Lantas bagaimana penjelasan dari Kementerian Dalam Negeri terkait polemik ini? Apakah perÂjanjian kerja sama ini menabrak Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? Berikut penjelasan Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Sri Wahyuningsih kepada
Rakyat Merdeka. Bisa dijelaskan kesepakatan perjanjian kerja sama antara Kementerian Dalam Negeri, Bareskrim Polri, Kejaksaan Agung, dan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah terkait tidak mempidanakan kepala daerah jika mengembalikan uang yang dikorupsinya?
Kesepakatan ini merupakÂan tindaklanjut memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman yang disÂepakati oleh Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri, Bareskrim Polri, dan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah pada tanggal 28 Februari 2018 lalu. Jadi dasar kami membuat MoU ini merupakan amanah dari Pasal 385 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk mengetahui apakah materi lapÂoran pengaduan masyarakat tersebut berindikasi korupsi atau administrasi.
Permasalahan perjanjian kerja sama itu tidak melindungi koruÂpsi, kedua pengakan hukum suÂpaya berakhir. Artinya penegaÂkan hukum itu ditempuh apabila terbukti betul-betul terindikasi korupsi. Jadi, yang terjadi buÂkan yang selama ini tersebar di media, kalau sudah diganti uangnya maka hilang terhapus tindak pidananya.
Artinya meskipun uang korupsinya sudah diganti, tinÂdak pidana hukumnya tidak dihapus?Oh tidaklah, apalagi kalau sudah ada indikasi korupsi.
Apakah perjanjian kerja saÂma ini berlaku ketika sebuah perkara masih dalam tahap penyelidikan atau sudah daÂlam tahap penyidikan?Iya ditahap penyelidikan, jadi tahap awal distatuskan tersangÂkanya.
Kalau sudah masuk ke tahap penyidikan bagaimana itu?Itu artinya sudah ada indikasi korupsi. Meskipun sudah dikemÂbalikan uang korupsinya maka tidak hilang pidananya. Kalau soal ini kan sudah ada indikasi atau sudah ada niat jahat melakuÂkan korupsi.
Apakah kesepakatan ini sudah dibicarakan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?Ya sudahlah, KPK sudah tahu itu. Kalau menanyakan ke KPK tanyakan ke deputi pencegahan, karena dia yang tahu, soalnya ini kan pencegahan.
Memangnya selama ini kasus-kasus dugaan korupsi yang terjadi di daerah seperti apa sih? Contohnya begini, kejadian yang di daerah seperti yang kerap dialami sekertaris daerah (sekda). Sekda ini kan jabatanÂnya merangkap sebagai pengguÂna anggaran yang menandatanÂgani pengeluaran miliaran yang ada di daerahnya. Nah di situ kan dia harus menandatanganinya. Sebab, kalau tidak ditandatanÂgani maka dia bersalah, karena menyebabkan pembangunan mogok dan keperluan organisasi tidak berjalan. Jadi kemarin-kemarin kasusnya begitu sekda disangkakan menandatangani padahal tidak.
Kemudian diduga menunjuÂkan tindakan korupsi. Padahal sekda memang bertugas sebaÂgai pengguna anggaran. Nah, selama ini sekda dianggap ikut serta korupsi padahal ini kan perÂbuatan administrasi yang tidak ada unsur pidana di situ, namun dianggap sekda ikut serta.
Lho memangnya praktik mempidanakan sekda dengan jalan seperti banyak terjadi ya di daerah? Banyak tuh sekda yang akhÂirnya ditahan dan dihukum karena dia menandatangani hal itu. Padahal tandatangan itu kan pelimpahan dari bawah, biro keuangan dan sebagainya untuk petunjuk pemberitahuan. Akan tetapi hukumnya ada saja yang dicari seperti pencucian uang dan melakukan tindak pidana korupsi, kan begitu.
Proses hukum itu kan berÂlanjut, batas waktu pengganÂtian uang dari yang bersangÂkutan berapa lama?Pada Pasal 7 ayat (5) huruf b MoUmenyatakan, apabila terdapat kerugian negara atau aerah dan telah diproses melalui tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan palinglamÂbat 60 hari sejak laporan hasil pemeriksaan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) atau Badan Pemeriksa Keuangan.
Lalu diterima oleh pejabat atau ditindaklanjuti dan dinyataÂkan selesai oleh APIP atau BPK. Kalaupun ada kelalaian dari yang bersangkutan maka hanya kena sanksi adimistrasi.
Kalau dalam waktu 60 hari belum dikembalikan uang koÂrupsinya, sedangkan penegak hukum menaikkan ke tahap penyidikan bagaimana itu?Ya sudah lanjut tidak mengÂhapus tindak pidananya. Jadi, kalau ada indikasi korupsi maka terus pidananya diusut. Kebijakan ini kan supaya janÂgan mencari-cari kesalahan, seperti yang saya ceritakan tadi. Sehingga berdampak pada pembangunan dan lainnya terÂhambat. Makanya penyerapan anggaran jadi sedikit dan tidak maksimal.
Waktu 60 hari yang diberÂikan kepada aparat peneÂgak hukum terkesan seperti dikejar-kejar waktu. Padahal aparat penegak hukum ingin mengusutnya sampai tuntas, bagaimana itu?Kementerian dalam negeri tidak bicara sampai di situ. Intinya kebijakan ini diluar Operasi Tangkap Tangan (OTT). Di luar OTT kami tidak ikut campur. Kalau sudah OTT maka tidak berlaku. Kalau OTTkan otomatis berarti sudah dalam tahap penyelidikan lama, bahwa itu memang sudah ada indikasi berbuat korupsi.
Tapi aparat penegak hukum tetap diberi peluang untuk menuntaskan proses hukum terduga korupsi?Iya, selagi memang ada inÂdikasi-indikasi yang bersangkuÂtan melakukan perbuatan jahat tidak akan kami bela.
Apakah kepala daerah yang akhir-akhir ini ditangkap penegak hukum masuk daÂlam perjanjian kerja sama ini tidak?Kepala daerah yang akhir-akhÂir ini kan kebanyakan Operasi Tangkap Tangan. Pokoknya kalau OTT maka diluar tangÂgung jawab kami. Saya bilang tadi OTT itu kan sudah dipantau, sudah ada pengintaian dan lain-lain. Artinya memang sudah ada niat jahat dari yang bersangkutan untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Terkait statusnya sebagai kepala daerah meski masih dalam tahap penyelidikan dan uangnya sudah diganti bagaimana? Kalau soal ini kan harus ada keputusan tetap atau inkracht. Seperti yang sekarang-sekarang ini calon kepala daerah yang belum ada keputusan hukum tetap masih bisa melangsungkan pilkada.
Beberapa kalangan meÂnilai MoU ini menabrak huÂkum pasal 4 Undang-Undang Antikorupsi bagaimana itu? Tidak menabrak, pasal 4 itu memang yang menyababkan kemarin-kemarin berita seliÂweran dijadiin payung hukum. Saya kira kebijakan ini harus menetralisir, tapi bukan meÂnabrak melainkan harus dengan hati nurani. Penegakan hukum itu kan dengan hati nurani sesuai dengan Pancasila Ketuhanan yang Maha Esa.
Namun yang namanya di lapangan itu kan secara hakikatÂnya tidak semua jelek, artinya banyak juga yang bagus-bagus. Tapi kalau memang hakikat morÂalnya yang jelek, sehingga yang seharusnya tidak ada indikasi lalu dicari-cari. Kalau dikaitÂkan dengan peluang-peluang tersebut maka bisa kena itu. Jadi jangan sampai semua itu dikriminalisasi, padahal tidak ada yang salah. Jadi intinya perjanjian kerja sama ini tidak menabrak hukum. ***
BERITA TERKAIT: