Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Totok Yulianto: Nama Group WA-nya Saya Kurang Tahu, Yang Jelas Hakim MK Tak Boleh Komentari Putusannya Sendiri

Senin, 05 Maret 2018, 12:04 WIB
Totok Yulianto: Nama Group WA-nya Saya Kurang Tahu, Yang Jelas Hakim MK Tak Boleh Komentari Putusannya Sendiri
Arief Hidayat/Net
rmol news logo Beberapa waktu lalu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat kembali dilaporkan ke Dewan Etik. Arief di­laporkan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) atas dugaan pelang­garan etik dan perilaku hakim. Laporan tersebut berkaitan den­gan perbuatan Arief yang diduga mengunggah tulisan di sebuah grup Whatsapp.

Koordinator Program PBHI Julius Ibrani menuturkan, pesan yang diunggah Arief berisi ten­tang komentar secara terbuka atas perkara yang sudah diputus MK. Selain itu, kata Julius, pe­san tersebut juga mengandung kata-kata kasar, serta informasi yang tidak benar dan menyesat­kan. Berikut penjelasan Ketua PBHI Totok Yulianto;

Apa sih nama Group Whatsapp yang digunakan Hakim Arief untuk mengomentari putusannya?
Kalau nama groupnya kami kurang tahu. Pokoknya group whatsapp akademik gitu, group whatsapp untuk dekan. Isinya para ahli hukum gitu. Kami itu kan dapetnya cuma kontennya. Jadi pembicaraan di group itu ada yang meng-capture, dan dikirim ke mana-mana, dan kami termasuk yang dapat. Tapi dari kami sendiri tidak ada yang menjadi anggota group itu.

Di situ dia mengomentari soal apa?
Macam-macam. Komentarnya tidak hanya tentang putusan, tapi juga tentang pertimbangan hakim yang lain. Saat ini yang sudah kami indentifikasi itu komentar terkait revisi KUHP sama beberapa kasus sebelumnya.

Seperti apa isi komen­tarnya?
Pandangan dia sebenarnya terkait putusan dan hakim yang lain. Saya pikir itu kan harus­nya tertutup ya. Tapi kemudian sedikit dibuka sama dia. Untuk itu kami minta Dewan Etik klari­fikasi, apakah memang begitu adanya. Kami minta Dewan Etik untuk panggil Arief Hidayat dan hakim MKlainnya.

Jadi dia buka diskusi ten­tang putusan?
Iya. Tapi kurang tahu apakah diskusinya juga saat masih pros­es perkara, atau hanya saat sudah putusan. Kami kan enggak tahu waktunya kapan, karena kami kan bukan anggota group itu. Kami hanya dapat informasi pas­ca putusannya. Kami juga hanya dapat capture komentarnya. Kami enggak tahu bagaimana kronologi dan sebagainya.

Memang hakim MK tetap tidak boleh mengomentari putusannya meski perkaranya sudah diputus?

Tetap enggak boleh, tetap saja itu enggak etis. Seorang hakim itu kan harusnya tidak boleh komentar tentang perkara yang diperiksa. Apalagi sampai men­gomentari pertimbangan hakim yang lain. Tidak etis jika itu benar dilakukan oleh Arief Hidayat.

Penilaian Anda terhadap komentar Hakim Arief?

Kami menggapnya (komentar Hakim Arief) memihak karena dari yang kami lihat pandangan­nya tidak objektif, tapi sangat subjektif. Kalau objektif itu ke­tika ditanya soal pandangannya harusnya tinggal dibaca saja pu­tusannya. Jelaskan bahwa pan­dangan dia sudah masuk ke sana. Artinya ketika dia menyatakan begini dia lebih subjektif.

Maksudnya menyesatkan?
Maksudnya karena seperti yang saya bilang tadi, pandan­gannya tidak objektif. Hakim kan punya peneliti ya ketika menangani perkara. Tapi kemu­dian ketika masuk ke putusan, putusan itu sifatnya objektif. Nah, ketika dia berbicara di luar putusan, maka sifatnya akan subjektif dan menyesatkan. Menurut kami di situ menye­satkannya. Itu kan yang me­mutuskan bukan hakim tunggal ya, tetapi oleh majelis. Hakim itu tidak boleh berkomentar terkait putusan, kecuali terjadi desenting opinion, karena kalau dia berkomentar sifatnya akan subjektif. Karena dia menyam­paikan perasaannya tentang hal itu. Itu yang menurut kami tidak baik, tidak etis. Makanya kami minta pertimbangan Dewan Etik terkait hal ini.

Kami minta Dewan Etik me­meriksanya, dan kalau terbukti kami harap bisa jadi pelajaran buat hakim lainnya, guna men­jaga marwah MK. Karena putu­san MK ini kan sifatnya final ya, posisinya dia terakhir, dia setara atau lebih tinggi dari MA, ma­kanya harus dijaga benar-benar marwahnya.

Yang dimaksud mendis­kreditkan suatu kelompok, seperti apa?

Iya. Maksudnya mendiskred­itkan itu, dengan sifatnya yang subjektif, dia melihat pihak tertentu hanya berdasarkan pe­nilaian pribadi. Penilaiannya itu berdasarkan sudut pandangnya tidak sebagai hakim. Walaupun jabatannya sebagai hakim me­lekat ya. Jadi penilaian itu sama seperti kerika dia masih jadi akademisi.

Masalahnya, kalau pendapat dia sebagai akademisi itu enggak masalah ya menguntungkan atau pun tidak menguntungkan suatu pihak. Itu tidak boleh dilakukan sebagai hakim. Makanya ke­mudian secara tidak langsung pandangannya kami anggap mendiskreditkan pihak tertentu. Kalau dia melihat masalah se­cara objektif, maka apa yang ada dalam pembuktian saja yang diungkap.

Terus, dia mengomentari apa lagi?
Saya belum tahu, karena saat ni yang lain masih kami pela­jari. Karena kami kan dapatnya itu hanya capture dari komen­tarnya. Sebab kan kami enggak ada dalam group itu. Makanya sedang kami telusuri, dan kami minta Dewan Etik untuk periksa. Karena Dewan Etik kan eng­gak hanya memutus, tapi juga memeriksa pihak-pihak. Jadi Dewan Etik bisa panggil orang-orang yang ada di group itu.

Dengan dilakukannya dis­kusi itu pelanggaran apa yang dilakulan oleh Arief?
Soal ketentuan apa saja yang dilanggarnya saya lupa. Tapi setidaknya ada lima prinsip yang telah dilanggar, yakni prinsip ketakberpihakan, prinsip integ­ritas, prinsip kepantasan dan kesopanan, prinsip kesetaraan, serta prinsip kecakapan dan keseksamaan. Itu yang kami identifikasikan.

Dalam laporan kemarin, apa saja bukti yang diajukan ke Dewan Etik MK?

Kopi (kopian) dari beberapa percakapan di group itu yang beredar luas di media sosial. Terus kemudian terkait dengan standar laporan lah.

Dengan bukti-bukti itu, apakah PBHI optimis Hakim Arief akan diberi sanksi te­gas?

Kalau kami itu kan hanya mendorong supaya kasus ini menjadi sarana bagi Dewan Etik untuk menjaga marwah MK. Sanksi apapun yang diberikan oleh Dewan Etik kami terima saja lah. Kami tidak mau inter­vensi terlalu jauh.

Tapi harapannya kalau me­mang ini terbukti, dan Dewan Etik mau memberikan sanksi, maka sanksinya jangan hanya yang mengarah kepada pribadi, tetapi juga ke institusi.

Lho mengapa harus Anda tarik ke institusi, bukankah tak ada yang salah dengan MK-nya?
Ini saatnya MK dibenahi, kar­ena ini menyangkut kepercayaan publik terhadap MK. Karena ke depan akan banyak yang harus ditangani MK, terutama terkait dengan pilkada. Kalau hari ini tidak ditegakkan, maka MK sebagai badan yang menega­kan konstitusi akan kehilangan rohnya.

Kalau tidak diberi sanksi tegas oleh Dewan Etik tidak apa-apa?
Kalau begitu berarti perlu dievaluasi Dewan Etiknya ya. Apakah mereka benar-benar sudah bekerja dengan baik da­lam mengawasi hakim MK? Saya pikir, kalau keputusannya tidak tepat publik yang akan menilai, masih layak enggak sih MK sebagai lembaga pen­gawal konstitusi? Mereka akan mempertanyakan marwah MK yang dulu.

Jadi kalau Dewan Etik tidak menginvestigasi lebih jauh, mengevaluasi pengaduan-pen­gaduan, kemudian tidak mem­berikan sanksi yang layak, maka Dewan Etik itu sendiri yang terlibat menjatuhkan marwah MK. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA