izin dan penetapan nilai kontribusi proyek reklamasi. Ahok juga memanfaatkan dana CSR secara off-budget untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Berdasarkan pengakuan Ariesman Widjaja (APL) kepada penyidik KPK, terdapat 13 proyek reklamasi PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan APL, yang anggarannya akan dijadikan pengurang “kontribusi tambahan” proyek reklamasi. Pengurangan terjadi kalau APL membangun fasilitas umum untuk DKI Jakarta.

Ternyata pembangunan sejumlah sarana di DKI dilakukan Ahok memanfaatkan dana non-budgeter. Hal ini sering diklaim sebagai langkah inovatif dan keberhasilan.

Namun di balik klaim dan pencitraan tersebut tersembunyi berbagai tindakan berbau KKN, karena penerapan skema dana non-budgeter melanggar hukum dan prinsip good governance.

Ahok bisa saja mengklaim tidak menerima gratifikasi seperti yang dilakukan mantan Kertua DPD RI Irman Gusman, penerima suap Rp 100 juta.

Namun dana non-budgeter tersebut merupakan uang milik negara yang dimanfaatkan secara serampangan dan suka-suka, karena tidak masuk APBD dan bebas dari pengawasan DPRD atau publik. Sehingga potensi korupsinya justru jauh lebih besar dan dapat mencapai puluhan triliun rupiah.

Ahok menjalankan skema dana non-budgeter, mengelola keuangan daerah seolah dana milik perusahaan keluarga. Hal ini berpotensi merugikan keuangan daerah DKI puluhan triliunan rupiah.

Tindakan bejad, serampangan dan sarat KKN ini minimal melanggar ketentuan dalam UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Pengelolaan dana dan pembangunan berdasarkan skema non-budgeter termasuk kategori mega korupsi! Karena itu sudah sepantasanya Ahok diproses secara hukum.

Langkah yang perlu segera diambil adalah audit investiagtif BPK dan pengusutan oleh KPK. Selain itu, DPR RI pun harus mengajukan Hak Angket atas kasus dana non-budgeter ini.
 
8. Kasus Penggusuran Brutal oleh Ahok

 
Ahok dapat dikategorikan sebagai pejabat publik penggusur paksa paling brutal sepanjang sejarah Indonesia. Ahok menggusur puluhan kampung di Jakarta dengan tiga pola sistemik berupa stigmatisasi, menyatakan tanah yang akan digusur adalah tanah negara, justifikasi menyatakan bahwa penggusuran dilakukan demi pembangunan dan kepentingan umum, dan langkah pamungkas: hancurkan, tanpa musyawarah, ganti rugi, dll.

Ternyata motif di balik sebagian besar penggusuran oleh Ahok adalah kepentingan bisnis para pengembang. Dengan pembersihan dan penguasaan kawasan kumuh oleh pengembang, maka nilai jual properti meningkat.

Begitu pula dengan area hasil gusuran yang dirubah menjadi hunian, ruko atau jalan akses atau taman terbuka. Jalan akses dan ruang terbuka menuju kawasan hunian, aparemen dan area reklamasi akan membuat nilai jual properti meningkat untuk dinikmati para pengembang.
 
Beberapa pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok dalam menajalankan kebijakan penggusuran paksa rakyat adalah melanggar pasal 28A, 28B (2), 28C (1), 28E (1), 28G (1&2) dan 28H (1) UUD 1945;

Melanggar berbagai ketentuan dalam UU 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya.

Melanggar UU 39/1999 tentang HAM dan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Melanggar pasal 13 UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara dan pasal 6 UU 34/2004 tentang TNI, yang melibatkan aparat TNI/Polri dalam menggusur rakyat.

Melanggar sejumlah UU dan peraturan yang terkait dengan penerapan skema dana non-budgeter seperti diuraikan sebelumnya pada butir 7 di atas. rmol news logo article

Marwan Batubara

Koordinator Tim Satu Negeri dan penulis buku “Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok: Menuntut Keadilan untuk Rakyat”.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA