Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

TB Hasanuddin: Setelah Di Banggar Bukan Kewenangan Komisi I

Jumat, 06 Juli 2018, 11:09 WIB
TB Hasanuddin: Setelah Di Banggar Bukan Kewenangan Komisi I
TB Hasanuddin/Net
rmol news logo Anggota DPR TB Hasanuddin diperiksa KPK. Bekas Wakil Ketua Komisi I itu dikorek soal pengajuan dan pembahasan anggaran proyek Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada APBN Perubahan 2016.

"Pemeriksaan saksi (TB Hasanuddin) untuk perkara tersangka FA (Fayakhun Andriadi)," kata juru bicara KPK Febri Diansyah.

Fayakhun adalah bekas ang­gota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar yang ditetapkan sebagai tersangka suap pemba­hasan anggaran proyek satellite monitoring Bakamla.

Hasanuddin tak berlama-lama di KPK. Sekretaris Militer di era Presiden Megawati Soekarnoputri itu hanya sekitar tiga jam menjalani pemeriksaan. "Semua sudah saya sampaikan pada penyidik," ujarnya, saat keluar dari gedung KPK.

Ia mengaku penyidik menan­yakan soal pembahasan ang­garan Bakamla sampai usulan proyek. "Saya selaku pimpinan Komisi I DPR (saat itu) telah menjelaskan dengan segamb­lang-gamblangnya sesuai prose­dur, tahapan-tahapan dan lain sebagainya," ujar Hasanuddin.

Ia berterus terang Komisi I pernah dua kali membahas anggaran proyek Bakamla. Setelah disetujui di komisi, diserahkan kepada Badan Anggaran (Banggar) DPR untuk dibahas lagi.

Hasanuddin yang baru saja mengikuti kontestasi pemilihan gubernur-wakil gubernur Jawa Barat itu, tak tahu proses pembahasan di Banggar. "Setelah di Banggar bukan kewenangan Komisi I, sehingga kami tidak bisa menjelaskan apa yang di­lakukan,"  katanya.

Banggar yang memutuskan untuk menaikkan atau bahkan memotong anggaran Bakamla. "Mengapa anggaran itu bisa naik, bisa turun (keputusan) di Banggar," sebut Hasanuddin.

Sebelumnya, Febri mengung­kapkan akan memanggil sejum­lah anggota Komisi I DPR yang diduga mengetahui pembahasan anggaran Bakamla.

"Bagaimana prosesnya, usu­lannya, serta pengambilan kepu­tusannya," ujarnya.

Penyidik, menurut Febri, su­dah mengantongi data nama-na­ma anggota Dewan yang terlibat proses pembahasan anggaran proyek satellite monitoring (satmon). "Kita akan memintai kesaksian mereka," ucapnya.

Febri tak bersedia mengungkapanggota Komisi I yang bakal di­periksa. "Nanti akan diumumkan siapa-siapa saja yang dipanggil," elaknya.

Sebelum memeriksa anggota Dewan, penyidik lebih dulu memanggil Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal DPR A. Djuned. Djuned dimintai keterangan seputar kewenangan Komisi I. "Tugas-tugas dan tanggung jawab ditanyakan penyidik,"  kata Febri.

Selain itu, Juned ditanya men­genai pembahasan anggaran Bakamla pada APBN Perubahan 2016. Djuned telah menyerah­kan risalah hasil rapat tanggal 9 Juni 2016 dan 27 Juni 2016 kepada penyidik.

Data yang diserahkan meliputi siapa saja yang mengikuti rapat, apa usulan-usulan yang dibahas dalam rapat, serta bagaimana kesimpulan rapat.

Dalam rapat itu, Komisi I setuju meloloskan proyek sat­mon Bakamla yang beranggaran Rp 400 miliar masuk APBN Perubahan 2016. Belakangan anggaran proyek itu dipangkas menjadi Rp 200 miliar karena pemerintah melakukan penghe­matan. "Saya hanya menyerah­kan risalah rapatnya saja,"  kata Juned usai menjalani pemerik­saan di KPK.

Dugaan keterlibatan anggota DPR untuk meloloskan angga­ran proyek satmon disampaikan Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia (MTI), Fahmi Darmawansyah. PT MTI adalah pemenang tender proyek satmon.

Ketika bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Fahmi Darmawansyah mengaku pernah menyerahkan uang ke Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi sebesar Rp 24 miliar. Menurut Ali Fahmi, uang itu untuk mengurus ang­garan di DPR.

Ketika ditanya mengenai apakah ada aliran dana ke DPR, Fahmi Darmawansyah tak me­nampiknya. "Sepertinya ada, atas instruksi Fahmi Ali," ung­kap Fahmi.

KPK pun memanggil anggota Komisi I Fayakhun Andriadi. Belakangan, Fayakhun ditetap­kan sebagai tersangka kasus suap pembahasan anggaran proyek Bakamla. Ia diduga menerima 'fee' 1 persen atas perannya menggolkan anggaran Bakamla. Jumlahnya sekitar Rp 12,2 miliar.

Kilas Balik
Mangkir, Stafsus Kepala Bakamla Diburu KPK

Dua saksi kunci kasus korupsi selalu mangkir memenuhi panggi­lan KPK. Mereka pun dicari keberadaannya untuk bisa diperiksa.

Kedua saksi itu adalah Lila Widya dan Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi. Lila adalah saksi kunci untuk kasus suap Walikota Batu, Jawa Timur, Eddy Rumpoko. Sedangkan, Ali Fahmi saksi kunci di kasus suap pengadaan satellite monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Lila adalah Sekretaris Pribadi Eddy Rumpoko. Sementara Ali Fahmi Staf Khusus Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Soedewo. Sedianya, ked­uanya dijadwal menjalani pe­meriksaan kemarin. Namun tak hadir tanpa alasan.

"Penyidik telah berkoordinasi untuk menghadirkan yang ber­sangkutan tapi hingga kini yang bersangkutan belum diketahui keberadaannya. Penyidik ber­harap yang bersangkutan koop­eratif dan hadir memenuhi pang­gilan penyidik," ujar Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah.

Lila yang juga terdaftar seba­gai tenaga honorer Pemerintah Kota Batu itu telah dipanggil dua kali untuk menjalani pe­meriksaan. Yakni pada 25 dan 30 September 2017. Begitu pula dengan Ali Fahmi.

Febri menegaskan, penyidik bisa melakukan pemanggilan paksa terhadap saksi yang se­lalu mangkir diperiksa. "Karena yang bersangkutan telah dua kali dipanggil dan tidak hadir tanpa memberikan keterangan, sesuai Undang Undang penyidik dapat melakukan pemanggilan dengan perintah pada petugas untuk menghadirkan yang bersangku­tan," tandasnya.

Dalam kasus suap Eddy Rumpoko, penyidik telah me­meriksa 20 saksi. Termasuk saksi Junaedi, anggota TNI AD yang menjadi sopir pribadi Eddy. "Penyidik mendalami pengeta­huan yang bersangkutan terkait mobil Alphard yang diduga mi­lik tersangka," kata Febri.

Eddy ditangkap KPK setelah menerima uang Rp 200 juta dari pengusaha Filipus Tjap. Pemberian uang terkait proyek pengadaan mebelair senilai Rp 5,26 miliar. Diduga, sebelum­nya Eddy telah menerima uang dari Filipus Rp 300 juta untuk pembayaran pembelian mobil Alphard hitam.

Sementara dalam kasus suap pengadaan satmon, Ali Fahmi dipanggil untuk menjadi saksi tersangka Nofel Hasan, Kepala Biro Perencanaan Bakamla.

Ali Fahmi adalah orang yang mengajak Fahmi Darmawansyah, pemilik PT Melati Technofo Indonesia untuk ikut garap proyek satmon di Bakamla. Ali meminta Fahmi bersedia memberikan fee 15 persen untuk mendapatkan proyek.

Ali lalu memberitahu Fahmi ada rencana proyek pengadaan satmon. Nilainya Rp 400 miliar. Ali meminta uang muka 6 persen dari nilai proyek atau Rp 24 miliar untuk mengurus anggaran di DPR. Fahmi lalu menyuruh dua anak buahnya, Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus untuk menyerahkan uang Rp 24 miliar kepada Ali.

DPR akhirnya menyetujui anggaran Rp 400 miliar un­tuk pengadaan satmon dalam APBN Perubahan. Belakangan, Kementerian Keuangan memo­tong anggaran itu hampir separ­uhnya, jadi Rp 222 miliar

Sebagaimana janji Ali, perusa­haan Fahmi PT Melati Technofo Indonesia ditetapkan sebagai pemenang proyek. Ali lalu me­minta Fahmi menyerahkan 2 persen dari nilai proyek untuk Bakamla lewat dirinya. Namun Fahmi tak memberikan karena perusahaannya belum dibayar.

Kepala Bakamla Arie Soedewo lalu menyuruh Eko Susilo Hadi, Deputi Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla menagih uang 2 persen itu kepada Adami. Menurut Eko, Arie Soedewo pula yang mengatur pembagian jatah 2 persen itu. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA