Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Sri Wahyuningsih : Silakan Tanya Deputi Pencegahan KPK, MoU Ini Amanah UU Pemerintahan Daerah

Senin, 05 Maret 2018, 08:27 WIB
Sri Wahyuningsih : Silakan Tanya Deputi Pencegahan KPK, MoU Ini Amanah UU Pemerintahan Daerah
Sri Wahyuningsih/Net
rmol news logo Nota kesepahaman perjanjian kerja sama antara Kementerian Dalam Negeri bersama dengan Kejaksaan Agung, Polri dan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) terkait penghentian penyelidikan perkara korupsi oknum pejabat daerah yang mengembalikan uang hasil korupsinya menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, instrumen-in­strumen pendukung pelaksanaan perjanjian kerja sama tersebut dinilai belum jelas.

Lantas bagaimana penjelasan dari Kementerian Dalam Negeri terkait polemik ini? Apakah per­janjian kerja sama ini menabrak Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? Berikut penjelasan Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Sri Wahyuningsih kepada Rakyat Merdeka.

Bisa dijelaskan kesepakatan perjanjian kerja sama antara Kementerian Dalam Negeri, Bareskrim Polri, Kejaksaan Agung, dan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah terkait tidak mempidanakan kepala daerah jika mengembalikan uang yang dikorupsinya?
Kesepakatan ini merupak­an tindaklanjut memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman yang dis­epakati oleh Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri, Bareskrim Polri, dan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah pada tanggal 28 Februari 2018 lalu. Jadi dasar kami membuat MoU ini merupakan amanah dari Pasal 385 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk mengetahui apakah materi lap­oran pengaduan masyarakat tersebut berindikasi korupsi atau administrasi.

Permasalahan perjanjian kerja sama itu tidak melindungi koru­psi, kedua pengakan hukum su­paya berakhir. Artinya penega­kan hukum itu ditempuh apabila terbukti betul-betul terindikasi korupsi. Jadi, yang terjadi bu­kan yang selama ini tersebar di media, kalau sudah diganti uangnya maka hilang terhapus tindak pidananya.

Artinya meskipun uang korupsinya sudah diganti, tin­dak pidana hukumnya tidak dihapus?
Oh tidaklah, apalagi kalau sudah ada indikasi korupsi.

Apakah perjanjian kerja sa­ma ini berlaku ketika sebuah perkara masih dalam tahap penyelidikan atau sudah da­lam tahap penyidikan?
Iya ditahap penyelidikan, jadi tahap awal distatuskan tersang­kanya.

Kalau sudah masuk ke tahap penyidikan bagaimana itu?
Itu artinya sudah ada indikasi korupsi. Meskipun sudah dikem­balikan uang korupsinya maka tidak hilang pidananya. Kalau soal ini kan sudah ada indikasi atau sudah ada niat jahat melaku­kan korupsi.

Apakah kesepakatan ini sudah dibicarakan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?
Ya sudahlah, KPK sudah tahu itu. Kalau menanyakan ke KPK tanyakan ke deputi pencegahan, karena dia yang tahu, soalnya ini kan pencegahan.

Memangnya selama ini kasus-kasus dugaan korupsi yang terjadi di daerah seperti apa sih?
Contohnya begini, kejadian yang di daerah seperti yang kerap dialami sekertaris daerah (sekda). Sekda ini kan jabatan­nya merangkap sebagai penggu­na anggaran yang menandatan­gani pengeluaran miliaran yang ada di daerahnya. Nah di situ kan dia harus menandatanganinya. Sebab, kalau tidak ditandatan­gani maka dia bersalah, karena menyebabkan pembangunan mogok dan keperluan organisasi tidak berjalan. Jadi kemarin-kemarin kasusnya begitu sekda disangkakan menandatangani padahal tidak.

Kemudian diduga menunju­kan tindakan korupsi. Padahal sekda memang bertugas seba­gai pengguna anggaran. Nah, selama ini sekda dianggap ikut serta korupsi padahal ini kan per­buatan administrasi yang tidak ada unsur pidana di situ, namun dianggap sekda ikut serta.

Lho memangnya praktik mempidanakan sekda dengan jalan seperti banyak terjadi ya di daerah?
Banyak tuh sekda yang akh­irnya ditahan dan dihukum karena dia menandatangani hal itu. Padahal tandatangan itu kan pelimpahan dari bawah, biro keuangan dan sebagainya untuk petunjuk pemberitahuan. Akan tetapi hukumnya ada saja yang dicari seperti pencucian uang dan melakukan tindak pidana korupsi, kan begitu.

Proses hukum itu kan ber­lanjut, batas waktu penggan­tian uang dari yang bersang­kutan berapa lama?
Pada Pasal 7 ayat (5) huruf b MoUmenyatakan, apabila terdapat kerugian negara atau aerah dan telah diproses melalui tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan palinglam­bat 60 hari sejak laporan hasil pemeriksaan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) atau Badan Pemeriksa Keuangan.

Lalu diterima oleh pejabat atau ditindaklanjuti dan dinyata­kan selesai oleh APIP atau BPK. Kalaupun ada kelalaian dari yang bersangkutan maka hanya kena sanksi adimistrasi.

Kalau dalam waktu 60 hari belum dikembalikan uang ko­rupsinya, sedangkan penegak hukum menaikkan ke tahap penyidikan bagaimana itu?
Ya sudah lanjut tidak meng­hapus tindak pidananya. Jadi, kalau ada indikasi korupsi maka terus pidananya diusut. Kebijakan ini kan supaya jan­gan mencari-cari kesalahan, seperti yang saya ceritakan tadi. Sehingga berdampak pada pembangunan dan lainnya ter­hambat. Makanya penyerapan anggaran jadi sedikit dan tidak maksimal.

Waktu 60 hari yang diber­ikan kepada aparat pene­gak hukum terkesan seperti dikejar-kejar waktu. Padahal aparat penegak hukum ingin mengusutnya sampai tuntas, bagaimana itu?
Kementerian dalam negeri tidak bicara sampai di situ. Intinya kebijakan ini diluar Operasi Tangkap Tangan (OTT). Di luar OTT kami tidak ikut campur. Kalau sudah OTT maka tidak berlaku. Kalau OTTkan otomatis berarti sudah dalam tahap penyelidikan lama, bahwa itu memang sudah ada indikasi berbuat korupsi.

Tapi aparat penegak hukum tetap diberi peluang untuk menuntaskan proses hukum terduga korupsi?
Iya, selagi memang ada in­dikasi-indikasi yang bersangku­tan melakukan perbuatan jahat tidak akan kami bela.

Apakah kepala daerah yang akhir-akhir ini ditangkap penegak hukum masuk da­lam perjanjian kerja sama ini tidak?
Kepala daerah yang akhir-akh­ir ini kan kebanyakan Operasi Tangkap Tangan. Pokoknya kalau OTT maka diluar tang­gung jawab kami. Saya bilang tadi OTT itu kan sudah dipantau, sudah ada pengintaian dan lain-lain. Artinya memang sudah ada niat jahat dari yang bersangkutan untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Terkait statusnya sebagai kepala daerah meski masih dalam tahap penyelidikan dan uangnya sudah diganti bagaimana?

Kalau soal ini kan harus ada keputusan tetap atau inkracht. Seperti yang sekarang-sekarang ini calon kepala daerah yang belum ada keputusan hukum tetap masih bisa melangsungkan pilkada.

Beberapa kalangan me­nilai MoU ini menabrak hu­kum pasal 4 Undang-Undang Antikorupsi bagaimana itu?

Tidak menabrak, pasal 4 itu memang yang menyababkan kemarin-kemarin berita seli­weran dijadiin payung hukum. Saya kira kebijakan ini harus menetralisir, tapi bukan me­nabrak melainkan harus dengan hati nurani. Penegakan hukum itu kan dengan hati nurani sesuai dengan Pancasila Ketuhanan yang Maha Esa.

Namun yang namanya di lapangan itu kan secara hakikat­nya tidak semua jelek, artinya banyak juga yang bagus-bagus. Tapi kalau memang hakikat mor­alnya yang jelek, sehingga yang seharusnya tidak ada indikasi lalu dicari-cari. Kalau dikait­kan dengan peluang-peluang tersebut maka bisa kena itu. Jadi jangan sampai semua itu dikriminalisasi, padahal tidak ada yang salah. Jadi intinya perjanjian kerja sama ini tidak menabrak hukum. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA