Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Masih Bisakah Kiai Ma'ruf Dijadikan Teladan Dalam Berpolitik?

Jumat, 04 Januari 2019, 14:49 WIB
Masih Bisakah Kiai Ma'ruf Dijadikan Teladan Dalam Berpolitik?
KH. Ma'ruf Amin saat menghadiri dan bersaksi di sidang Ahok/Net
KEIKUTSERTAAN KH. Ma'ruf Amin dalam Pemilihan Presiden 2019 pada awalnya diharapkan bisa meneduhkan dinamika perpolitikan, yang sejak jauh hari memang sudah menunjukkan tensi tinggi. Kiai Ma'ruf diharapkan bisa menjadi contoh bagaimana berpolitik secara islami, pancasilais, yang intinya politik yang beretika dan berkeadaban.

Harapan itu dianggap tepat mengingat posisinya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Sehingga dia dinilai paling paham bagaimana menerapkan nilai-nilai Islam dan Pancasila dalam kehidupan termasuk dalam politik.

Misalnya materi kampanye yang benar dan disampaikan dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan. Kalau pun menyanggah lawan, juga dengan cara-cara yang baik dan elegan. Seperti digariskan dalam Alquran. Pancasila juga menjunjung tinggi nilai-nilai seperti itu.

Dengan demikian, tidak ada caci maki, sumpah serapah, fitnah, dusta, provokatif, dan kebohongan di ruang publik. Suara yang terdengar pun akhirnya hanya voice yang penuh makna, bukan sound apalagi noise yang berisik dan hanya mengundang keributan. Pilpres pada akhirnya benar-benar menjadi tempat adu gagasan, menawarkan yang terbaik kepada rakyat sebagai pemilih.

Namun sayang, Kiai Ma'ruf tampaknya masih jauh dari nilai-nilai ideal tersebut. Gaya komunikasinya malah ketus, nyinyir. Kiai Maruf juga tidak tampil sebagaimana kebanyakan ulama NU yang selalu guyon, humor, dan penuh canda, sesuatu yang diharapkan agar pelaksanaan Pilpres 2019 ini bisa berlangsung riang, gembira, dan penuh rasa persaudaraan.

Kiai Ma'ruf kerap pula asal klaim seperti politisi kebanyakan, tidak peduli benar atau tidak, demi menonjolkan dirinya dan pasangannya hanya untuk mendongkrak elektabilitas. Misalnya mengklaim sebagai penggerak aksi besar umat Islam 212 dan menyebut Jokowi yang membawa zikir ke Istana.

Untuk yang terakhir ini, tidak usah jauh-jauh menelisik ke belakang untuk menegasikan klaimnya. Cukup masa SBY saja. Karena ketika itu, Istana juga selalu menggelar acara zikir. Apalagi dia mempunyai Majelis Zikir SBY Nurussalam. Jangan-jangan Kiai Maruf punya andil dalam pelaksanaan zikir masa SBY. Mengingat Kiai Maruf merupakan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang keagamaan. Bahkan jabatan tersebut ia emban dalam dua periode Pemerintahan SBY.

Belum lagi isu-isu lainnya. Seperti mobil Esemka yang ia sebut akan diluncurkan pada bulan Oktober, yang nyatanya tidak ada. Dan yang membuat umat semakin mempertanyakan adalah sikapnya yang berubah terhadap fatwa atau kebijakannya sebelumnya selaku Ketua Umum MUI.

Kita sebut dua contoh saja. Pertama, soal ucapan Natal. Meski memang tidak ada fatwa MUI yang mengharamkan ucapan selamat Natal, tapi Kiai Ma'ruf secara pribadi mengimbau umat Islam untuk tidak mengucapkannya. Tapi sekarang, malah dia sendiri yang menabrak imbauannya tersebut.

Kedua, dan ini yang terbaru, adalah soal pengakuannya yang menyesal telah memiliki andil dalam menjebloskan Basuki T. Purnama ke penjara terkait kasus penistaan agama. Bahkan dia mengaku terpaksa untuk hadir sebagai saksi dalam persidangan. Itu artinya pula, Kiai Ma'ruf menyesal dan merasa terpaksa mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI terkait kasus Ahok.

Apa yang dilakukan Kiai Ma'ruf tersebut, termasuk soal Natal, sulit untuk tidak mengatakan, bahwa itu bermotif politik. Dia ingin merebut hati para Ahoker, yang sebelumnya memang menunjukkan resisten kepadanya. Apalagi sebelumnya disebutkan pada Januari ini Kiai Ma'ruf akan membuat kejutan. Kejutan ini sebagai jawaban atas penilaian bahwa Kiai Ma'ruf belum memberikan insentif elektoral kepada Jokowi. Bahkan keberadaan Kiai Ma'ruf justru menjadi beban, yang menggembosi elektabilitas sang petahana. Karena itu, boleh jadi pengakuan penyesalan tersebut sebagai kejutan pembuka di awal Januari.

Publik dan terutama umat Islam tentu sangat menyangkan sikap Kiai Ma'ruf tersebut. Karena bukan tidak mungkin pula, akan banyak fatwa atau kebijakan Kiai Ma'ruf sebelumnya yang dianulir atau dikoreksi demi mengejar kekuasaan. Salah satu Fatwa MUI yang akan jadi korban boleh jadi adalah fatwa haram atau tidak boleh memilih pemimpin yang ingkar janji.

Padahal Buya HAMKA sudah memberi contoh, bagaimana mempertahankan sebuah fatwa. Dia bahkan rela mundur sebagai Ketua MUI ketika diminta Pemerintah untuk mencabut sebuah fatwa. Karena ulama, kata Buya HAMKA, tidak dapat dibeli. Sebab sudah lama sudah lama terjual. Pembelinya adalah Allah, sebagaimana disebutkan dalam Alquran.

Tidak Mengejutkan

Berbagai kontroversi yang mengikuti perjalanan Kiai Ma'ruf sejak ditetapkan sebagai cawapres sebenarnya tidak mengejutkan. Manuvernya jelang detik-detik Jokowi mengumumkan siapa yang akan mendampinginya menjadi penunjuk yang jelas. Manuver Kiai Ma'ruf bahkan dengan terang benderang dibongkar oleh Mahfud MD, orang yang sedianya akan menjadi cawapres Jokowi. Salah satu manuvernya adalah lewat ancaman NU akan meninggalkan Jokowi kalau bukan kader NU yang jadi cawapres.

Belum lagi kalau membaca tulisan Buya Syafii Maarif Drama Mahfud MD dan Peta Politik Nasional di media nasional. Seiring menguatnya nama Mahfud MD, tulisnya ketika itu, beberapa anggota BPIP juga ikut bergerak dan mengutus seorang anggota untuk menemui tokoh berpengaruh di negeri ini agar mempertimbangkan nama Mahfud.

Namun pada akhirnya, Mahfud MD tersingkir secara tragis. Yang menggantikannya adalah sesama anggota BPIP seperti Mahfud MD dan Buya Syafii. Yaitu KH Maruf Amin.

Dari luar, publik hanya bergumam bahwa di kalangan para tokoh bangsa ternyata juga terjadi intrik, manuver, penelikungan, bahkan mungkin juga pengkhianatan.

Karena itulah tampaknya, harapan publik agar Kiai Ma'ruf bisa menjadi teladan mulai kandas. Karena ternyata Kiai Ma'ruf tidak ada bedanya dengan politikus kebanyakan. Bahkan, malah tidak sedikit yang menilai, Kiai Ma'ruf sejatinya adalah seorang politikus. Karena dia punya pengalaman panjang juga di partai politik sebelumnya bahkan sejak Orde Baru. Malah sempat juga berkonflik di sebuah partai, yang membuatnya keluar dan kemudian mendirikan partai baru.

Apalagi Kiai Ma'ruf Amin tidak memberikan contoh dengan mundur dari semua jabatan publik begitu ditetapkan sebagai cawapres. Karena dia masih menjadi Ketua Umum MUI, tetap menjadi anggota BPIP dan termasuk masih menjabat di OJK serta sejumlah Bank Syariah.

Malah Sandiaga Uno layak menjadi teladan. Meski bisa cuti, tapi dia memilih mundur sebagai Wagub DKI karena maju di Pilpres. Demikian juga Dahnil Anzar Simanjuntak. Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah itu menanggalkan status PNS begitu ditunjuk sebagai Koordinator Jubir Prabowo-Sandi. Gaya komunikasi keduanya, yang santun, tertata, fokus pada gagasan dan perang ide, pantas juga untuk dicontoh para politisi.

Tapi apapun itu, rakyat berharap, semua calon dan tim sukses untuk menampilkan gaya politik yang elegan. Terutama Kiai Ma'ruf agar marwah ulama tetap terjaga di mata umat dan rakyat pada umumnya. [***]

Zulhidayat Siregar
Alumni 212.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA