Kabinet Burhanuddin Harahap yang menggantikan Kabinet Ali diakronimkan dengan cemooh, Kabinet Buste Houder, alias Kabinet BH.
Tapi legacy yang terkenang waktu Burhanuddin jadi Perdana Menteri ialah menghidupkan pemberantasan korupsi, dimana banyak tokoh PNI yang kena.
Syahdan Sukarno tidak menyukai Burhanuddin hingga bertikai dengan Bung Hatta. Masalah ini kemudian jadi salah satu sebab mundurnya Hatta dari jabatan wapres.
Legacy lain dari Burhanuddin ialah Pemilu ‘55 dan Konferensi Asia-Afrika di Bandung.
Di masa Kepala Pemerintahannya dua event politik tersebut berlangsung walaupun persiapannya sudah dilakukan sejak masa Ali Sastro.
Pemilu ‘55 berlangsung dalam keadaan keuangan negara morat-marit, pemberontakan-pemberontakan di sejumlah daerah masih berlangsung, mayoritas rakyat buta huruf, TNI/Polri boleh nyoblos, distribusi logistik terkendala, dan dari segi pelaksanaan memakan waktu yang rawan risiko yakni berlangsung dalam dua tahap. Pertama September ‘55 untuk memilih anggota DPR, dan Desember ‘55 untuk mencoblos anggota Konstituante.
Meski serba darurat, Pemilu ‘55 diakui sebagai pesta politik tersukses dan paling demokratis. Ini satu-satunya Pemilu di era Sukarno, yang setelah itu memberlakukan Demokrasi Terpimpin.
Dwitunggal jadi dwitanggal. Hatta yang tak tahan karena lebih banyak diminta mengurus koperasi, 1956, akhirnya mundur dari wapres. Hingga 1971 Indonesia baru kembali punya wapres dan bikin pemilu, di bawah pemerintahan Soeharto.
Partai-partai ideologis dalam Pemilu ‘55 jadi pendorong gairah rakyat untuk ikut pemilu. TPS jadi tempat penitipan harapan. Tokoh-tokoh pemimpinnya dambaan karena umumnya punya integritas dan keberpihakan kepada rakyat. Mereka umumnya adalah orang-orang yang ikut memerdekakan bangsa.
Bagaimana KPU-nya?
Waktu itu namanya PPI, Panitia Pemilihan Indonesia. Tentu ada gesekan. PNI versus Masyumi berebut kursi ketua dan anggota. Tapi kisah Pemilu ‘55 bukan kisah duit yang dicolong oleh para komisionernya yang lalu masuk bui, rekayasa kecurangan, manipulasi informasi, atau menjadikan lembaga pemilu sebagai bagian dari tim sukses kelompok tertentu. PPI waktu itu bagian dari pengemban amanat penderitaan rakyat (Ampera) yang menginginkan perubahan.
Kisah Pemilu ‘55 sekarang sekedar romantika sejarah, tentang kerja dengan hasil yang ideal. Tentang pesta politik yang di dalamnya terdapat integritas, komitmen, kesungguhan, dedikasi kerakyatan, dan keinginan untuk melayani rakyat.
Hal-hal ideal dalam waktu belakangan ini semakin susah kita dapatkan akibat silaunya pragmatisme.
Penulis adalah wartawan senior
BERITA TERKAIT: