Tepa Selira

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/widian-vebriyanto-1'>WIDIAN VEBRIYANTO</a>
LAPORAN: WIDIAN VEBRIYANTO
  • Senin, 24 September 2018, 07:52 WIB
<i>Tepa Selira</i>
Jaya Suprana/Net
SAYA memohon sahabat saya, sang mahadesainer merangkap mahaguru kerendahan hati saya, Bambang Waluyo untuk menulis Kata Pengantar untuk buku Malumologi.

Ternyata beliau bermurah hati di samping Kata Pengantar masih membuat sebuah naskah untuk melengkapi buku Malumologi yang kini saya copas alias muat seutuhnya sebagai berikut.

Tepa Selira

Rasa malu bertindak sewenang-wenang diperlukan untuk memelihara sisi kemanusiaan kita yang welas asih terhadap sesama. Ini selaras etika Jawa tepa selira marang sapadha-padha. Tenggang rasa terhadap sesama.

Tepa artinya diterapkan. Selira artinya diri, baik diri saya maupun diri orang lain/liyan. Ini adalah kaidah universal, setara The Golden Rule yang tercantum pada ajaran etika moral berbagai suku bangsa.

Kalau saya tidak ingin disakiti liyan, maka seharusnya saya juga tidak menyakiti liyan. Atau dalam bentuk positif, kalau saya ingin disayangi liyan, maka semestinya saya juga menyayangi liyan. Kalau saya ingin dihormati liyan, maka semestinya saya juga menghormati liyan. Dan seterusnya.

Mundur


Di Jepang, tradisi mengundurkan diri dari jabatan publik karena merasa malu akibat tidak mampu memenuhi janji atau tidak mampu mengatasi masalah, sudah menjadi berita biasa.

Mungkin ini dampak kode etik bushido bagi para samurai yang meluas di masyarakat. Salah satu nilai dalam bushido adalah meiyo, yakni nilai dalam menjaga nama baik atau menjaga harga diri dengan memiliki perilaku terhormat.

Pada 2010 misalnya, Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama mengundurkan diri lantaran malu gagal memenuhi janjinya saat kampanye pemilu untuk memindahkan sebuah pangkalan militer Amerika Serikat keluar dari wilayah Okinawa.

Namun ksatria Inggris pun tidak mau kalah dari samurai Jepang. Michael Bates, Menteri Muda Departemen Pembangunan Internasional Inggris, yang juga anggota House of Lords mengajukan pengunduran diri kepada Perdana Menteri Theresa May, karena tidak mampu menanggung malu akibat terlambat hanya sekira satu menit saja ketika menghadiri sebuah sesi debat parlemen, pada Januari 2018.

Padahal, di negeri kita, jangankan hanya satu menit, telat tiga puluh menit pun masih bisa dimaklumi, dengan alasan jalan macet, ban bocor, banjir, dan 1001 alasanologi.

Indonesia

Tapi supaya tidak malu, kita juga punya ksatria semacam itu kok. Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub, Djoko Sasono merasa malu karena gagal mengantisipasi dan mengatasi kemacetan panjang pada arus mudik libur Natal 2015 sehingga dia memutuskan mundur dari jabatannya.

"Sebagai bentuk tanggungjawab, dengan ini saya menyatakan berhenti sebagai Dirjen Perhubungan Darat," tutur Djoko.

Pengunduran diri juga ditempuh oleh Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito akibat malu merasa tidak berhasil mencapai target pajak yang telah ditetapkan pada tahun 2015.

Terima kasih, Mas Bambang Waluyo atas pencerahan tepa salira nan indah permai bijak melengkapi pembelajaran Malumologi. [***]

Penulis adalah pendiri Pusat Studi Malumologi 

< SEBELUMNYA

Hikmah Heboh Fufufafa

BERIKUTNYA >

Dirgahayu Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA