Posisi ini jelas berbeda denÂgan tingkat elektabilitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jelang periode kedua kekuasaanÂnya pada Pilpres 2009. Saat itu tingkat elektabilitas SBY menuÂrut sigi beberapa lembaga survei lebih dari 50 persen. Dengan modal itu SBY bisa bebas meÂnentukan pilihan cawapres, hingga akhirnya muncul sosok Boediono yang sebenarnya saat itu jauh dari radar bakal cawapres SBY.
Kembali ke Jokowi. Dengan bermodal elektabilitas rata-rata yang masih kurang dari 50 persÂen praktis Jokowi mesti hati-hati menentukan bakal cawapresnya. Kalangan analis survei, menilai figur yang tepat mendampingi Jokowi adalah yang sanggup menggandeng kekuatan Islam.
Nama Kiai Said sempat munÂcul kembali pasca adanya desaÂkan dari Pemuda
Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Aswaja) yang menÂdorong Kiai Said sebagai bakal cawapres Jokowi. Benarkah Kiai Said berniat maju sebagai bakal cawapres pendamping Jokowi? Dan apakah dia siap berkompetiÂsi dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar yang sudah jauh-jauh hari mendeklarasikan diri siap menjadi cawapres. Berikut pernyataan Kiai Said terkait hal tersebut, plus pernyataan lain Kiai Said terkait isu nasional terkini.
Beberapa waktu lalu Pemuda Aswaja memberikan duÂkungan pada Anda untuk maju sebagai bakal cawapres Jokowi. Bagaimana Anda meÂnanggapi dukungan itu?Ahamdulillah. Apa ada potonÂgan (saya) jadi wapres? Tidak ada. Saya itu ahlinya mengaji, bicara budaya, agama itu saya bisa. Kalau politik saya kalah dengan orang-orang yang bertahun-tahun di politik. Kalau mengaji saya menang.
Pada Pilpres 2019 nanti diprediksi pilihan umat Islam akan terbelah lagi, dan geseÂkan akan semakin keras nanti. Bagaimana pandangan Anda terkait hal tersebut?Jadi memasuki tahun politik mari kita songsong dengan tenÂang, santai, pesta demokrasi kita jalani dengan gembira, benar- benar pesta, tidak ada sedikit pun ketegangan, hanya karena lima menit kita coblos, masa kita akan menghancurkan persaudaran yang sudah 70 tahun ini. Maka akan balik ke jahiliyah lagi kita.
Walaupun kita berbeda piÂlihan, berbeda ormas tetapi Insya Allah dan pasti tidak akan seperti Suriah, Iran dan lainnya. Apalagi orang Indonesia itu sopan, santun.
Baru-baru ini Anda berÂtemu dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Apakah materi pembicaraan Anda termasuk di dalamnya membahas soal Pilkada 2018 dan Pilpres 2019? Jadi kita melakukan pertemuan dengan saudara tua kita, lebih senior dari Nahdatul Ulama, Muhammadiyah. Jadi Muhammadiyah adalah kakak sulung NU. Jadi pertemuan ini adalah silaturahim, tatap muka dan menyambung persaudaraan kalau bahasa yang mentereng itu adalah rekonsiliasi. Namun kan silaturahim yang kita lakukan ini kalau tidak ditindaklanjuti denÂgan mempersatukan persepsi, mempersatukan orientasi cara berpikir, kan jadi kurang.
Silaturahim ini harus ditinÂdaklanjuti menjadi silatuikhtiÂyar, harus ada hubungan kerja sama. Percuma silaturahim, percuma orientasinya sudah disamakan, kalau actionnya tidak sama. Maka marilah dua organisasi ini membangun jarÂingan, silatul amal. Terakhir puncaknya adalah silatul ruh, yaitu adanya silaturahim spiriÂtual, itu yang paling penting. NU dan Muhammadiyah dari dulu sama-sama pendiri NKRI ini, bukan hanya penonton, namun pendiri. Kalau misalnya tidak ada NU dan Muhammadiyah belum tentu Indonesia ada.
Di tahun politik ini apa saja yang akan dilakukan PBNU?Di tahun politik ini sudah seharusnya kita bergandengan tangan, jangan kan kita sendiri-sendiri, bergandengan tangan pun menghadapi tahun politik yang sudah mulia menghangat ini sudah mulai kesulitan unÂtuk menciptakan suasana yang dingin. Tapi saya dengan Pak Haedar Nasir sepakat untuk menciptakan ketenangan, keÂdamaian. NU-Muhammadiyah berkomitmen untuk membangun sebuah ketenangan.
Tunjukkan Indonesia bangÂsa yang bermartabat, bukan bangsa jahiliyah yang biadab, bukan bangsa yang berlatar belakang main hakim sendiri, tidak mengerti aturan. Kita harus menunjukkan bahwa kita umat yang mutamadin, yaitu umat yang berperadaban, berbudaya sesuai dengan Islam itu sendiri. Jadi masyarakat internasional sedang melihat Indonesia betul-betul.
Maksudnya masyarakat internasional sedang melihat Indonesia itu seperti apa?Saya pernah ceramah di depan raja Maroko, di depan menteri dan ulama-ulama. Di sana saya menjualnya Islam Nusantara, Islam yang punya tipologi nuÂsantara, yaitu damai, santun. Kemudian saya juga pernah ceramah di Al-Azhar, memang yang saya ceramahin itu mahaÂsiswa S1, tetapi syekh Al-Azhar datang semua, temanya pun sama yaitu Islam Al-Azhar. Bahkan di Singapura juga perÂnah, dan ada yang bertanya apa itu Islam Nusantara. Islam Nusantara itu bukan mahzab, bukan aliran, bukan agama baru. Jadi Habib Rizieq itu salah, dikira saya mau bikin mahzab baru, bukan. Namun tipologi, ciri khas Islam yang damai. Damai kepada budaya, damai kepada tradisi yang ada. Saya dengan Muhammadiyah sepakat dengan hal-hal yang universal yaitu mari kita selamatkan keutuhan NKRI. Keutuhan NKRI bukan soal geogradi, wilayah saja, melainkÂan keutuhan budaya, kita harus bangga dengan budaya kita.
Kenapa seperti itu?Ya karena budaya kita jauh lebih mulia dan lebih bermarÂtabat dari mana saja. Banyak hal-hal yang dimiliki budaya Indonesia tetapi tidak dimiliki budaya lain. Seperti hormat keÂpada orang yang lebih tua dan lainnya. Belum lagi hormat kepada guru dan pada senior. Jadi tradisi Indonesia itu harus kita pertahankan.
Oh ya bagaimana pandanÂgan Anda terkait prediksi yang dikatakan Prabowo Subianto bahwa Indonesia terancam bubar pada tahun 2030?Kita yakin Insyaallah tidak akan bubar. Dengan syarat bangÂsa yang beriman, bermoral, berbudaya. ***
BERITA TERKAIT: