Ahli yang pertama dihadirkan adalah Prof Said Karim, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanuddin Makassar. Prof Said menjelaskan soal alat bukti rekaÂman sadapan.
Dia menjelaskan, ketika aparat penegak hukum ingin melakukan penyadapan, harus diterbitkan surat perintah. Jika di tingkat penyelidikan, maka harus terbit surat perintah penyelidikan. Sementara di penyidikan, harus ada surat perintah penyidikan. Surat perintah itu harus dilampirkan dalam berkas perkara sebagai parameter hukum.
"Itulah yang mendasari. Memang harus dilakukan penerbitan(sprin) itu, karena itu yang menÂjadi dasar melakukan perekaman, penyadapan," bebernya saat diÂtanya penasihat hukum Lucas, Aldres Napitupulu.
Said kemudian menambahÂkan, surat perintah penyelidikan atau penyidikan sebuah perkara juga tidak boleh digunakan unÂtuk perkara lain. Berdasarkan putusan MK No. 20/PUU-XIV/20, yang seperti itu sifatnya harus spesifik.
"Tidak boleh dilakukan proses perekaman dan penyadapan, kemudian digunakan untuk perkara orang lain. Sesuai putusan MK itu, sifatnya khusus berkeÂnaan dengan perkara tertentu, tidak bisa dipertukarkan. Jika demikian yang terjadi, nilai pembuktiannya tidak bernilai hukum," tegasnya.
Said menegaskan, dari persÂpektif ilmu hukum acara pidana, suatu alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak benar, maka tidak memenuhi syarat hukum acara pidana. Menurut Aldres, rekaman sadapan yang diperoleh untuk menjerat Lucas diperoleh KPK dari proses penyidikan Eddy Sindoro.
Senada, ahli berikutnya paÂkar hukum pidana UII Muzakir menyebut, penyadapan harus didahului dengan penyelidikan. Ada penetapan adanya suatu tindak pidana dan ada orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.
"Jelasnya, tidak boleh tindaÂkan penyadapan mencari-cari kesalahan orang selama berbuÂlan-bulan. Perkaranya harus ada dulu, baru ada tindakan pengumÂpulan bukti dari penyadapan," tegas Muzakir.
Dalam perkara ini, menurutkuasa hukum Lucas, KPK mengÂgunakan sadapan proses penyidikan Eddy Sindoro pada 2016. Sementara sprinlidik terhadap perkara yang menimpa Lucas baru diterbitkan pada awal tahun 2018.
"Kalau itu yang terjadi, penyadapan itu bersifat melawan hukum atau menyalahgunakanweÂwenang. Kalau misal di sidang ini, pengadilan harus dibuktikan sadap sah atau tidak, sadap kaÂpan? Sudah ada sprindik belum? Kalau tidak, maka tidak bisa digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan pidana," tegas Muzakir.
Muzakir juga menegaskan pentingnya memastikan orisiÂnalitas alat bukti, terutama alat bukti digital yang rentan direÂkayasa. Sebab, keorisinalitasan alat bukti itu memiliki kekuatan pembuktian yang sah dan primer atau tidak. Kalau tidak ada jaminan, derajat pembuktian bisa jatuh.
"Itu bisa jadi alat bukti sekunder, tersier, atau bahkan tidak bisa digunakan di persidangan. Alat bukti primer yang memiÂliki kekuatan primer derajat orisinalitasnya harus tinggi," bebernya.
Keorisinalitasan alat bukti itu pula yang dijadikan dasar memÂbangun keyakinan hakim. Jika bukti diragukan karena orisinaliÂtas prosedur, hakim tidak bisa mendasarkan pada alat bukti itu. Sebab, alat bukti itu tidak memiÂliki kekuatan pembuktian.
"Kalau ragu-ragu ya putusanÂnya harus membebaskan terdakwa. Karena hakim bertangÂgung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa," tegas Muzakir.
Untuk diketahui, ahli digital forensik Indonesia, Ruby Zukri Alamsyah yang bersaksi pekan lalu menyebut, ada 4 proses yang diwajibkan dalam teknik digital forensik. Keempatnya adalah pengumpulan barang bukti (collÂlecting evidence), pemeriksaan barang bukti (examination eviÂdence), analisa barang bukti, dan membuat laporan atau report. Ini untuk memastikan keorisinaliÂtasan rekaman itu.
Ahli KPK yang dihadirkan sebelumnya, Dhany Arifianto mengaku tidak bisa memastikan orisinalitas rekaman tersebut. Sebab rekaman yang berada di sebuah DVD-R tertulis KPK itu, masih tersegel dari lembaga antirasuah saat diterimanya.
Lucas menyimpulkan keterangan ahli. Pertama, alat bukti dokumen elektronik itu kalau tidak diuji keasliannya secara digital forensik maka itu tidak sah untuk dijadikan alat bukti.
Selain itu Lucas juga menyoroti keterangan ahli yang meÂnyebut, bahwa Pasal 21 UU Tipikor yang menjeratnya adalah delik materil. Artinya, tindakan mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan harus dengan fisik, bukan sekaÂdar omongan.
"Yang mendengarkan (omongan) pun selama masih memiliki pilihan maka tidak berlaku lah pasal 21 itu," ujarnya usai sidang.
Selain itu, delik materil harus punya akibat hukum. Misalkan, jika terhalangi, maka proses penyidikan akan gagal. "Jadi bukan hanya rasa, rasanya dihalangi. Harus nyata, akibat dari perbuatan yang menghalangi," tegasnya.
Dalam persidangan, Prof Said memang menyebut, harus ada tindakan nyata dari orang tertenÂtu yang mengakibatkan aparat penegak hukum terhalangi atau dirintangi untuk menyelesaikan proses penyidikan perkara yang ditanganinya.
"Tidak bisa serta merta diterÂapkan pasal 21, misalkan ingin menangkap, kemudian ada yang halau, kan masih ada penyidik lain yang masih bisa beberapa ke depan. Nggak bisa lah yang halau serta merta dikenakan pasal 21. Terlalu berlebihan," tutur Prof Said. ***
BERITA TERKAIT: