Pertama, moh main, artinya tidak main judi. Judi sesuatu yang sangat dilarang daÂlam agama karena selain merusak pikiran juga menimbulkan masalah di dalam anggota keluarÂga dan masyarakat. Judi terlarang karena sesÂuatu yang bersifat spekulatif, tidak rasional, dan destruktif. Moh limo merupakan upaya mencari rizki melalui jalan pintas, penuh spekulasi, terÂmasuk mengadu nasib dengan mengandalkan mistik. Termasuk dalam hal ini produk yang menjanjikan hadiah-hadiah fantastik tetapi peÂluang untuk memenangkannya teramat kecil kemungkinannya. Judi dalam Islam jelas diÂlarang di dalam banyak ayat, antara lain Q.S. al-Maidah/5:90 dan sejumlah hadis. Walisongo tidak langsung menggunakan teks ayat dan hadis tetapi dipadatkan dengan menggunakan istilah simbolik yang lebih gampang diingat dan dipedomani komunits setempat.
Kedua, moh ngombe, artinya tidak mengonÂsumsi minuman keras, atau makanan dan miÂnuman yang memabukkan. Banyak sekali muÂdarat yang bisa ditimbulkan dengan makanan atau minuman yang memabukkan, karena itu banyak ayat dan hadis menegaskan larangan tersebut. Walisongo tidak menyebutkan ayat atau hadis yang mungkin masih sulit dipahami oleh masyarakat tetapi menggunakan bahasa lokal dengan istilah singkat moh ngombe. MinuÂman keras dalam masyarakat Jawa ketika itu masih merupakan sesuatu yang biasa, karena agama-agama sebelumnya juga tidak tegas melarangnya. Hanya saja waktu itu, minuman yang keras banyak jenisnya, termasuk makaÂnan tape yang dibikin kualitas khusus. SekaÂrangpun tape masih makanan khas walaupun kadar alkoholnya tinggi.
Ketiga, moh maling, artinya tidak mencuri, mengambil hak orang lain, seperti menipu, koÂrupsi, merampok, mengorbankan orang lain demi untuk memperoleh keuntungan. Mencuri sangat keji karena mengakibatkan ketidakadiÂlan di dalam masyarakat. Ayat dan hadisnya banyak tetapi tetap menggunakan logika keariÂfan lokal. Hukuman pencurian bertingkat-tingÂkat sesuai dengan besar dan kecil skala penÂcuriannya. Mulai dari penyaliban, pemotongan tangan, sampai pada kurungan dan denda.
Keempat, moh madat, artinya tidak mengÂgunakan narkotik, artinya sesuatu yang dikonÂsumsi tetapi menimbulkan pelemahan otak dan pikiran. Dalam bahasa sekarang adalah narkoba. Narkoba ini boleh jadi lebih berbahaÂya dari pada minuman keras. Narkoba, selain mahal juga daya rusaknya sangat hebat kareÂna mempengaruhi pusat saraf manusia, suatu wilayah yang sangat sensitif dan amat sulit unÂtuk disembuhkan.
Kelima, moh madon, artinya tidak berzina, yaitu perbuatan hubungan khusus laki-laki dan perempuan tanpa melalui proses nikah yang sah, sebagaimana disebutkan dalam artikel terdahulu. Walisongo sangat pintar memilih strategi dalam memperkenalkan ajaran Islam. Ia menggunakan simbol-simbol yang hidup di dalam masyarakat lokal di dalam memperkeÂnalkan ajaran Islam, termasuk perintah dan larangan agama. Ternyata penggunaan simbol dan kearifan lokal, termasuk metodologi denÂgan menggunakan tradisi yang hidup di dalam masyarakat, mengingatkan kita pada prestaÂsi dan kehebatan Nabi Muhammad di dalam memperkenalkan ajaran Islam di Mekah dan Madinah. Walaupun beberapa di antara keluarÂga Walisongo berdarah Timur Tengah, namun mereka tidak doyan menggunakan istilah-istiÂlah Arab. Mereka lebih suka menggunakan isÂtilah yang hidup di dalam masyarakat lokal, terÂmasuk Konsep Moh Limo ini.