Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan informasi mengenai dugaan aliran dana itu masih didalami. "Pasti akan dilakukan pemeriksaan kembali terhadap saksi-saksi tersebut," ujarnya.
Nama Olly Dondokambey sempat disebut menerima duit dari proyek e-KTP. Hal itu tercantum dalam dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto, dua bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri.
Untuk menindaklanjuti inforÂmasi, KPK pun melakukan peÂmeriksaan lanjutan terhadap 12 saksi. Salah satunya adalah Olly Dondokambey. "Intinya, kita masih tindaklanjuti pemeriksaan terhadap saksi," kata Febri.
Sebelumnya bekas Ketua DPR, Setya Novanto mengakui sejumÂlah anggota Dewan kecipratan duit proyek e-KTP. Ia mengaku mendapat laporan anggota DPR yang menerima duit itu.
Hal ini diungkapkan Setya Novanto dalam sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (22/3/2018). "Yang menyerahkan kepada anggota Dewan katanya si Irvan, dia kan kurir. Irvan bilang ada yang diserahkan di rumah dan di kantor," ucap Setya Novanto.
Setya Novanto mengungkapÂkan sempat dikonfrontir dengan dengan keponakannya Irvanto Hendra Pambudi soal penyeraÂhan uang untuk anggota DPRD. Irvanto mengakui menjadi kurir Andi Narogong untuk untuk mengantar uang kepada angÂgota DPR.
Masing-masing orang yang diberikan uang oleh Irvanto yakni Olly Dondokambey, Tamsil Linrung, Mirwan Amir dan Melchias Markus Mekeng. Kemudian, Arif Wibowo, Ganjar Pranowo dan M Jafar Hafsah.
Masih menurut keterangan Irvanto, lanjut Setya Novanto, masing-masing anggota DPR mendapat uang 500 ribu dolar Amerika. Sehingga total seluruhnya sebesar 3,5 juta dolar AS.
Terakhir, Setya Novanto juga sempat menanyakan apakah uang-uang yang diberikan keÂpada anggota DPR adalah uang yang berasal dari money changÂer. Menurut Novanto, Irvano juga membenarkan.
Olly telah beberapa kali diperiksa terkait dugaan peneriÂmaan uang itu. Ia diperiksa unÂtuk perkara Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo.
Juga diperiksa untuk tersangÂka Irvanto, keponakan Setyo Novanto yang menjadi Direktur PT Murakabi Sejahtera, salah satu perusahaan yang tergabung dalam konsorsium penggarap proyek e-KTP.
Olly membantah terjadi mark up atau penggelembungan anggaran dalam proyek e-KTP. Bantahan itu disampaikan usai menjalani pemeriksaan di KPKpada 9 Januari 2018. "Mana ada orang mark up anggaran di DPR. DPR itu cuma setujui undang-undang saja kok," ujar Olly.
Menurut Olly, tidak ada masalah dalam pembahasan anggaran di DPR. Sebab, proyek dan anggaran e-KTP sudah ditetapkan oleh peÂmerintah. Olly kembali menjalani pemeriksaan terkait kasus e-KTP pada 6 Juni 2018 lalu.
KPK meyakini kebenaran adanya aliran dana korupsi e-KTP kepada sejumlah anggota DPR. Beberapa di antaranÂya adalah Marzuki Alie, Olly Dondokambey dan anggota Banggar DPR lainnya.
Hal itu disampaikan jaksa KPK saat membacakan surat tuntutan terhadap dua terdakwa bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, di Pengadilan Tipikor Jakarta
Menurut jaksa, adanya aliran uang untuk anggota Banggar DPR telah sesuai dengan ketÂerangan para saksi dan diduÂkung bukti petunjuk. Misalnya, keterangan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin yang menyebut bahwa Marzuki Alie dan sejumlah anggota Banggar menerima uang.
Salah satu terdakwa yang teÂlah divonis bersalah, yakni Andi Agustinus alias Andi Narogong mengakui bahwa benar telah terÂjadi penggelembungan harga daÂlam proyek pengadaan e-KTP.
Menurut Andi, mark up tersebut merupakan kerugian negara dari anggaran total senilai Rp5,9 triliÂun. Menurut Andi, barang-barang dalam proyek pengadaan e-KTP dibuat lebih mahal 10 persen.
Konsorsium akan mendapat keuntungan jika barang yang diÂbeli berasal langsung dari pabrik. Andi mengatakan, berdasarÂkan perhitungan, Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) akan mendaÂpat selisih 20 persen dari modal. Adapun 10 persen sebagai keÂuntungan konsorsium, dan 10 persen sisanya untuk membayar fee bagi DPR dan Kementerian Dalam Negeri.
Kilas Balik
Dibeberin Jaksa, Olly Disebut Terima 1,2 Juta Dolar Amerika Bekas Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dituntut 7 taÂhun penjara karena dianggap terÂbukti melakukan korupsi proyek e-KTP. Sementara Sugiharto, beÂkas Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan dituntut 5 tahun penjara.
Dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta kemarin, Jaksa KPK juga meminta hakim menjatuhkan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan kepada Irman, serta membayar uang pengÂganti 253.700 dolar Singapura, 6 ribu dolar Singapura dan Rp 2.298.750.000.
"Pembayaran uang pengganti dilakukan selambatnya satu bulan setelah putusan hukum tetap. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak mengganti, maka harta benda disita oleh jaksa. Jika tidak punya harta benda yang mencukupi, maka dipidana penjara selama dua tahun," kata Jaksa Irene membacakan tuntutan pidana tambahan uang pidana terhadap Irman.
Adapun terhadap Sugiharto, jaksa meminta dikenakan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan dan membayar uang pengganti Rp 500 juta subsider 1 tahun kurungan.
Dalam pertimbangan tunÂtutannya, jaksa berpendapat perbuatan Irman dan Sugiharto dianggap berdampak masif pada proses pengelolaan data kepenÂdudukan nasional. Bahkan, akibat terjadi korupsi, banyak masyarakat yang belum memiÂliki e-KTP.
Jaksa menyebut keduanya memiliki otoritas untuk menceÂgah untuk mencegah terjadinya kerugian negara dalam proyek e-KTP. Namun hal itu dilakukan. "Terdakwa justru menjadi bagian dari kejahatan yang menimÂbulkan kerugian negara dalam jumlah besar," tutur Irene.
Irman dan Sugiharto juga disÂebutkan menerima keuntungan dari proyek e-KTP. Irman menÂerima 573.700 dolar Amerika, Rp 2.298.750 dan 6 ribu dolar Singapura. Sedangkan Sugiharto 450 ribu dolar Amerika dan Rp 460 juta.
Meski begitu, jaksa mengangÂgap keduanya layak menjadi jusÂtice collaborator lantaran memÂbantu KPK dalam mengungkap keterlibatan pihak lain dalam kasus ini. Dalam surat tuntutanÂnya, jaksa KPK membeberkan aliran duit proyek e-KTP kepada sejumlah pihak. Sebagian besar untuk anggota DPR periode 2009-2014.
Sedangkan anggota Banggar DPR yang disebut menerima duit yakni Melcias Markus Mekeng 1,4 juta dolar Amerika, Olly Dondokambey 1,2 juta dolar Amerika, Tamsil Linrung 700 ribu dolar Amerika dan Mirwan Amir 1,2 juta dolar Amerika.
Seluruh anggota Komisi II disebutkan menerima duit dari Arief Wibowo pada 23 Oktober 2010. Yakni 30 ribu dolar Amerika untuk Ketua Komisi II, Wakil Ketua Komisi II 20 ribu dolar Amerika, Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) 15 ribu dolar Amerika, anggota Komisi II masing-masing 5.000 sampai 10 ribu dolar Amerika.
Duit untuk anggota Dewan itu disediakan Andi Narogong. Termasuk untuk pemberian masÂing-masing Rp 20 miliar kepada Chairuman Harahap dan Marzuki Alie, Ketua DPR saat itu. ***
BERITA TERKAIT: