Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Anak-Anak Kita

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/sudarnoto-a-hakim-5'>SUDARNOTO A HAKIM</a>
OLEH: SUDARNOTO A HAKIM
  • Minggu, 28 Juli 2019, 13:25 WIB
Anak-Anak Kita
Anak-anak/Net
HIRUK pikuk dan kegaduhan politik beberapa tahun belakang ini hingga pilpres tempo hari telah menyedot kuat perhatian dan juga enerji banyak orang. Ada suasana batin yang muncul bahwa setiap orang wajib ngurusi politik apalagi, atas seruan tokoh agama tertentu misalnya, politik adalah pertaruhan antara yang haq dan batil.

Indoktrinasi Ideologis


Persaingan antara 01 dan 02, misalnya, adalah persaingan antara yang haq dan batil tadi. Karena itu,  dengan menggunakan sentimen agama setiap muslim haruslah menjadi bagian penting dari jihad ini. Tak terkecuali,  tidak sedikit anak-anak usia SD dan SMP (dan bahkan Balita) diikut sertakan dalam parade aksi jalan menunjukkan kekuatan massa muslim "bela Islam" dan lain-lainnya.

Sebagaimana yang dilakukan oleh demonstran dewasa lainnya, anak-anak inipun membawa simbol-simbol keislaman misalnya bendera, ikat kepala, takbir,  dan lain-lain. Bagi anak-anak, suasana aksi ini mungkin menyenangkan karena dirasakan sebagai bagian dari piknik dan baris berbaris untuk sebuah upacara seperti agustusan atau kartinian.

Jika mereka difoto, maka mereka ikut serta mengacungkan jari untuk menunjukkan preferensi politik atau ideologi keislaman tertentu. Jika direkam dengan video, maka mereka akan ikut kibar-kibarkan bendera Islam sambil bertakbir berkali-kali dan mengepalkan tangan, semangat.

Tidak saja sentimen relijius yang digunakan, akan tetapi juga spirit egosentrisme yang dilandasi dengan argumentasi deprivasi sosial dan ekonomi menjadi bagian penting dari perlawanan terhadap kekuasaan. Tema  runtuhkan kapitalisme dan tegakkan khilafah menggantikan sistem kekuasaan yang berbasis kepada prinsip-prinsip demokrasi, adalah contoh gamblang.

Secara tak langsung melalui tema ini ada pikiran provokatif bahwa kapitalisme dan sistem demokrasi adalah sumber kesengsaraan dan menimbulkan deprivasi umat dan karena itu harus dilawan. Kembali, tidak sedikit anak-anak yang ternyata diikut sertakan dalam pawai demonstrasi atau pertemuan-pertemuan umum terbuka lainnya.

Bahkan,  tragisnya,  anak-anak diikut sertakan dalam aksi suicide bomb di Surabaya dan Sibolga yang dilakukan oleh teroris dengan membawa simbol agama. Itu eksploitasi anak-anak untuk keperluan  ideologi dan politik. Melalui indoktrinasi yang efektif,  mereka hakikatnya menjadi korban "kekerasan ideologis" dari orang tua yang sangat obsesif terhadap politik dan  ideologi Kanan.

Indoktrinasi begini,  tidak saja dilakukan oleh orang tua,  akan tetapi juga mungkin di lembaga-lembaga pendidikan,  komunitas,  masjid,  majelis talim, TPA-TPA atau tempat-tempat lainnya. Pemerintah bersama dengan kekuatan civil society lainnya perlu melakukan assesment yang baik untuk meyakinkan apakah benih-benih ideologis yang bertentangan dengan Pancasila dan wasatiyatul Islam itu benar-benar terbibitkan di tempat-tempat itu.
        
Tindakan Kekerasan

Gambaran menyedihkan dan memprihatinkan tentang anak-anak kita masih banyak. Misalnya saja soal tindakan kekerasan terhadap anak-anak. Kekerasan terhadap anak di Indonesia  masih cukup tinggi. "Survei Kekerasan Terhadap Anak Indonesia 2013" dari Kementerian Sosial memperlihatkan bahwa kekerasan yang dialami anak laki-laki lebih besar dibandingkan anak perempuan.

Jumlahnya mencapai hampir separuh populasi anak laki-laki, tepatnya 7.061.946 anak atau 47,74 persen. Pada anak perempuan, prevalensinya mencapai 17,98 persen (2.603.770 anak).

Dilihat berdasarkan jenisnya, anak-anak Indonesia cenderung mengalami kekerasan emosional dibandingkan fisik. Sebanyak 70,98 persen anak laki-laki dan 88.24 persen anak perempuan pernah mengalami kekerasan fisik. Untuk kategori kekerasan emosional, sebanyak 86,65 persen anak laki-laki dan 96,22 persen anak perempuan menyatakan pernah mengalaminya.

Berdasarkan laporan "Global Report 2017: Ending Violence in Childhood" sebanyak 73,7 persen anak-anak Indonesia berumur 1-14 tahun mengalami pendisiplinan dengan kekerasan (violent discipline) atau agresi psikologis dan hukuman fisik di rumah. Hal ini diperkuat data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mencatat sebanyak 4.294 kasus kekerasan pada anak dilakukan oleh keluarga dan pengasuh (2011-2016).

Kasus terbanyak terjadi pada 2013, yaitu 931 kasus kekerasan anak. Namun, jumlah ini terus menurun menjadi 921 kasus di 2014, 822 kasus di 2015, dan 571 kasus di 2016. Tapi, angka ini masih sangat menghawatirkan.

Berbagai bentuk kekerasan di atas akan dipelajari di masa kanak-kanak; melalui pengalaman hukuman fisik dari pengasuh, menyaksikan kekerasan dalam keluarga, intimidasi dan agresi di sekolah dan di lingkungan lain. Efeknya pun bisa membekas seumur hidup, sebab kekerasan telah terinternalisasi sedemikian rupa sebagai salah satu metode dalam berinteraksi dengan orang lain.

Memang yang sangat memprihatinkan adalah bahwa kekerasan-kekerasan tersebut justru terjadi di tempat-tempat yang diharapkan paling aman bagi anak-anak karena ada orang-orang yang dicintai dan diharapkan menuntun masa depan. 

Rumah Wasati


Mengarusutamakan gagasan dan prinsip-prinsip moderasi,  jalan tengah atau Wasaty di lingkungan keluarga haruslah menjadi prioritas tidak saja untuk misi penyelamatan bagi anak-anak kita akan tetapi juga penyelamatan keluarga dan bangsa.

Keluarga adalah basis utama atau fondasi bagi gagasan dan gerakan besar Wasathy dan karena itu membutuhkan kesadaran dan kematangan orang tua bahkan sejak menyiapkan diri untuk berumah tangga. Terlalu banyak kita jumpai keluarga yang masih sangat muda mengalami keretakan. Bahkan, tak sedikit juga keluarga senior juga mengalami nasib yang sama. Fondasinya tidak kokoh karena suami istri juga tidak kokoh.

Secara ideologis,  keluarga-keluarga masa kini menghadapi atau berada di antara berbagai arus ideologi dunia (world ideological steams). Di antara ideologi-ideologi itu ialah hedonisme,  sekularisme, materialisme, Islamisme yang akan sangat berpengaruh secara kultural, sosial,  ekonomi dan politik.

Secara keagamaan,  keluarga juga menghadapi berbagai kecenderungan seperti tradisionalisme, konservativisme, ekstrimisme,  radikalisme,  liberalisme dan modernisme. Karang-karang ideologis dan keagamaan ini akan selalu bergerak dan bahkan bertubrukan satu sama lain.

Tapi,  mungkin saja saling bertemu dan berakomodasi karena alasan-alasan tertentu. Karena itu,  kelompok atau kecenderungan keagamaan modernis bisa bertemu dengan radikal meskipun secara teologis bertentangan.

Yang justru penting ialah menciptakan rumah sebagai basis atau fondasi Wasathy. Melalui mainstreaming Wasathy di keluarga ini maka human values yang bersifat universal dan ajaran prinsip dan luhur yang disediakan oleh agama bisa terimplementasi dengan baik.

Orang tua dan anak-anak benar-benar menjadi elemen penting terbentuknya "keluarga" yang kokoh dan damai. The real family atau real home terwujud di mana setiap orang merasakan betul bahwa rumah adalah tempat yang senantiasa dirindukan,  yang menghadirkan ketentraman kedamaian, home of inspiration, love and harmony; tidak membiarkan anak anak menjadi anaknya IT gudget; tidak membiarkan anak-anak terpapar radikalisme dan tidak membiarkan anak-anak menjadi korban dari kekerasan bentuk apapun. Save our family, children and nation. rmol news logo article

Penulis adalah Asisten Stafsus Presiden dan Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA