Film Beirut berkisah tentang seorang diplomat Amerika Serikat yang kehilangan isteri serta rumah di Beirut pada tahun 1972 kemudian kembali ke Amerika Serikat sebagai ahli negosiasi sebelum sepuluh tahun kemudian dipanggil kembali ke Beirut untuk menyelamatkan temannya yang diculik kaum teroris.
Pada hakikatnya, film ini berkisah tentang suasana rumit dengan konstelasi rumit antar manusia-manusia yang rumit.
Psikopolitis
Film yang cemerlang dibintangi Jon Hamm didampingi Rosamund Pike dan Mark Pellegrino itu sebenarnya tidak terlalu istimewa sebagai karya seni sinematografi.
Namun secara psikologis, film Beirut potensial mengingatkan kita pada perihal yang sudah hilang dalam ingatan kita. Secara psikopolitis, film Beirut menggugah ingatan kita ke sejarah konflik berkelanjutan di Timur Tengah yang sampai masa kini masih lanjut berlumuran darah bukan hanya para serdadu namun juga anak-anak yang sama sekali tidak tahu menahu tentang alasan perang harus berkecamuk.
Bahkan banyak anak-anak yang dilahirkan pada masa perang sehingga sampai masa kini mereka tidak tahu, sebab tidak pernah merasakan betapa indah suasana kehidupan damai tanpa perang.
Keluarga terpecah belah, jumlah janda dan duda terus meningkat, anak-anak diyatim-piatukan, rumah dibom, pemukiman digusur, sekolah dan rumah sakit dibakar, bumi dihanguskan.
Angkara MurkaMeski film Beirut bukan digarap di Beirut tetapi di Maroko, namun film tersebut berupaya menyadarkan kita semua tentang bagaimana tragis nasib kota Beirut yang sedemikian indah sampai diberi julukan “Paris Timur Tengah†pada dasawarsa delapan abad XX dihancur-leburkan menjadi reruntuhan puing oleh peperangan yang berawal pada angkara murka Israel menjajah bumi Palestina.
Lelakon film Beirut memang fiktif namun menyadarkan kita semua pada kenyataan bahwa apa yang terjadi di Lebanon kini juga menular terjadi di Yaman, Suriah, Lybia, Irak yang masih dirundung kemelut angkara murka manusia bengis membantai sesama manusia demi memperebutkan kekuasaan atas tanah pemukiman serta sumber enerji fosil.
[***]Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan