Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Meneropong Keberbedaan PSI Yang Menggagalkannya

Kamis, 02 Mei 2019, 14:56 WIB
Meneropong Keberbedaan PSI Yang Menggagalkannya
Jannus TH Siahaan/Dok
KECILNYA porsi suara Partai PSI versi Quick Count memang cukup mengejutkan. Di tengah keberlimpahan suara pemilih muda, tepatnya pemilih milenial, partai yang sedari awal memetakan posisinya sebagai partai anak muda sejatinya memiliki peluang yang cukup besar untuk melenggang ke Senayan.

Setidaknya dengan angka sedikit di atas ambang batas parliamentary threshold. Tapi nyatanya tak semudah itu, suara generasi muda terdistribusi ke banyak partai yang ternyata punya magnet politisi-politisi muda yang tak kalah atraktif dibanding politisi-politisi PSI. Dan terlepas dari itu, sedari awal saya sudah melihat bahwa PSI lahir dengan logika yang cukup berbeda dengan partai-partai lainya, sehingga akan cukup sulit untuk menemukan irisan dengan jiwa pemilih-pemilih muda yang kritis dan dinamis.

Biasanya, partai politik baru dilahirkan sebagai antitesis dari kekuasaan yang sedang berkuasa atau di saat terjadi kekosongan kekuasaan yang membutuhkan kontestasi kompetitif untuk mengisinya.  

Kemudian, di saat kekuasaan baru terbentuk, dan dianggap masih belum mampu menyelesaikan masalah dan membereskan proses transisi demokrasi, muncul beberapa partai baru lainya,  yang pada tataran kefiguran,  sebenarnya masih dimotori oleh tokoh-tokoh lama.

Pada logika pertama, kita pernah menyaksikan kelahiran dan sepak terjang Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai bukti nyata. Partai besutan Budiman Soedjatmiko dan Andi Arief cs tersebut adalah partai yang lahir beberapa waktu sebelum Soeharto lengser.

Partai yang kerap dilabeli sebagai partai kiri tersebut benar-benar harus merasakan pahitnya beroposisi non parlementer terhadap kekuasaan.

Setelah kejatuhan Soeharto, logika kedua berlaku, di mana partai-partai baru lainya muncul untuk ikut berlaga dalam kontestasi konstitusional dalam menentukan kekuatan baru pengganti rezim lama yang telah tumbang. Lahirlah Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan (sekarang menjadi PKS), Partai Bulan Bintang, dan beberapa partai gurem lainnya. Namun dalam perjalanannya, partai-partai yang lahir dengan logika kedua pun belum mampu menghadirkan konsolidasi ekspektasi publik ke dalam kebijakan-kebijakannya.  

Pelengseran Gus Dur sebagai presiden terpilih pascapemilihan 1999 menjadi titik balik bahwa ternyata tokoh-tokoh yang dinaikan ke puncak kekuasaan belum bisa bersepakat dalam berbagai persoalan kebangsaan. Maka lahir pula kemudian Partai Demokrat, Partai Gerindra, Hanura, lalu Nasdem.  

Rerata tokoh sentralnya adalah tokoh lama yang pernah eksis dan berperan besar di dalam salah satu partai lama.  

Dalam tahun-tahun selanjutnya, setelah proses demokratisasi semakin mendalam,  beberapa model kelahiran partai baru mulai muncul. Setelah Demokrat dan SBY berkuasa selama 10 tahun, lalu partai oposisi ketika itu, PDI dan koalisi, berhasil mengantarkan kadernya ke puncak kekuasaan, beberapa pembelahan kepentingan politik mulai menajam lagi.  

Konglomerat seperti Hari Tanoe merealisasikan ketidakpuasan politiknya dengan mendirikan partai baru, bernama Perindo. Beliau yang sempat lompat sana lompat sini, akhirnya memberanikan diri untuk membangun partai sendiri, didukung jejaring media yang cukup gigantis, untuk memperjuangkan kepentingannya.

Berdirinya Perindo sangat bisa dipahami oleh publik. Tokoh sentralnya terbilang sangat "kaya", masuk kategori elit ekonomi nasional,  punya kapasitas yang mumpuni untuk bergaul di kalangan elit lainnya,  baik elit politik maupun elit ekonomi lainya.  

Jika kemudian beliau berhasil mendirikan Perindo,  malah akan dianggap sangat sesuatu yang biasa oleh publik. Permakluman publik tersebut mirip dengan permakluman yang diberikan saat SBY, Prabowo, Surya Paloh, atau Hendropriyono mendirikan partai. Logika yang hampir mirip juga melatari kelahiran Partai Berkarya besutan Tommy Soeharto.  

Toh mereka memang punya ketokohan tersendiri, dianggap berkelimpahan secara finansial, pun mereka dianggap sudah ada dalam makom politik yang memungkinkan untuk itu. Maka saat pentolan MNC Grup tersebut ikut meramaikan pendirian partai baru, ataupun Tommy Soeharto, publik pun memaklumi dengan cara yang tidak berbeda.

Namun di sela-sela itu, ada partai yang benar-benar baru, lakon-lakonnya hampir mirip dengan lakon-lakon PRD dua dekade lalu. Diaku sebagai tokoh-tokoh muda, kekinian, dan mengaku mewakili kepentingan anak muda dengan cara dan gaya yang kekinian pula. Namun berbeda dengan PRD di mana tokoh-tokoh utamanya menemukan partai-partai lain yang dianggap cocok untuk mencantelkan visi misi mereka, ketidakberlanjutan eksistensi PRD dianggap sangat masuk akal.

Awalnya karena gagal memenuhi kualifikasi perundangan setelah kontestasi 1999, kemudian mulai meredup, dan satu per satu tokohnya menemukan biduk lain, yang dianggap layak.  

PSI menempuh cara yang agak anomali. Mengaku mewakili generasi baru, dengan segala diferensiasi kepentinganya, tapi justru mengklaim dengan sangat gamblang sebagai "sekrup" kekuasaan yang sedang berkuasa.

Pertanyaanya, mengapa harus mendirikan partai baru jika ternyata hanya menjadi "sendal kekinian" untuk kekuasaan yang ada. Menjadi "one of fans of existing power" mengandung arti bahwa PSI mendukung kekuasaan yang ada, sekaligus ingin mempertahankan kondisi yang sedang diciptakan oleh kekuasaan yang berkuasa.  

Namun harus diingat, kekuasaan yang ada sudah memiliki jejaring kuasa koalisi yang mendukungnya. Dengan mendirikan partai baru untuk mendukung, berarti dianggap tidak satupun partai pendukung kekuasaan yang berkuasa yang cocok dengan kepentingan PSI sehingga harus mendirikan partai baru,  tapi pada ujungnya tujuannya justru “memasang badan” untuk kekuasaan yang sama.  

Yang dilakukan PSI sejatinya hanya menambah kamar di rumah yang sama, untuk penghuni baru yang ingin diaku sebagai bagian dari keluarga besar koalisi pendukung kekuasaan.  

Dengan begitu, alasan kelahiran PRD terasa jauh lebih masuk akal secara politik ketimbang alasan dibalik pendirian PSI.  Dalam logika tersebut,  PSI ibarat "anak kos" yang berjuang habis-habisan untuk menjadi bagian dari keluarga pemilik "kos" dengan cara menyediakan kavling tanah di samping atau di salah satu sisi bangunan "kos" lama, lalu membangun kamar baru yang melekat ke bangunan lama.  

Sementara di sisi lain, PSI mengklaim memiliki "kebaruan" yang layak ditawarkan kepada kekuasaan yang sedang berkuasa.  

Bagaimana menjelaskan ini? Nampaknya sederhana, yakni "faktor" kemalasan politik. PSI ibarat anak yang pemalas untuk memperjuangkan sesuatu "kebaruan" yang mereka bawa, pun malas untuk memperjuangkan "kebaruan" tersebut di hadapan publik nasional, sehingga cara terbaik dan mudah adalah dengan menjadi "kaki tangan" kekuasaan yang ada. Namun susah untuk menjelaskan hal tersebut.

Bagaimana bisa diaku sebagai sebuah "kebaruan", jika ternyata dalam tataran praksis, PSI justru ingin digandeng oleh sesuatu yang lama,  yakni kekuasaan yang sedang berkuasa. Di sinilah logika di mana PRD jauh lebih layak mendapat kredit point ketimbang PSI.

Kemudian, apakah kebaruan tersebut berupa cara dan gaya? Cara yang lebih digitalized, milenial, atau gaul? Rasanya semua partai, termasuk penguasa yang berkuasa, juga sedang main di ranah yang sama. Sehingga tak bisa tidak, sebenarnya yang dibawa oleh PSI bukan kebaruan, tapi hanya "partai baru" yang ingin mendirikan kamar kekuasaan baru di dalam kekuasaan lama, sekalipun harus menyalak layaknya peliharaan penjaga pagar rumah majikan saat lawan-lawan penguasa lama mencoba mengusik ketenangan kekuasaan yang ada.  

Atau apakah PSI sebenarnya hanya wajah baru yang dipakai oleh wajah-wajah lama, untuk tetap bisa eksis di dalam permainan kekuasaan? Wallahualam, hanya PSI dan Tuhan yang mengetahuinya.

Dan nampaknya pemilih muda tak semudah itu digaet hanya dengan bergaya anak muda atau dengan berjuang habis-habisan untuk terlihat sebagai perwakilan anak muda, tanpa mampu memperlihatkan posisi politik “antikemapanan” ala anak muda kritis.rmol news logo article


Jannus TH Siahaan
Penulis adalah Pengamat Sosial Politik, Tinggal di Pinggiran Kota Bogor



Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA