Bisa jadi penerbitan sprindik bagi calon kepala daerah yang baru-baru ini dilakukan KPK baÂru sebuah langkah awal. Sebab sebelumnya, Agus Rahardjo pernah mengatakan bahwa 90 persen calon kepala daerah petahana di Pilkada 2018 diduga kuat terkait dengan praktik koÂrupsi.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto pernah mengimbau KPK agar menunda terlebih dulu penetaÂpan tersangka bagi calon kepala daerah. Namun imbauan ini justru dijawab dengan penerbiÂtan sprindik bagi calon kepala daerah. Lantas bagaimana panÂdangan penyelenggara pilkada dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait langkah KPK tersebut? Berikut penuturÂan Ketua KPU Arief Budiman.
Apa tanggapan KPU atas keputusan KPK tersebut?Sampai hari ini kami masih percaya betul penetapan sesÂeorang menjadi tersangka itu memang betul-betul dilakukan dengan argumenntasi, dasar, fakta hukum, bukan dengan faktor yang lain. KPU meyakini betul apa yang dilakukan KPK itu adalah problem hukum, bukan problem politik. Maka kami meyakininya, jadi silakan dijalankan terus.
Lalu apakah KPU akan menÂgubah peraturan dengan memÂbolehkan pergantian calon guna mengantisipasi adanya calon yang dijadikan tersangka?Menurut saya regulasi yang ada saat ini sudah cukup, dan menurut saya calon kepala daerah yang jadi tersangka juga tidak perlu diganti. Karena kalau boleh diganti itu tidak memberi pelajaran luar biasa bagi semua stakeholder, penyeÂlenggara pemilu, peserta pemilu termasuk pemilih.
Maksudnya tidak memberiÂkan pelajaran bagaimana?Maksudnya, kalau tidak boleh diganti parpol akan lebih berhaÂti-hati ke depan ketika memiÂlih calon yang akan diusung. Sebelum mengusung dia akan berpikir, 'waduh kalau ini kena bagaimana ini kan enggak boleh diganti. Tapi kalau calon yang jadi tersangka bisa diganti, maka parpol tidak akan memperbaiki proses perekrutan calon kepala daerah. Karena dia akan berpikir 'kan nanti kalau OTT bisa diÂganti'. Jadi kami berpikir jangka panjang, supaya semua dapat pembelajaran atas proses dan kejadian itu.
Kalau pelajaran untuk pemilih apa?Kalau buat masyarakat ya dia juga harus berhati-hati dalam memilih calon yang didukung. Kalau kamu memilih tersangka, tentu hanya soal waktu nanti akan diinkrahkan. Lalu kalau dia dinyatakan bersalah, maka apa yang akan anda pilih, sebetÂulnya tidak bisa melaksanakan harapan-harapan anda, tugas-tugas yang anda bebankan nanti. Ini pelajaran bagi pemilih.
Berdasarkan PKPU, perÂgantian calon bisa dilakukan jika tidak memenuhi syarat kesehatan, berhalangan tetap, atau dijatuhi sanksi pidana dan inkrah. Kalau jadi terÂsangka karena kena OTT bisa diartikan sebagai berhalangan tetap enggak?Tidak. Yang dimaksud berÂhalangan tetap itu adalah menÂinggal dunia atau tidak dapat menjalankan tugasnya secara permanen yang dibuktikan denÂgan surat keterangan dokter. Kondisinya sangat berbeda denÂgan kasus penetapan tersangka karena OTT atau pengembangan kasus dugaan korupsi.
Lalu sesuai Undang-Undang Pilkada, partai politik tidak diperbolehkan mengganti calon mereka jika kondisinya baru ditetapkan sebagai tersangka. Kecuali karena hal itu seperti yang dijelaskan dalam PKPU. Sebab, status tersangka itu selalu ada prinsip asas praduga tak bersalah.
Tapi kalau melalui OTT kan tersangkanya langsung ditahan, sehingga otomatis calon itu berhalangan sampai kasusnya inkrah?Selama ini memang tak perÂnah ada yang bebas dari KPK, tapi bukan berarti tidak mungÂkin. Misalnya sebagai tersangka mengajukan praperadilan. Lalu menang. Kan semua kemungkiÂnan bisa terjadi.
Dalam prinsip hukum itu tersangka mempunyai dua keÂmungkinan, dia bisa divonis bersalah dan bisa juga divonis bebas. Makanya KPU hanya memberi dua penjelasan tentang berhalangan tetap itu meningÂgal dunia atau secara permanen tidak dapat menjalankan tugas, tapi tetap harus didukung keterangan dari rumah sakit.
Meski demikian, usulan menÂgubah PKPU guna mengganti calon kepala daerah memang memungkinkan jika melihat tahapan pilkada yang masih berjalan. Sekarang ini waktuÂnya masih cukup panjang untuk menuju hari pemungutan suara. Saya pikir logis usulan itu diaÂjukan untuk digantikan. Hanya saja, kami khawatir jika usulan itu diakomodasi, justru akan merugikan calon pengganti dan masyarakat sebagai pemilih itu sendiri.
Kenapa begitu?Karena yang lain sudah kamÂpanye, sosialiasi diri selama kurang lebih tujuh hingga deÂlapan bulan. Sementara publik hanya tahu tidak lebih dari 30 hari calon pengganti itu. Tentu publik tak mendapatkan inforÂmasi yang cukup.
Tetap saja banyak yang tidak setuju kalau calon yang sudah jadi tersangka masih dibolehkan bersaing. Apakah tidak ada saran alternatif dari Anda?Kalau mau lebih ketat, tegas dan keras dan demi pembelajaran dan penghukuman ke depannya, maka perlu sanksi diskualifikasi calon yang menjadi tersangka. Dengan adanya sanksi diskualiÂfikasi, maka partai yang menÂgusungkan paslon akan lebih berhati-hati dan selektif dalam memilih calon.
Sebab partai akan rugi jika mengusung paslon yang berÂmasalah, karena bisa menyebabÂkan mereka kehilangan kesemÂpatan ikut pilkada. Lalu kini juga bisa melindungi pemilih karena pemilih tidak akan memilih calon kepala daerah yang bermasalah. Tapi sanksi diskualifikasi ini sekadar usulan. Usulan ini masih perlu dikaji lebih dalam sebelum diterapkan.
Kenapa begitu?Kalau nanti diskualifikasi berarti parpol tidak mempuÂnyai calon lagi. Apakah ini adil atau tidak, baik untuk parpol atau pemilihnya. Jadi, memang perlu dipertimbangkan betul. Karena dampaknya kan banyak dan tidak boleh sampai merÂugikan calon dan masyarakat. Misalnya soal lawan calon kepala daerah juga perlu dipertimÂbangkan.
Bagaimana kalau calon tungÂgal? Calon tunggal yang didisÂkualifikasi membuat masyarakat tak memiliki pilihan. Lalu KPU juga harus mempertimbangkan asas praduga tak bersalah. Sebab selama belum ada keputusan inkrah, masih ada kemungkinan tersangka tersebut tak terbukti melakukan kesalahan. KPU harus memastikan hak calon kepala daerah tersebut untuk dipilih terpenuhi. ***
BERITA TERKAIT: